Bab 12: Diskusi Buku yang Memanas

20 9 0
                                    

Seminggu setelah pertemuan pertama Klub Buku Arga di rumah Sari, pertemuan kedua sudah dijadwalkan. Sari merasa sedikit lebih tenang kali ini. Meskipun beberapa teman-temannya masih curiga tentang Bram, mereka tampaknya menikmati pertemuan pertama dan tidak sabar untuk diskusi berikutnya. Untuk kali ini, Sari memutuskan bahwa diskusinya akan lebih fokus pada karakter-karakter di novel Arga yang kerap memicu perdebatan di kalangan pembaca.

Sore itu, ruang tamu Sari sekali lagi dipenuhi oleh anggota klub buku. Camilan lezat dan minuman sudah disiapkan. Bram, seperti biasa, duduk di sudut ruang makan dengan laptopnya, berusaha terlihat tidak peduli. Dia bahkan membuat beberapa catatan di laptopnya, seolah-olah benar-benar bekerja. Padahal, sebagian besar perhatiannya tertuju pada diskusi yang akan berlangsung.

"Selamat datang kembali, semuanya!" Sari membuka pertemuan dengan senyuman yang lebih percaya diri dari minggu sebelumnya. "Hari ini, kita akan membahas karakter favorit dan yang paling tidak disukai dari novel-novel Arga. Kita semua tahu bagaimana Arga bisa membuat karakter yang sangat hidup, kadang membuat kita mencintai dan membenci mereka pada saat yang bersamaan."

Semua anggota klub tampak bersemangat. Dina, yang dikenal karena pandangan tegasnya, langsung angkat bicara. "Menurutku, karakter perempuan utama di novel terakhirnya sangat tidak realistis. Dia terlalu sempurna, terlalu sabar. Tidak ada orang di dunia nyata yang bisa setenang itu menghadapi semua drama yang terjadi."

Lina, yang duduk di sebelahnya, tidak setuju. "Justru itu yang membuatnya menarik. Dia menjadi simbol kekuatan batin. Tidak semua orang harus bereaksi dengan cara yang sama dalam menghadapi konflik."

Diskusi mulai memanas saat mereka membahas berbagai karakter lain. Dina tetap berkeras pada pendapatnya bahwa karakter-karakter Arga kadang terlalu sempurna dan tidak memiliki cukup kelemahan manusiawi. Sementara, Mia dan Lina menganggap bahwa itulah yang membuat mereka menarik—bahwa mereka adalah representasi dari idealisme yang sulit dicapai.

Bram mendengarkan dengan cermat, mencatat semua komentar. Dia merasa terhibur dan sedikit cemas. Bagaimana tidak? Kritik langsung terhadap karyanya ini begitu dekat dan nyata. Tapi di satu sisi, dia senang mendapatkan umpan balik langsung yang jujur dari penggemarnya, bahkan jika itu datang dari istri dan teman-temannya sendiri.

"Aku rasa," kata Sari tiba-tiba, "Arga menciptakan karakter-karakter ini bukan untuk menjadi sempurna, tetapi untuk mencerminkan berbagai aspek manusia yang berbeda. Kadang kita menemukan diri kita dalam ketidaksempurnaan mereka, dan kadang kita berharap bisa seperti mereka."

Bram tersenyum kecil. Sari selalu tahu cara untuk memberikan perspektif yang bijaksana dan seimbang. Namun, suasana cepat berubah ketika Dina dengan nada tajam menimpali, "Tapi tidak bisakah kita setidaknya mendapatkan satu karakter yang lebih realistis? Seseorang yang benar-benar seperti kita, dengan masalah dan kekurangan nyata."

Mia menambahkan dengan sedikit sentakan, "Iya, dan tidak seperti karakter utama di buku terakhir yang muncul entah dari mana dan tiba-tiba menjadi pahlawan."

Bram mendengar komentar itu dan merasakan dorongan untuk membela karakternya. Namun, ia menahan diri. Ia tahu bahwa bagian dari menjadi seorang penulis adalah menerima kritik, bahkan yang menyakitkan.

Sari mencoba menenangkan suasana. "Setiap karakter memiliki perannya sendiri dalam cerita. Mungkin Arga ingin menunjukkan bahwa kadang-kadang kita perlu karakter seperti itu untuk memberikan harapan."

Diskusi semakin memanas. Sari merasa bahwa ini sudah mulai keluar dari jalur, tapi di sisi lain, dia juga menikmati semangat debat ini. Meskipun agak keras, diskusi semacam ini menunjukkan betapa dalamnya mereka terlibat dengan buku-buku Arga.

Mendekati akhir diskusi, Dina, yang masih tampak kesal, mengangkat tangannya untuk bicara. "Kalian tahu, aku pernah mendengar rumor bahwa Arga sebenarnya menulis karakter-karakter ini berdasarkan seseorang yang dia kenal secara pribadi. Dan itu mungkin sebabnya karakter-karakter ini terasa tidak terlalu autentik. Dia mungkin terlalu berusaha untuk menyembunyikan kenyataan dengan membuat mereka lebih 'sempurna'."

Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Dina. Bahkan Bram terkejut dengan pernyataan ini. Sari mencoba menanggapi dengan hati-hati. "Itu bisa jadi benar atau tidak. Kita tidak tahu pasti siapa Arga dan bagaimana proses kreatifnya. Namun, menurutku, penting untuk kita tetap menghargai karya dan usaha yang ia buat."

Bram hanya bisa tersenyum di dalam hati. Di satu sisi, ia merasa Sari mengerti dirinya lebih dari siapa pun. Di sisi lain, pernyataan Dina cukup mengusiknya. Dia tidak pernah berpikir bahwa karakter-karakternya akan dianggap tidak autentik hanya karena mereka mencerminkan beberapa orang yang ia kenal.

Saat diskusi hampir selesai, Mia, dengan nada bercanda namun sedikit serius, berkata, "Mungkin kita harus mengundang Arga langsung ke pertemuan klub buku kita. Siapa tahu, dia bisa memberikan kita jawaban langsung."

Semua tertawa, termasuk Sari, meskipun dalam hatinya ada ketakutan bahwa candaan itu bisa menjadi kenyataan yang tidak menyenangkan. Bram tersenyum, menyadari betapa rumitnya situasinya.

Setelah pertemuan selesai, dan semua orang pergi, Sari dan Bram duduk bersama di ruang tamu. Sari tampak lelah namun senang dengan bagaimana pertemuan berjalan. "Mereka benar-benar terlibat dalam diskusi tadi," katanya sambil tersenyum.

Bram menatapnya dengan lembut. "Ya, mereka benar-benar peduli tentang buku-buku itu. Dan itu bagus."

Sari mengangguk, tapi kemudian berkata dengan serius, "Bram, kadang aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Aku tidak tahu apa, tapi... aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kau pikirkan."

Bram terdiam sesaat, menimbang kata-katanya. "Kamu tahu, kadang lebih baik membiarkan beberapa misteri tetap menjadi misteri," jawabnya dengan lembut.

Sari mengangguk perlahan, mencoba memahami maksudnya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku harap suatu hari nanti, aku bisa tahu lebih banyak tentang rahasia-rahasia itu."

Bram hanya tersenyum. "Mungkin suatu hari nanti."

Di saat itu, Sari merasa ada jarak yang tidak terlihat namun nyata di antara mereka. Apakah jarak itu akan semakin dekat, atau justru semakin jauh? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Penulis di Balik Pintu KamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang