23. Growing Up

872 113 12
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------
"Selamanya
Sampai kita tua
Sampai jadi debu
Ku di liang yang satu
Ku di sebelahmu."

(Banda Neira - Sampai Jadi Debu)

●○•♡•○●

Entah sudah berapa juta lembaran kisah hidup yang ketujuh bersaudara ini lalui. Luka karena kehilangan Ibu, Bapak yang tiba-tiba seperti menghilang tanpa jejak hingga mereka semua dewasa, Jantera yang sangat sulit menerima kehadiran Sapta, hingga lika-liku drama ketika Mas Abi membuka semua rahasia yang selama ini ia pendam tentang keluarga mereka, dan juga tentang kehidupan Mas Abi kini yang seolah harus kembali di jungkir balik.

Ternyata, perkiraan Mas Abi benar. Perusahaan yang selama ini menjadi tempatnya untuk mencari sesuap nasi, benar-benar gulung tikar. Masalah internal yang terjadi, memang ternyata tidak bisa menemui jalan tengah. Tidak hanya Mas Abi. Seluruh karyawan perusahaan itu pun terkena PHK.

Meski Mas Abi tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, masih ada hal lain yang patut Mas Abi syukuri. Karena usul Sena satu bulan yang lalu untuk berjualan gorengan, dan juga kegigihan Sapta dan Kara yang mau ikut serta memasarkan, menjadi salah satu hal yang setidaknya mampu membuat Mas Abi sedikit tenang.

Namun, tak ada yang tahu. Terkadang, Mas Abi diam-diam menangis sendirian. Mas Abi menangisi Mas Raga. Hati Mas Abi selalu berdenyut nyeri ketika mengingat bahwa Mas Raga adalah adik pertamanya, yang harus selalu ikut andil dalam setiap masa-masa sulitnya.

Dan yang membuat Mas Abi semakin teriris adalah, ketika pemikiran gelapnya saat putus asa pada hidup, hampir saja membuat keenam adiknya tak lagi memiliki penyangga dan tujuan hidup.

"Mas, aku boleh nggak nanti sore ikut Mas Jan ke sawah?" tanya Sapta polos sambil menyisir rambutnya yang masih basah.

"Ngapain? Mas Jan ke sawah? Nggak salah?" Mas Abi mengerutkan alisnya bingung. Karena, Jantera hanya mau ke sawah jika itu hanya dengan Dika dan Sena. Dan sawah yang dimaksud Sapta adalah sawah yang masih mengering, dan belum ditanami padi lagi.

Sapta mengangguk seraya mengancingkan seragam sekolahnya. "Iya. Aku juga baru denger Mas Jan sama Abang lagi ngobrol aja sih tadi. Aku juga belum izin sama Mas Jan mau ikut. Aku izin sama Mas dulu," kata Sapta.

"Mas Jan-nya kemana?"

"Tuh, di depan! Lagi manasin motor."

"Ya udah. Izin dulu sama Mas Jan, gih! Abis itu cepet sarapan dulu! Kesiangan kamu nanti!" imbuh Mas Raga yang sedari tadi menyiapkan gorengan untuk Sapta dan Kara bawa ke sekolah.

●○•♡•○●

"Eh, lo kenapa masih aja jualan, sih? Nggak malu?" cibir Riko. Bocah yang sebelumnya mem-bully Sapta.

Sapta yang sudah mulai bisa mengontrol emosinya, hanya melirik Riko sekilas, lalu kembali menghitung uang hasil jualannya. "Ngapain malu? Gue nggak nyolong duit orang," balas Sapta datar.

Entahlah, mungkin akhir-akhir ini Riko sedikit kesal karena kehilangan 'taring'nya. Semenjak kejadian Sapta yang berani melawannya hingga masuk ke ruang BK, anak-anak dikelasnya jadi tidak lagi takut padanya. Bahkan, dua cecunguk yang tadinya menjadi anak buahnya pun perlahan menjauh dan tidak lagi dekat dengannya.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang