Chapter 3

697 53 0
                                    

Sudah seminggu berlalu semenjak Marven mengajak Jay supaya mau menjadi kekasihnya. Berarti hubungan mereka sudah berjalan 7 hari, alias seminggu. Sejauh ini masalah yang datang menerjang tak terlalu besar. Hanya meributkan hal kecil tentang; mengapa dan apa alasan, dan sampai kapan Jay harus menjadi kekasih Marven.

Marven berada di basecampnya. sebuah tempat yang terletak di pinggir sekolah, dekat dengan kamar mandi. Yang menjadi titik tempat berkumpul antara Marven dan teman temannya. Dan, saat ini. Marven berada di sana. Tengah asik mengerjakan tugas ekonomi, sebab dirinya belum mengerjakan tugas, seperti biasa.

Jay pula terserang sakit. Jadi, tak ada yang membantunya. Sudah 2 hari anak  manis itu tak terlihat batang hidung nya di area sekitar sekolah, alias meliburkan diri.

"Mar," Fabian.

"Hmm?"

"Gua ngerasa Lo aneh akhir akhir ini. Jujur sama gua." Fabian memaksa Marven untuk menatapnya, bahkan tak membiarkan Marven menoleh ke kiri serta kanan, walaupun hanya satu detik saja.

"Aneh... Gimana?" Marven rasa, yang bertingkah aneh saat ini adalah Fabian sendiri. Bukan dirinya.

"Lo suka senyum senyum kalau papasan sama Jay. Jujur, Lo ada hubungan apa sama rival Lo sendiri?"

Oh, God.

"Lo ngomong apa sih? Lo sakit, ya?"

"Jangan alihin topik."

"Gua sama dia udah jelas musuhan. Gara-gara dia, gua jadi telat ke sekolah karna taxi yang harusnya buat gua, malah dia ambil. Belum lagi dia juga potong rambut gua secara asal hanya karna peraturan. Oh, dan lagi---"

Jari telunjuk Fabian menempel di bibir Marven. Menyuruh pria itu supaya diam.

"Okay.... Gua pikir Lo itu ada hubungan sama Jay. Ya, you know lah maksud hubungan nya gimana...."

Marven tersenyum, kaku. Ia menggaruk bagian belakang rambutnya, tak gatal. Menetralkan gerak geriknya, agar tak terlihat gugup.

"Masa kaya gitu. Gua normal."

Fabian dapat bernafas lega sekarang. Sebab teman nya tidak ada yang salah langkah. Lantaran, dirinya sudah lebih dulu salah arah. Ia menyukai Jay, sedari SMP kelas 9.

Terlihat lucu? Memang.

°°°°

"Lo tau? Fabian tadi sempet curiga sama hubungan kita. But, untungnya Lo punya pacar pinter kaya gua. Jago ngibul ternyata bawa berkah." Marven berucap dengan bangga dari sebrang telpon. Ia mengadukan kejadian hari ini pada Jay.

"Awas aja kalau sampai ketahuan!"

Dari nada bicaranya. Sudah jelas mengerikan. Menurut, Marven.

"Udah mendingan? Sorry, ya buat hari kamis. Gua kelepasan." Katanya, menyesal. Jay sakit lantaran di gempur Marven habis habisan. Pria itu tak sengaja melihat Jay mengusap wajahnya dengan menggunakan pakaian nya saat sedang latihan olahraga. Memperlihatkan perut mulusnya. Tidak ada kotak kotak, tapi kalau di perut Marven sudah jelas ada.

"Kalau gua udah sembuh. Gua cincang biji Lo." Ancamnya. Berhasil membuat bulu kuduk Marven berdiri seketika.

"Maaf, sayang. Nanti sepulang sekolah  mampir dulu ke rumah kamu. Mau dibawain apa?"

"Bawain toko roti."

"Serius toko roti?" Tanya Marven, mengerutkan alisnya.

"Huum, beliin dong!"

"Transfer aja, ya. berapa harganya?"

Marven serius? Atau sedang bercanda?

Oh, ayolah Jay.

Marven tak semiskin itu. Ayahnya seorang pengusaha kaya raya. Tapi sialnya ia tak punya rumah.
Ya, rumah. Tempat dimana semua orang pulang dan menceritakan tentang apa yang terjadi hari ini, besok atau kemarin. Orang tua Marven sudah bercerai. Masing masing sudah menikah, dan lebih memilih tinggal di luar negeri bersama keluarga baru. Tanpa Marven. soal uang, Marven tak perlu khawatir. Tiap bulan ia di transfer ratusan juta supaya tak mengunjungi kedua orang tuanya.

Kejam? Tapi, lebih baik begini. Daripada sudah miskin, brokenhome pula.

"Marven! Lo gila?!" Jay memekik, spontan membuat Marven menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Kenapa? Segitu cukup? Kalau kurang, gua minta ke bokap atau nyokap nanti. Anything for you, Pretty. Gunung akan ku daki, Samudra akan ku arungi. Asal naik helikopter."

Okay, kalimat terakhir berhasil membangunkan singa yang sedang tertidur.

"Lo bisa serius dulu, gak?!"

"Sayang, stop teriak. Teriak nya pas lagi ngewe aja. Jangan sekarang."

Oh, God.

Ternyata susah sekali berbicara dengan orang gila.

"Pulang sekolah Lo ke sini. Ambil balik duit Lo. Gua gak mau tau!" Jay mematikan sambungan secara sepihak. Padahal Marven belum menjawab apapun.

°°°°

"Si Marven ini gila apa, ya?! Masa ngasih duit segampang itu. 125 juta mau gua apain, Anjing? Ini anak punya duit sebanyak ini, kerja bokapnya apaan?"

Jay berpikir, Jika Marven melakukan hal kriminal supaya punya banyak uang. Tampangnya saja sudah menjelaskan semua nya.

Tapi, tunggu!

Ia tak boleh asal menuduh. Jatuhnya malah fitnah.

Notif handphone menyadarkan Jay dari lamunan nya. Ia membaca pesan yang di kirimkan oleh Si mahkluk halus.

Odgj👺👹

Sayang, kok di matiin telpon nya?
Itu uang nya hasil nabung dari SMP
Bokap gua suka ngirim duit banyak
Nanti gua ceritain deh, intinya bukan hasil aneh aneh itu. Pake aja
Bukti cinta gua ke Lo

Ambil balik. Gua cuman becanda
√√

Gua mana mau, buat kamu itu
Gunain, kalau kurang bilang aja
Telpon aja sugar Daddy kamu ini
Jangan kan uang, titid aja aku kasih

GUA BLOCK YA LO, ANJING!
√√

Becanda, sayang.
Udah masuk lagi, see u
Jangan kangen
Tapi aku yang kangen kamu
:(((
:((
Doain semoga gak mati
Kangen berad
:(((

Stop, monyet
Lo ntar sore juga ke sini
√√

Iya sayang
I love you, pretty.
BLS GA ILY GUA, KALAU KG
GUA BIKIN PENGKOR LO.

y, I love u too, monyed
√√

Lucu deh
❤️❤️❤️❤️
---

Jay jadi pengen muntah. Marven alay banget. Kadang dia heran. Kenapa cewek cewek disekolah nya pada suka sama Marven. Padahal kalau kemana mana. Masih gantengan juga Jay.

Minusnya, pernah di tusuk.

To be continued.

Favorite Rival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang