Shout, Wail, Anxious

7 2 0
                                    

Siang hari begitu terik. Panas semakin terasa akibat pemanasan global dan gersangnya tanah karena penguapan air yang prosesnya begitu cepat; menambah kesan seperti berada di gurun pasir. Tapi nyatanya rombongan mobil dan truk berisi hasil jarahan tersebut sedang berada di jalanan biasa, menuju kota seberang yang terpencil. Jalanan dikelilingi bukit bukit cukup tinggi dan semak belukar kering yang menggelinding terhempas angin. Tidak ada pohon hijau. Tidak ada tempat berteduh. Benar benar hanya bukit dan hamparan tanah gersang yang menerbangkan debu setiap ada angin lewat. Angin tak membawa sejuk, melainkan hawa panas.

Sorak sorai lenguhan meminta pertolongan dengan tangis terdengar pilu di penjuru sudut. Tolong aku, keluarkan aku, kembalikan aku, bersahut sahutan dibarengi dengan air mata yang terus mengalir dipipi orang orang itu. Lengkingan rasa sakit seperti terjepit, kesedihan, ketakutan hingga kepanikan bercampur paur memenuhi indra pendengaran membuat jengah pria pria bersenapan itu— hingga mereka harus berteriak teriak kasar menyuruh untuk diam. Tetapi percuma saja, sang para pemilik tangis semakin ketakutan dan dikuasai rasa cemas luar biasa mendengar kata kata kasar yang dikeluarkan oleh pria tak dikenal yang menyuruh mereka untuk diam.

Salah satu pemuda disana terbungkam, memandangi satu persatu wajah wajah putus asa yang ada didepan matanya. Mereka dilanda serangan panik, ketakutan, pikiran pikiran negatif tentang apa yang akan orang jahat ini lakukan pada mereka-mungkinkah mereka akan dijual, atau dibunuh lalu diambil organnya saja? Ia takut, sungguh, tidak tahu harus berbuat apa. kedua tangannya gemetar dengan salah satunya menyangga kepala satu satunya orang yang ia kenal disini. Air mata yang lama ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia ingin kembali.

.
.

.
.

Suara suara tangis membangunkan remaja usia dua puluh itu, ia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke kedua iris abunya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang ia melihat banyak sekali anak anak, wanita, laki laki yang seumurannya memenuhi dengan sesak. Mereka menangis, berteriak meminta dikembalikan. Ia Jay, memastikan dirinya sedang berada di atas truk atau mobil box. Dentuman pukulan benda tumpul diatap membuat dia sadar seratus persen, lalu disusul dengan suara berat pria berteriak kasar menyuruh diam. Jadi, dia benar benar diculik?

Kepalanya disangga oleh sebuah lengan, dahinya hampir menyentuh dada si pemilik tangan. Jay mendengar isak tangis sesenggukan kecil darinya, jemari tangan pemuda itu mengeratkan genggamannya pada baju Jay. Pemuda itu menoleh disaat merasakan pergerakan pada kepala yang disangganya. "Jay?" yang di panggil menyipitkan matanya akibat silau sinar matahari yang melewati cela atap menghalangi wajah orang didepannya. "Kau sudah bangun? Bagaimana kepalamu?"

Tunggu, Jay mengenalnya. Dia Jungwon, pemuda dari rumah susun seberang jalan. Kemarin pagi mereka bertemu dan berjalan bersama menuju ketempat mereka bekerja. Bagaimana bisa dia juga terculik?

Jay mengusap air mata yang mengalir dan berhenti dipipi Jungwon. Ia menghela napasnya kasar, mengacak rambut hitam legamnya frustasi. Mereka semua diculik, tidak tahu akan dibawa kemana, akan diapakan.

"Jungwon," Jungwon mengusap air matanya lagi, "bagaimana bisa kau berada disini?" Jungwon tidak menjawab, namun telunjuknya mengarah pada dahi Jay. Pemuda berkulit agak tan itu menyentuh dahinya sambil meringis, ada sobekan cukup lebar dari kiri hampir ketengah. Ia lalu menurunkan tangannya, melihat heran tidak ada darah yang menempel disana.

"Aku membersihkannya tadi, darahnya tak cepat berhenti, aku panik jadi, ya—begitu" Jungwon menundukkan kepalanya, mengepalkan kedua tangan dan menumpukannya diatas paha.

"Terima kasih."

Jungwon mendongak kemudian mengangguk pelan. Disaat seperti ini pun mereka berdua tetap canggung, sama dengan hari hari kemarin ketika mereka bertemu. Jay bergumam tak jelas memikirkan keselamatan dirinya kedepan, membuat Jungwon mengangkat kedua alisnya meminta penjelasan. "Ah tidak tidak... Tapi, bagaimana bisa kau berada disini?"

