"Hai, Tante." Sapa Marven, pada Anita. Kebetulan, sekali. Marven mengetuk pintu, dan Anita yang membukakannya. Marven tersenyum, ia berusaha sesopan mungkin. Supaya hubungan nya dengan Jay berjalan baik tanpa hambatan.
Anita membalas senyuman Marven, wanitu itu seperti biasa mempersilahkan Marven masuk ke dalam rumah. Menunggu sang putra yang berada di lantai atas.
"Nak Marven udah makan? Kalau belum, Ayok makan dulu. Sekalian nungguin Jay yang lagi mandi." Ajak Anita, seraya mengusap usap halus punggung Marven.
Jujur, Marven sudah lama tak di perlakukan semacam ini. Ia seperti kembali ke masa kecil. Dimana Keluarganya masih harmonis, tanpa ada huru hara. Ah, Marven merindukan moments manis itu. Apa bisa semuanya terulang?
"Nggak, Tante. Makasih, sebelum ke sini. Marven sempet beli nasi goreng, hehe."
"Bagus. Tapi jangan keseringan makan makanan siap saji, ya. Kalau mau, nanti Tante buatin bekal khusus, buat nak Marven."
Baik sekali.
"Ngerepotin, Tante. Nggak usah."
"Tenang aja. Kalau Tante nawarin, berarti gak ngerepotin sama sekali. Besok Tante bawain, ya. Kamu tunggu Jay disini, Tante mau beresin pakaian Jay. Udah numpuk banget soalnya."
Setelah mengatakan itu, Anita bangkit dari kursi, menuju kamar putranya. Ia meninggalkan Marven seorang diri di ruang tamu.
"Kok bisa sebaik itu?"
Padahal Marven belum lama kenal ibu nya Jay. Tapi, kenapa udah sebaik itu? Kaya, Marven udah sering ketemu sama Anita. Udah kenal selama bertahun-tahun. Nyatanya, sebulan juga belum.
Orang yang di tunggu-tunggu, akhirnya muncul. Jay memakai Hoodie kebesaran, serta celana pendek pas selutut. Si manis duduk berhadapan dengan Marven.
"Ambil uang nya. Gua gak mau."
"Kenapa?"
"Kebanyakan, ambil balik. Kalau gak, gua block nomor Lo. Gak usah temuin gua lagi."
"Jangan dong! Iya iya, nanti itu urusan belakanga. Nih, Roti buat Lo." Marven meletakkan sebuah bingkisan di atas meja. Ia sengaja membeli spesial cuman buat Jay. Kurang effort apa?
"Makasih."
"My pleasure. Ibu Lo baik banget."
"Belum tahu aja kalau ibu gua marah kaya gimana."
"Tapi, intinya beliau baik. Gua serasa punya ibu, lagi." Ekspresi Marven berubah dalam sekejap. Yang tadinya ceria, kini tampak murung. Seperti, sedang memikirkan sesuatu.
"Maaf, tapi Ibu Lo emang kemana?"
"Tinggal di luar negeri sama keluarga barunya. Mereka cuman pantau gua lewat orang orang suruhan nya. Bokap juga udah nikah lagi, mereka tinggal di Canada. Gua disini cuman sama pembantu." Jelas Marven. Dari nada nya berbicara. Mengandung emosional serta kerinduan.
"Sorry..."
"No biggie, pretty. Calm down. Oh, ya. Besok udah mulai berangkat?"
"Udah. Agak mendingan juga."
"Masih sakit nggak?" Marven berbisik. Ia takut Anita mendengar. Meski pun wanita itu tak ada disini.
Tapi apa salahnya jaga jaga?
"Masih, dikit."
"Berarti kalau udah sembuh, boleh lagi dong." Marven cengengesan, sedangkan Jay. Menatap sengit pada pria itu. Enteng banget tuh mulut, kaya gak ada dosa sama sekali.
"Biji Lo di kepang sini."
"Ampun, ngeri juga." Marven bergidik ngeri, seraya memegangi penis nya yang terbalut kain, celananya.
"Kita udah lama nggak ribut. Mau ribut gak?"
"Kurang kerjaan Lo." Jay.
"Ribut di kasur."
Jay melemparkan bantal yang ada di sampingnya, tepat mengenai wajah cabul Marven. seharusnya pake batu bata, bukan cuman bantal. Biar tau rasa, dan nggak cabul lagi.
°°°
"Si Marven mana, anjir?" Kelana sedari tadi mencari cari bocah tengil itu. Sebab batang hidung nya belum kunjung muncul sama sekali. Biasanya, sebelum pulang ke rumah. Marven rajin banget nongkrong dulu di basecamp. Di temenin sama anak anak lain nya. Mereka biasa nya suka main kartu. Yang Uno game duluan, bakalan lolos dari hukuman.
Javian mengangkat kedua bahunya, menandakan tak tahu. Ia sibuk membaca buku pelajaran, karna besok ulangan. Sedangkan Arlan sama Fabian. Mereka lagi sibuk nyari cewek di aplikasi. Walaupun pernah zonk, karna dapetin transgender. Mereka ternyata nggak ada kapoknya.
"Ini alisnya kaya ulat bulu. Ngeri lah!"
"Jangan gitu Lo. Tapi, emang bener sih. Tapi yang ini dempul, anjir."
"Pacarin aja cowok." Celetuk Kelana. Dan mendapat hadiah pukulan ringan dari Arlan. si Empu mengaduh nyeri.
"Kita kapan kapan taruhan, Yuk? Yang kalah pacarin cowok. Si Jay itu." Kelana. Ide busuk pria itu selalu muncul ketika berada di basecamp. Apa semua ini berkaitan sama kamar mandi? Penunggu kamar mandi bisa aja suka rasukin Kelana, supaya menyalurkan ide ide buruk.
"Gua kudu kalah."
"Okay. Tapi, nanti dulu. Obrolin sama Marven juga. Gua pengen liat si Jay sakit hati, anjir! Bentuk balas dendam gua ke dia." Arlan.
"Betul. Setuju gua sama Lo, Ar." Javian tiba tiba menyahut. Padahal sedari tadi pria itu diam saja.
Giliran niat busuk, Javian baru mau ngomong.
"Okay, deal, ya! Eh, cewek gua chat." Kelana berpamitan pada teman teman nya. Ia ada janji dengan pacar nya, untuk menjemput sang kekasih dari sekolah. Kelana menjalin hubungan dengan gadis yang berbeda sekolah.
"Bucin! Lo kapan kaya gitu, Bi?" Tanya Arlan pada Fabian. Padahal dirinya juga sama, masih jomblo. Fabian cuman ngelirik sinis. Minimal kalau nanya, yang ngasih pertanyaan udah punya pacar. Biar enak kesan nya.
"Ngomong sama pantat Javian."
"Nggak mau, burik." Arlan.
"Enak aja Lo kalau ngomong!" Javian tak terima di tuduh seperti itu.
"Mana buktinya? Coba sini tunjukin!"
"Gila lo, Anjing!"
"Ribut mulu Lo berdua. Gelud di lapangan aja lah sana. Muak gua." Fabian.
"Dia duluan!" Sahut Arlan, menunjuk ke arah Javian. Nyatanya, dirinya yang memulai. Cuman Arlan suka banget pura pura jadi korban.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Rival
FanfictionNasib Jay yang malang akibat menerima taruhan dari rivalnya sendiri--Marven. Penuh percaya diri, jika dirinya yang akan menang. Namun kenyataannya justru sebaliknya. °°°° Lapak BXB! cr; pinterest, Twitter, Instagram, dll.