Bab 7: Festival Sastra dan Kekacauan Identitas

22 10 0
                                    


Pagi itu, Sari dengan penuh semangat menyiapkan sarapan. Wajahnya cerah, dan senyum lebar menghiasi bibirnya. Bram, yang masih setengah mengantuk, duduk di meja makan, mengamati istrinya yang tampak lebih ceria dari biasanya.

"Ada apa, Sar? Kamu kelihatan bahagia banget hari ini," tanya Bram sambil menguap lebar.

Sari mengangguk sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas. "Tentu saja! Hari ini adalah hari Festival Sastra Tahunan. Aku sudah menunggu ini selama berbulan-bulan, dan yang lebih menyenangkan lagi, Arga akan datang sebagai pembicara!"

Bram langsung terjaga dari kantuknya. "Arga? Maksudnya, aku?" pikirnya dalam hati. Tapi dia berusaha menjaga ekspresi tetap tenang. "Oh, begitu ya," jawabnya dengan nada santai. "Kamu mau pergi?"

"Tentu saja! Dan aku sudah memutuskan, kamu harus ikut," kata Sari dengan nada tegas.

Bram terperangah. "Aku? Mengapa aku harus ikut?"

"Aku ingin kamu lebih mengerti kenapa aku begitu mengagumi Arga," jawab Sari sambil meletakkan piring berisi roti panggang di depannya. "Selain itu, kamu butuh sedikit penyegaran. Terlalu banyak bekerja bisa bikin stres, lho."

Bram terdiam sejenak, memikirkan situasi ini. Bagaimana bisa dia menghadiri acara di mana dirinya sendiri, sebagai Arga, menjadi pembicara? Namun, di hadapan semangat Sari yang menggebu-gebu, ia merasa tak mungkin untuk menolak. "Oke, baiklah, aku ikut," katanya akhirnya.

Mereka berangkat bersama menuju lokasi festival, sebuah taman kota yang dihias dengan bendera-bendera kecil berwarna-warni. Stan-stan buku berderet sepanjang jalan, dan banyak pengunjung sudah memenuhi area tersebut. Bram merasa gugup. Dia tidak bisa begitu saja muncul sebagai Arga, apalagi dengan Sari di sampingnya.

"Ini akan jadi masalah besar," pikirnya. Tapi, mungkin dengan sedikit keberuntungan dan perencanaan, dia bisa lolos tanpa diketahui.

Mereka tiba di area utama, di mana panggung besar telah didirikan. Beberapa penulis sudah duduk di kursi mereka, menunggu giliran untuk berbicara. Mata Bram mencari-cari seseorang yang bisa membantunya. Di kejauhan, dia melihat seorang teman editor, Rani, yang juga menjadi moderator acara ini. "Mungkin aku bisa mengatur sesuatu," pikirnya.

"Sari, aku mau ke toilet dulu," kata Bram dengan nada setenang mungkin. "Kamu bisa duduk dulu di sana."

"Baik, tapi jangan lama-lama ya," jawab Sari tanpa curiga.

Bram bergegas menuju arah Rani berdiri. Ketika dia sampai di sana, dia langsung membisikinya, "Rani, kita punya masalah. Aku tidak bisa tampil sebagai Arga. Istriku ada di sini!"

Rani terkekeh. "Kamu benar-benar suka bermain api, ya, Bram? Baiklah, kita atur saja. Aku akan mengumumkan bahwa Arga sedang sakit tenggorokan dan akan berbicara melalui rekaman suara."

Bram menghela napas lega. "Terima kasih, Rani. Kamu penyelamatku."

Mereka segera membuat pengaturan kilat. Bram merekam sedikit pesan di belakang panggung, berpura-pura sebagai Arga yang sedang mengalami radang tenggorokan. Sementara itu, Sari yang duduk di barisan depan, tampak sangat antusias menunggu 'Arga' muncul.

Ketika sesi pembicaraan Arga dimulai, Rani naik ke panggung dan mengumumkan, "Para hadirin yang terhormat, saya sangat menyesal mengabarkan bahwa Arga, penulis kesayangan kita, sedang mengalami sakit tenggorokan hari ini. Namun, dia sangat menghargai penggemar-penggemarnya, jadi dia sudah menyiapkan rekaman suara untuk kalian."

Suasana menjadi hening sesaat, kemudian terdengar sorakan kecewa dari beberapa penonton. Sari tampak terkejut, tetapi masih menunggu dengan penuh harapan. Bram mengintip dari belakang panggung, melihat reaksi semua orang. "Semoga ini berhasil," gumamnya.

Rekaman suara Arga mulai diputar, dan semua mata tertuju pada layar yang menampilkan video kosong dengan suara Bram yang telah diubah sedikit. "Hai, semuanya. Maafkan aku karena tidak bisa hadir secara langsung hari ini. Kondisi tenggorokanku sedang tidak baik, tapi aku ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian semua..."

Bram merasa sedikit lega saat melihat para penggemar Arga mulai mendengarkan dengan lebih tenang. Sari, meskipun terlihat sedikit kecewa, tetap berusaha menikmati momen tersebut. "Aku harap ini cukup untuk mengalihkan perhatiannya," pikir Bram.

Namun, setelah rekaman selesai diputar, seorang penonton tiba-tiba mengangkat tangan dan bertanya, "Apakah ada kesempatan Arga bisa muncul sebentar untuk tanda tangan? Kami rela menunggu!"

Rani berusaha menjaga senyum, tetapi Bram bisa melihat kecemasan di matanya. Sari juga tampak bersemangat dan berkata kepada teman di sebelahnya, "Kita tunggu saja, mungkin dia akan keluar untuk menyapa!"

Bram merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia harus berpikir cepat. Dia memutuskan untuk berjalan memutar dan bergabung kembali dengan Sari, berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di atas panggung. "Apa aku ketinggalan sesuatu?" tanyanya.

"Ya, sayang sekali, Arga tidak bisa hadir karena sakit tenggorokan. Tapi dia mungkin akan keluar untuk menyapa sebentar!" jawab Sari dengan penuh harap.

"Oh, begitu," jawab Bram, berpura-pura kecewa. "Yah, semoga saja dia cepat sembuh."

Rani kemudian mengambil mikrofon lagi dan berkata, "Kami mohon maaf, tapi Arga benar-benar tidak bisa bertemu langsung hari ini. Namun, kita akan tetap melanjutkan acara dengan sesi tanya jawab penulis lainnya!"

Ada beberapa keluhan, tapi acara kembali berjalan lancar. Sari tampak agak kecewa, tapi tidak ada kecurigaan yang timbul. Bram menghela napas panjang, merasa sedikit aman untuk saat ini.

Setelah acara berakhir, mereka berjalan-jalan di antara stan-stan buku. Sari masih terlihat sedikit kecewa. "Kupikir kita akan bisa bertemu langsung dengan Arga," katanya dengan nada sedih.

Bram merasa sedikit bersalah, tapi dia tahu bahwa kebenaran akan jauh lebih rumit. "Mungkin lain kali," katanya lembut, merangkul Sari. "Kesehatan lebih penting, kan?"

Sari mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan. "Ya, mungkin kamu benar. Tapi tetap saja, akan sangat menyenangkan jika kita bisa bertemu dengannya."

Mereka melanjutkan hari itu dengan berkeliling festival, membeli beberapa buku, dan menikmati suasana yang ramai. Bram merasa lega karena berhasil lolos dari situasi yang hampir berbahaya. Namun, di balik ketenangannya, ia tahu bahwa semakin hari, semakin sulit untuk menjaga rahasia ini.

Sari mungkin belum menyadari apa yang terjadi, tetapi ada ketakutan yang membayangi Bram. Jika hal seperti ini terus terjadi, mungkin suatu saat nanti Sari akan mulai menyatukan potongan-potongan teka-teki dan menemukan kebenarannya.

Dan ketika saat itu tiba, Bram harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Penulis di Balik Pintu KamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang