Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan.
Dan kini, datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah samurai.
"Kau boleh memilih senjata Datuk..." kata Saburo.
"Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan tulang yang delapan kerat..." suara datuk itu terdengar perlahan.
Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat.
Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan. Tatapannya lurus kedepan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung.
Setelah itu memberi hormat dengan tegak lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan Silek Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
"Engkau boleh menyerang duluan, Datuk..." Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri.
Ada sesuatu yang membuat kapten ini iri pada datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak menyaksikan kehebatan penduduk pribumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya seperti datuk ini.
Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan datuk ini. Dia menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.
Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara perlahan pula, hampir-hampir tak kelihatan, bergerak mili demi mili mendekati gagang samurainya. Ini adalah gerakan pendahuluan.
Tiba-tiba tangan itu bergerak cepat. Saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri kemudian berguling di tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk diceritakan.
Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak bisa dipercaya. Gerakan samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala samurainya baru keluar separoh.
Siku si tinggi besar itu kena dihantam tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu terpekik. Sikunya patah!
Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga terlambat. Guru silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke selangkangannya.
Tubuh Jepang itu terangkat sejengkal, kemudian tertegak lagi di tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak. Tapi Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan kanannya ke leher Jepang itu.
Itu adalah sebuah serangan yang disebut 'tatak pungguang ladiang' dari jurus Kumango yang terkenal ampuh. Tetakan dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut.
Begitu suara berderak terdengar, begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah tanpa nyawa! Hanya dalam sekali gebrak, serdadu Jepang itu mati!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAM SAMURAI
AcciónTIKAM SAMURAI adalah bagian dari sebuah serial karya Makmur Hendrik, yang menggabungkan seni bela diri silat dengan elemen sejarah. Cerita ini berfokus pada perjalanan seorang pemuda bernama Si Bungsu dari desa Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sa...