Raut wajah Jungwon berubah semakin murung. Wajahnya yang sembab karena menangis semakin memerah, ia lalu menjelaskan dari awal bagaimana awalnya dia berniat membuat roti dengan untuk ibunya, Jungwon yang terlalu asik dengan dunianya hingga lupa waktu kemudian berlari pulang terburu buru dan akhirnya terjegal salah satu pria dirombongan ini.

Ia juga becerita bagaimana saat ia terjatuh dan melukai dagunya. Jay menengok kebawah dagu pria kurus itu, luka berbentuk setengah lingkaran yang berantakan sisinya. Tidak ada darah yang keluar, tetapi, kulit epidermisnya terkelupas- membuat kulit dalam yang berwarna agak merah muda terlihat. Juga, luka itu kotor, tanah dan kerikil kerikil berukuran sangat kecil masih menempel disana. Jay bertanya apakah masih sakit, Jungwon menggeleng. Ia mengaku sudah tidak apa apa karena lukanya tak selebar milik Jay. Tidak ada air atau kain bersih disana untuk membersihkan luka Jungwon. Jay dengan spontan mengangkat jaket Hoodienya kemudian mengarahkan pada dagu Jungwon, mencoba membersihkan tanah dengan perlahan. Si kurus ini sudah peduli padanya, ia merasa harus membalasnya. Jungwon meringis, mengangkat dagunya dan menjauh dari tangan Jay. Ia bilang tidak apa apa, hanya luka kecil.

"Ah, maaf" ucap Jay setelah menjauhkan tangannya dari wajah Jungwon.

"Aku ingin kembali. Aku telah membuat ibuku resah. Seharusnya aku menuruti perkataannya, seharusnya—" berhenti karena Jay menyela, "Jungwon," tetapi dia tetap berbicara sambil menangis "Seharusnya aku— seharusnya... haish aku bodoh sekali!"

Jungwon kembali menitikkan air mata, kali ini tanpa suara. Jay membiarkannya, menangis sampai lelah. Sesekali ia akan mengusap air mata pemuda dihadapannya ini dengan jemarinya.

Beberapa menit kemudian Jungwon meredakan tangisnya karena tersadar bahwa percuma, tangis tidak akan menyelesaikan apapun. Wajahnya sedikit membengkak, hidung dan pipinya memerah. Jay menepuk kepalanya pelan lalu merangkul lehernya dengan tangan tetap berada di atas kepala Jungwon. "kita akan keluar dari sini" ia tersenyum menenangkan kemudian melanjutkan, "setelah kita keluar, pastikan kau memberitahuku dimana toko rotimu berada."

.
.

.
.

Perjalanan mereka tentulah memakan waktu dan jaraknya jauh. Terhitung dari malam ia pingsan dan sekarang matahari hampir naik keatas kepala. Mereka yang berada dalam truk tidak mendapatkan apapun, entah hanya air atau makanan kecil. Sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik— didalam sana terlalu banyak manusia, berjejalan dengan kaki keram karna terlalu lama duduk. Oksigen yang masuk kalah banyak dengan karbon dioksida yang dikeluarkan oleh orang orang ini. Sesak, panas, bau keringat. Mobil mobil itu berhenti sejenak di gerbang masuk utama, melakukan pengecekan pada setiap orang yang akan masuk. Itupun menandakan mereka telah sampai ke kota tersebut. Atap truk tempat mereka duduk terbuka lebar. Panasnya matahari menusuk, menyebabkan sensasi terbakar pada kulit. Mereka terlihat seperti ikan ikan kecil yang sudah digarami dan siap untuk dijemur.

Jungwon berdiri mengangkat tumitnya karena tinggi dinding truk tersebut mencapai alis, lalu mengedarkan pandangan mata ke sekeliling. Tembok beton menjulang tinggi kelangit, berjajar rapat mengelilingi kota. Jungwon tidak bisa melihat ujung akhir tembok, sepertinya kota itu berbentuk bulat. Ia yakin kondisi didalam kota tidak bisa terlihat dari luar. Tembok ini bahkan lebih tinggi dari rumah susunnya yang berlantai empat, dengan lebar kurang lebih lima rentangan tangan orang dewasa per betonnya. Mereka memasuki kota, riuh orang orang sedang bekerja dan memerintah mulai terdengar. Kota yang panas dan padat, sepanjang jalan masuk Jungwon tidak menemui pohon satupun yang tumbuh kecuali beberapa tanaman dalam pot yang berada didepan bangunan rumah makan atau kios kios dagang. Tinggi tanaman itu kira kira hampir mencapai dua meter dengan batang bercabang cabang, daun majemuk menjari. Helai daun bagian pinggir bergerigi dan berujung lancip— terdapat lima sampai tujuh helai daun percabangnya.

"Ganja. Itu ganja,"

Jay bergumam pelan, ah pantas saja Jungwon seperti mengenal tumbuhan itu.

Mereka kemudian terduduk kembali setelah ditodong senapan oleh pria yang berada di mobil belakang truk, sambil berteriak kesal menyuruh Jay dan Jungwon untuk tidak berdiri.

[]

Ring RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang