Special Chapter 1 - Reinkarnasi Tachibana Azusa

1 0 0
                                    

Beberapa waktu lalu, kehidupan seorang siswi SMA bernama Tachibana Azusa sedikit sulit. Dimana dia menjadi pusat pembulian di kelasnya dikarenakan dia tidak mau bergaul dengan para murid di kelas.

Azusa bukanlah tipe yang suka menarik perhatian. Dia lebih memilih duduk di pojok kelas, tenggelam dalam buku-buku fantasi yang selalu membawanya jauh dari kenyataan yang menyakitkan. Namun, ketidakpeduliannya pada sekitar justru menjadi alasan bagi beberapa murid untuk menjadikannya target. Kata-kata kasar dan ejekan terus menghujani, namun Azusa tetap bertahan, menahan semuanya dalam diam. Dia merasa, selama dia tidak bereaksi, semua itu akan berlalu.

Namun, hari demi hari, tekanan semakin kuat. Barang-barangnya sering kali hilang atau dirusak. Pulang sekolah tidak lagi menjadi momen lega; ada sekelompok murid yang menunggu di luar gerbang hanya untuk mengganggunya. Tidak ada yang pernah benar-benar peduli pada keberadaannya, baik guru maupun murid lain, sehingga mereka semua memilih untuk mengabaikan apa yang terjadi.

Suatu sore, setelah kejadian buruk lainnya di kelas, Azusa pulang lebih lambat dari biasanya. Hujan deras turun, membasahi seragamnya yang sudah kumal karena ulah teman-teman sekelasnya. Di tengah jalan, rasa kesepian dan putus asa melanda dengan kuat. Untuk pertama kalinya, dia merasa hampa dan tak ada gunanya.

Azusa melangkah perlahan, menyusuri jalan kecil yang sepi di bawah guyuran hujan. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya hujan, tetapi juga karena hatinya yang semakin membeku. Di kepalanya, kata-kata jahat yang tadi dilontarkan oleh teman-teman sekelasnya terus terulang, seolah menjadi suara latar dari kesendiriannya.

"Kau pikir kau lebih baik dari kami, ya?" salah satu dari mereka mengejek saat Azusa mengabaikan mereka, memilih tetap diam.

"Dasar aneh! Kau bahkan nggak punya teman!" suara lain menambahkan, diikuti oleh tawa yang menggemakan rasa sakit yang terus dia coba lupakan.

Hujan yang semakin deras seolah mencerminkan perasaannya yang suram. Sesekali, dia mengangkat kepalanya, menatap langit abu-abu yang terasa jauh dan tak peduli, sama seperti dunia di sekitarnya. Dia teringat percakapan yang terjadi sebelum dia keluar dari sekolah hari itu.

"Azusa!" suara seorang gadis terdengar, salah satu teman sekelasnya yang sering ikut membuli, memanggil namanya di koridor.

Azusa berhenti, tapi tidak menoleh. "Apa lagi kali ini?" pikirnya, perutnya mengencang dengan rasa tidak nyaman.

"Apa kau tidak pernah bosan duduk sendirian seperti itu?" tanya gadis itu dengan nada mengejek, diiringi tawa teman-temannya. "Apa kau bahkan mengerti apa artinya punya teman?"

Azusa tetap tidak merespons, tetapi kali ini gadis itu mendekat, wajahnya penuh dengan cemoohan. "Jawab, dong! Atau... kau terlalu pengecut buat bicara?"

Azusa memandang mereka sekilas, tatapannya kosong. "Aku hanya ingin dibiarkan sendiri..." gumamnya, hampir tidak terdengar di tengah canda tawa mereka.

Sekarang, di tengah hujan, suara itu kembali menggema di pikirannya, menyakiti dirinya lebih dalam. Kenapa dia harus menjadi target? Kenapa dia tidak bisa menjalani hidupnya dengan tenang, tanpa harus menghadapi semua ini?

Dia berhenti di tengah jalan, membiarkan air hujan mengalir di wajahnya seperti air mata yang selama ini dia tahan. Di dalam hati, dia ingin berteriak, ingin melawan, ingin semua ini berakhir.

"Apa ini semua akan pernah berhenti?" bisiknya, namun tak ada yang mendengarnya, kecuali hujan yang terus berjatuhan.

Di balik rasa hancur yang dia rasakan, Azusa berharap akan ada perubahan, meski dia sendiri tidak tahu apa atau kapan itu akan terjadi. Namun, di saat pikirannya dipenuhi kegelapan, sesuatu yang aneh terjadi. Kilatan petir membelah langit, dan seketika tubuhnya terasa lemah. 

Dead or Alive in Second Life : RETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang