"Ai, kamu mau popcorn?" tanya Habib.
Sore itu mereka memutuskan untuk menonton Deadpool. Tidak menunggu sampai weekend datang. Selain karena mereka memang sudah kangen berat. Sebenarnya masing-masing di dari mereka mau menyampaikan sesuatu yang rasanya tidak bisa ditunda.
"Boleh. Popcorn karamel ya," angguk Aina semangat.
Sementara itu, Habib memandangi isi dompetnya yang miris. Pendapatannya selama dua hari habis hari ini hanya untuk sekali nonton saja. Namun sebagai seorang gentleman, Habib tetap membayar popcorn dan tiket Deadpool And Wolverine dengan penuh gaya. Yah, ini juga salah satu alasan untuk tidak menonton saat weekend karena harga tiketnya sudah pasti lebih mahal.
Habib dan Aina masuk ke dalam gedung bioskop yang gelap dan duduk di bangku nomor empat dari depan layar. Posisi yang cukup PW. Tak lama kemudian film pun di mulai. Habib memandangi Aina yang tampak riang saat melihat Deadpool yang menghajar pasukan TVA sambil joget-joget ala Nsync.
"Ai, tadi pagi aku ketemu Kakakmu."
Aina langsung melolot mendengar ucapan Habib yang tiba-tiba itu.
"Apa? Ketemu di mana? Kok bisa? Kamu diapain sama dia?"
Habib meringis. "Dia penumpangku, aku mengantarkannya ke hotel Shangri-La. Yah, nggak diapa-apain sih. Hanya dinasehati saja. Tapi aku agak sedikit tersinggung dengan kata-katanya, jadi... emosiku agak terpancing."
"Jelas! Mana pernah Kak Bela itu kalau ngomong nggak bikin emosi! Dia ngomong apa emangnya?"
"Dia ngomong harusnya aku tahu tempatku, kalau aku beneran sayang sama kamu."
"KAMPRET!"
Habib agak kaget mendengar Aina mengumpat, tapi dia kembali melanjutkan ceritanya.
"Terus, kamu tahu aku bales apa ke dia? Aku bilang. Tempatku ada sisimu karena aku mencintaimu."
Aina berkedip-kedip. Dia memandangi Habib yang sedang menutupi wajah dengan tidak percaya. Habib ngomong apa barusan? Aina tidak bisa melihat ekspresi laki-laki itu terutama karena gedung bioskop yang gelap. Ah, curang sekali!
"Kamu cinta sama aku?" ulang Aina.
"A-aku cuman kebawa suasana aja, oke! Karena kakakmu itu menyebalkan!" jawab Habib tergagap.
"Jadi sebenarnya kamu nggak cinta sama aku?"
Habib kebingungan melihat Aina yang memandanginya dengan sendu. Habib menghela napas. "Oke, bohong kalau aku bilang aku nggak cinta. Tapi aku sadar apa yang kakakmu bilang itu ada benarnya. Kita memang nggak cocok."
"Jadi kamu beneran cinta sama aku?" Aina tersenyum manis sekali membuat jantung Habib rasanya mau melompat keluar saja.
Mati! Dari segala informasi yang diucapkan sedari tadi mengapa hanya hal itu yang ditangkap oleh Aina?
"Ai, masalahnya sekarang bukan itu...."
"Ssst!" Aina menempelnya jari telunjuk di bibirnya. "Bagi aku, nggak ada masalah yang lebih penting dari itu. Aku takut hanya aku yang suka tapi sebenarnya kamu nggak."
Habib terdiam melihat netra Aina yang tampak berkaca-kaca. Habib memaki dalam hati. Dia tidak menyangka bahwa tindakannya selama ini ternyata telah melukai hati Aina. Padahal dia sama sekali tidak bermaksud demikian.
"Ai, Aku takut...." jujur Habib. "Aku takut semua perkataan kakakmu itu benar. Aku memang hanya seorang tukang ojek. Aku nggak pantas untuk punya perasaan ini ke kamu. Aku takut aku nggak nggak bisa membahagiakan kamu."
Aina menggeleng. "Kamu ada di sisiku aja, itu udah cukup buat aku. Aku ingin kita bisa membangun masa depan bersama. Apa kamu punya pemikiran yang sama?"
Aina mengamati ekspresi Habib. Lelaki itu juga menatapnya lama. Seperti tidak mampu berkata-kata. Membicarakan hal serius seperti ini di dalam bioskop yang gelap dengan lagu Bye Bye Nsync sepertinya kurang cocok.
Habib menghela napas. Namun sebanyak apa pun udara yang dia hirup, dadanya tetap terasa sesak. "Iya, aku juga berharap kamu begitu," aku Habib. "Aku harap, kamu akan jadi masa depanku."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikahi Dokter 2
RomanceKehidupan setelah pernikahan ternyata tidak mudah. Tidak seindah di novel-novel romance. Apakah happly ever after itu ada?