“Terkadang kamu hanya perlu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri tanpa bantuan orang lain.”
- Alona Zealinne Artharendra
•••
Alona menghembuskan nafasnya pelan. Baru saja kakinya melangkah masuk kedalam rumah, dan tuntutan demi tuntutan yang di layangkan Ayahnya menjadi hal pertama yang ia dengar. Dan mirisnya, Alona sama sekali tidak bisa melawan walaupun mau. Salah kah jika dirinya ingin bebas tanpa di tuntut menjadi seperti Alana?
“Beberapa hari ini saya liat nilai kamu turun. Ada apa dengan kamu, Alona?” Suara berat namun terkesan menyeramkan dari Alvin berhasil membuat Alona menunduk. Entah pergi kemana semua keberaniannya untuk melawan.
Alvin melangkah maju. Membuat Alona secara refleks memundurkan langkahnya. Alona tau, Alvin sedang tidak dalam suasana hati yang baik saat ini. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya kesal dan memilih untuk melimpahkan semua kekesalannya Alona. Sudah menjadi hal biasa bukan? Alana juga dulu merasakannya. Bahkan lebih parah dari Alona. Dan hal itu juga yang membuat Alona memilih untuk tidak mengeluh diatas semua masalahnya. Sadar. Satu hal itu berhasil membuat Alona hanya bisa menangis tanpa mengucapkan sepatah kata kesakitan dari mulutnya.
“Kenapa? Biasanya kamu berani menatap wajah saya. Bahkan berani melawan semua ucapan saya. Lalu sekarang kenapa? Mendadak keberanian kamu hilang begitu saja.” Alvin mencengkram dagu Alona kuat. Matanya menatap tajam putri bungsunya seolah ingin menerkam. “Jawab saya, Alona!”
Alona memejamkan matanya. Merasakan sakit di bagian rahang yang di cengkram erat oleh Alvin. Sebisa mungkin gadis itu menahan air matanya agar tidak jatuh. Alona mengenal Alvin. Ayahnya itu tidak suka akan tangisan. Alvin akan semakin semena-mena jika melihat anaknya menangis atas apa yang di perbuatnya.
Detik berikutnya Alona kembali membuka matanya. Membalas tatapan mata Alvin yang cukup mematikan. Mungkin keberaniannya tidak cukup besar untuk melepaskan cengkeraman tangan Ayahnya. Namun masih ada sedikit keberanian untuk melawan setiap ketidak Adilan yang di timpakan padanya. Alona tidak suka dituntut apalagi diremehkan. Ingat, Alona bukan Alana yang hanya akan diam menerima setiap perbuatan Ayahnya.
“Apakah nilai saya menjadi Masalah? Ini hanya hal kecil. Saya bisa meningkatkan nilai saya jika saya mau. Ayah tidak perlu repot-repot menyuruh apalagi menuntut.”
Alvin membulatkan matanya. Ternyata Alona memang memiliki keberanian yang cukup besar untuk membalasnya. Matanya menunjukkan segalanya. Alona memang gadis keras kepala yang tidak bisa di paksa. Alona adalah gadis yang menentang setiap jenis tuntutan. Alona adalah seseorang yang selalu menginginkan kebebasan, bahkan setelah menerima banyak tuntutan.
“Kamu ... berani melawan saya?”
“Kenapa tidak? Ayah lupa prinsip saya? Melawan selagi benar dan diam saat salah. Kali ini saya tidak salah. Nilai bukan penentu segalanya, Ayah.”
“Tapi nilai menunjukkan seberapa keras usaha kamu!”
“Terkadang bukan usaha. Ini hanya masalah waktu. Ada saatnya sesuatu yang kita inginkan tidak terjadi saat kita sudah berusaha keras. Bukan karena kita gagal. Tapi karena Tuhan ingin mengganti setiap usaha kita dengan sesuatu yang lebih baik. Termasuk nilai.”
Kalimat panjang yang di lontarkan Alona berhasil membuat Alvin bungkam. Gadis itu berhasil membalas setiap ucapannya. Satu hal yang sekarang ia sadari. Alona memiliki keberanian yang lebih besar dari yang ia pikirkan.
Matanya menatap Alona cukup lama sebelum melepaskan cengkramannya. Bahkan setelah mengucapkan begitu banyak kata yang berhasil membuatnya diam, Alona masih berani menatap matanya tanpa mau menundukkan wajahnya kembali.
Tatapan Alvin berubah menjadi tatapan yang sulit di artikan. Yang bahkan Alona sendiri pun tidak mengerti maknanya. Namun gadis itu memilih acuh. Selagi Alvin tidak membalas ucapannya atau kembali melakukan kekerasan fisik padanya, dirinya tidak peduli. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah pergi dari hadapan Alvin sebelum lelaki itu kembali pada suasana hati seperti sebelumnya.
Tangan kekar itu perlahan mengepal. Alvin merasa jika Alona sudah terlalu menganggap remeh dirinya. Setiap usaha yang ia lakukan untuk membuat gadis itu takut atau tunduk padanya gagal sia-sia. Bukannya tunduk, Alona malah semakin berani padanya.
“Kamu sudah keterlaluan, Alona. Kamu perlu mendapatkan sesuatu yang lebih dari ini.”
•••
Selepas beradu mulut dengan Alvin satu jam yang lalu, Alona memilih untuk berjalan-jalan sebentar kerumah Alana. Dirinya tentu merindukan saudarinya itu. Apalagi saat tadi Alana sempat mengirim pesan padanya jika tengah menginginkan roti sandwich dari restoran dekat rumah. Tentu semangatnya semakin menggebu untuk datang berkunjung.
Kini gadis bersurai panjang itu tengah berdiri sambil menunggu taksi untuk di tumpanginya. Sudah hampir lima belas menit dirinya menunggu dan sama sekali tidak ada taksi ataupun ojek yang lewat. Waktu juga sudah malam. Mungkin akan semakin malam jika dirinya lebih lama menunggu.
Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depannya. Dari warnanya sepertinya Alona mengenal siapa pemiliknya. Dan benar saja. Setelah lelaki itu membuka kaca helmnya, baru Alona bisa melihat dengan jelas wajahnya. Itu Devano. Entah mengapa lelaki itu bisa datang di saat dirinya membutuhkan tumpangan seperti ini.
“Lo cenayang, ya, Dev? Kok bisa tiba-tiba dateng pas gue butuh gini?”
Devano memutar kedua bola matanya malas. “Gue gak sengaja lewat. Terus liat Lo kayak gembel kebingungan gini. Kenapa gak minta tolong sama gue aja kalo mau pergi?!”
“Hah? kok bisa pas gitu?” Alona menaikkan kedua alisnya terkejut. Yang sialnya malah terlihat menggemaskan di mata Devano.
“G--gue tadi gak sengaja lewat terus liat Lo. Kan tadi udah gue jelasin, b*go!”
“Oh, iya.” Alona nyengir. Entah kenapa akhir-akhir ini otaknya tidak bekerja seperti seharusnya saat berhubungan dengan Devano. Seolah otaknya selalu memikirkan hal-hal lebih di luar kenyataan. Alona bahkan berpikir jika Devano memantaunya hingga mengetahui semua aktivitasnya.
Devano menghembuskan nafasnya lega. Tidak mungkin 'kan dia mengatakan jika beberapa hari ini sering memantau WhatsApp Alona. Juga menjadi orang pertama yang menonton story-nya. Namun kenyataannya memang begitu. Tadi Alona sempat membuat story dengan sedikit keterangan di bawahnya jika tengah menunggu taksi. Dan tentu saja Devano menjadi orang pertama yang melihat. Bahkan saat baru satu detik ter-upload.
“Yaudah, naik!”
“Iya-iya, sabar! Ngegas amat!” Dengan kesal Alona menaiki motor sport milik Devano. Daripada Devano berbalik arah dan memilih untuk pulang, akan lebih baik jika dirinya bertindak cepat.
“Mukanya biasa aja. Gue cemplungin ke selokan tau rasa Lo!”
“Ini udah biasa aja muka gue! Kudu di gimanain lagi?!”
Tanpa sadar bibir Devano membentuk senyum tipis dari balik kaca helmnya. Entahlah. Suara dan celotehan itu membuatnya tidak bisa menahan denyut di bibirnya. Seolah bibirnya memaksa untuk tersenyum atas tingkah kecil itu.
“Lucu.”
“Hah?” Alona kembali mamasang ekspresi seperti tadi. Lucu dan menggemaskan.
Devano terkekeh. “Lupain.”
Alona mengedikkan bahunya. Lagipula dirinya tidak mendengar dengan jelas ucapan Devano. Mungkin lelaki itu hanya berdecak karena kesal padanya.
Kenyataannya lebih daripada itu. Devano benar-benar di buat tersenyum oleh setiap tingkahnya. Entah perasaan apa itu. Yang pasti, Devano selalu merasa nyaman saat berada di dekat Alona. Tentunya berbeda saat dirinya bersama gadis lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
De Todo"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra