Bab 13 Kesabaran

4 0 0
                                    

Hari pun berlalu. Kini Safa dan Syifa sedang belanja bulanan. "Minyak, mi, susu kaleng, kecap, nori, kopi, pasta gigi, sabun cuci baju cair, pembalut, sabun cuci bubuk, cookies, deodoran, sabun mandi cair, susu kotak, kopi moccachino, sabun wajah, tisu. Bisa nggak sih kalau buat daftar belanja itu yang urut? Per kategori gitu lhooo," protes Syifa.

Safa memberikan bolpoin. "Kita jalan dari sana, nanti yang masuk troli langsung dicentang."

"Oke. Kamu yang bilang, aku ambilin nanti kamu centang," kata Syifa, membagi tugas.

Safa menyetujui itu karena memang ini adalah belanjanya. Sudah mending jika Syifa bisa membantu.

Mereka pun berjalan sesuai rencana. Untuk hal yang mereka inginkan untuk bersenang-senang, mereka membeli produk fashion baru setelah membeli keperluan pokok.

Sumber : GemGrace

"Cocok nggak?" tanya Safa.

"Cocok. Kamu memang cocok pakai baju ala-ala dress gitu," kata Syifa.

Safa kembali ke ruang ganti.

sumber : Fashion Era

"Cocok nggak kalau baju ini pakai sepatu ini?" tanya Syifa setelah Safa keluar dari ruang ganti.

"Wow! Ambil!" Safa sangat antusias melihat Syifa begitu cantik.

Setelah mendapatkan hal yang mereka inginkan, mereka membayar, lali makan bersama di kedai sekat mall tersebut.

"Kamu selalu ingin masakan Jawa," kata Syifa.

"Nggak tuh, kemarin habis makan ala western sana Pak Irwan." Safa paham dia tak akan bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya. Jadi, lebih baik diceritakan sekaranh daripada dengar dari orang lain. Bisa mengamuk.

"Oh ya?" Syifa antusias mendengarkan.

Safa pun menceritakan semuanya. Tak ada kelebihan dan kekurangan. Sedangkan Syifa selalu menanggapi dengan antusias. Makanan tiba. Mereka pun menghentikan ceritanya.

"Di depan ada ibu-ibu jual lepet jagung. Nanti mampir, ya, Syif?"

"Kalau makanan emang cepet," kata Syifa.

Mereka pun menahan tawa karena tak mungkin akan tertawa lepas di rumah makan.

Setelah makan, Safa membayar makanan, lalu membeli lepet jagung sebelum pulang.

Hari sudah beranjak sore. Kedua gadis itu segera pulang.

Di depan kos sudah ada Irwan yang bersedekap sambil menatap kedua gadis itu masuk membawa banyak barang.

Melihat tatapan mata Irwan saja takut. Dia merasa terintimidasi. Padahal, Irwan bukanlah sosok yang harus dipamiti sebelum ke mana-mana.

Walaupun tatapan tidak suka begitu jelas di mata Irwan, lelaki itu tetap mengambil barang yang sekiranya berat. Dia mengantarkan hingga depan kamar Safa. Tanpa bicara, dia balik ke kamarnya.

Walau ribuan kali Safa mengatakan bahwa Irwan tak berhak untuk diberi pamit, tapi sampai hari berikutnya pun dia menyesal. Pagi-pagi dia sudah berada di depan kamar Irwan untuk meminta maaf dengan membawa semangkuk nasi dan lengkap dengan lauk dan sayur. Namun, Irwan tidak segera membuka pintunya.

Siang hari, Safa hendak menyapa lagi. Namun ketika masih di koridor, dia bisa melihat Irwan bersama Christ di ruang tamu. Mereka terlihat sedang bercanda. Safa yang melihat itu menjadi kesal. Dia kembali meletakkan makan di depan kamar Irwan san menutupi dengan kertas yang dia bawa.

Safa kembali ke kamar dengan perasaan kesal. Dia berjanji nggak akan lagi membawakan makanan di sore hari.

Sore hari, Safa memang tidak membawakan makanan untuk Irwan, tetapi Irwan mengirim pesan kepada Safa untuk segera ke ruang tengah, ruamg yang biasanya untuk menonton televisi bersama.

Walau kesal, Safa tetap menetapi ajakan Irwan. Rupanya, Irwan membawakan camilan dari supermarket. Safa duduk di dekat Irwan, tanpa ekspresi. Dia terus melihat Irwan yang berusaha membuka kantong plastik.

"Maaf, ini talinya ...."

Karena kesal, Safa merebut kantong itu lalu merobeknya. "Selesai. Gitu aja ribet."

Irwan terbengong mendapati secepat kilat Safa membuka kantong dan mengeluarkan isinya.

Safa tak mengambil satu pun jajanan yang ada. Dia menyalakan televisi dengan volume kecil, memang biasanya ada yang tidur karena kerja malam sampai siang.

Irwan membukakan plastik lolipop untuk Safa. Dulu, Safa menyukai lolipop itu sampai menyetok di rumah. Irwan masih ingat itu.

Safa menoleh ke arah Irwan dengan ekspresi bertanya-tanya.

"Sudah ingat Abang belum?" tanya Irwan.

"Apha hih Pak ahang-ahang?"

"Lepas dulu, nanti ketelen ...." Belum selesai Irwan mengucapkan kalimatnya, Safa sudah tersedak. "Kalau dibilangin tuh nurut. Kok dari dulu sampai sekarang sama aja."

"Bentar," kata Safa setelah tertolong oleh Indra. Lolipop yang hampir tertelan itu sudah di tangan Safa. "Nama Bapak Aswindra. As ... Abang Aswi?"

Indra tersenyum senang mendapati Safa sudah mengingatnya. "Iya. Namaku dipanggil Indra karena waktu kuliah di luar negeri, mereka memanggil dengan nama belakang. Kan nggak mungkin dipanggil Ruben karena Aswindra bin Ruben. Nggak mungkin juga dalam memanggil ada tiga suku kata. Terlalu ribet. Jadi, ya Indra. Samapi Indonesia pun aku terbiasa dipanggil Indra."

"Kenapa begitu?" tanya Safa.

"Mmm ... maaf nih nggak sombong, tapi memang karyaku lebih banyak Indra daripada Aswi. Aku lanjut sampai Indonesia. Kalau nggak karena karyaku terkenal, nggak mungkin aku ngajar si kampus sebagus ini."

Safa termenung. "Tapi aku susah manggil Abang lagi. Udah kebiasaan."

"Nggak apa-apa."

Sore itu hari yang membahagiakan bagi keduanya. Safa kembali menemukan pijakan hidup. Dia tahu harus bergantung kepada siapa. Dahulu, memang Aswindra adalah salah satu teman di rumah. Sejak tidak ada Indra, Safa menjadi salah memilih pacar. Dia terlalu baperan karena ditembak dan menerima tanpa pikir panjang. Alhasil, Safa sering patah hati yang membuatnya malas untuk berhubungan dengan siapapun.

Indra memang jauh di sana. Namun Pak Mar selalu memberi kabar tentang putrinya. Jadi, Indra tidak terlalu tertinggal dengan perkembangan Safa. Berbeda dengan Safa yang sampai melupakan sosok Indra. Baginya, Aswi adalah abang yang tak mungkin ditemukannya lagi.

Malam hari, Safa mengumpulkan ingatan masa kecil dengan Indra. Indra yang dulu sangat lucu, wajahnya hampir menyerupai perempuan yang tomboi. Namun sekarang dia sangat berkarisma. Bagaimana dia bisa mengenali?

Safa kesal karena dia yang tidak mengingat. Namun, Indra ingat pada Safa dan menunggu hingga gadis itu kembali mengenalnya.

Pagi pun tiba. Safa keluar untuk membeli sarapan di warung samping kos. Ketika kembali, dia hendak mencoba untuk memanggil Indra dengan panggilan lamanya. Di jalan, dia sudah memikirkannya.

Abang.

Abang.

Abang Aswi apa Abang Indra yang cocok?

Sampai di ruang tamu kos, semangat itu lenyap seketika. Christ sudah ada di sana dengan busana yang cukup terbuka.

"Safa," sapa Christ.

"Nunggu Pak Indra?" tanya Safa.

"Iya. Dia baru siap-siap, kemas-kemas pakaiannya karena hari ini dia harus pergi," jelas Christ.

"Pergi? Ke mana?" tanya Safa. Hatinya kini berdebar-debar.

"Amerika, bersama aku."

Ketika Cinta Mekar KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang