Pagi itu, Bram bangun dengan perasaan campur aduk. Ia mendengar suara ribut dari dapur, dan begitu ia memasuki ruang makan, ia menemukan Sari dengan wajah cerah, penuh semangat, tengah memasak sarapan besar. Ada bau harum dari roti panggang, telur dadar, dan kopi yang menguar ke seluruh ruangan.
"Apa ada acara khusus hari ini?" tanya Bram curiga, meski sebenarnya dia sudah punya firasat tidak enak.
Sari berbalik dengan senyum lebar yang bisa membuat siapa pun merasa was-was. "Aku punya kejutan untukmu!"
"Kejutan?" Bram membalas dengan nada hati-hati. "Kejutan seperti apa?"
"Aku sudah merencanakan liburan singkat untuk kita berdua!" Sari mengumumkan dengan antusias. "Kita akan pergi ke desa tempat favorit Arga menulis!"
Bram hampir tersedak kopinya. "Apa? Ke... ke sana?"
"Iya! Bukankah itu akan menyenangkan? Aku pikir kamu perlu sedikit liburan dari rutinitas menulis atau bekerja. Selain itu, aku juga ingin merasakan suasana tempat yang menginspirasi karya-karya Arga."
Bram tahu situasi ini bisa jadi bencana jika tidak diatasi dengan hati-hati. Desa kecil itu memang sering disebut dalam novelnya, dan meski tidak banyak yang tahu, itu juga tempat di mana dia sering menyepi untuk menulis. Banyak penduduk setempat yang mengenalnya sebagai Arga. Jika mereka pergi ke sana dan ada yang mengenalinya, penyamarannya bisa terbongkar!
"Bukankah... di sana cukup sepi? Maksudku, apa kita tidak bisa pergi ke tempat lain yang lebih... ramai?" Bram mencoba mencari alasan untuk menghindar.
Sari menggeleng tegas. "Justru itu yang membuat tempat ini istimewa. Suasana tenang dan pemandangannya indah. Kita bisa menenangkan pikiran di sana."
Bram menarik napas panjang. Dia tahu Sari sudah mempersiapkan semuanya. Menolak sekarang akan membuatnya terlihat aneh dan mencurigakan. "Baiklah," katanya akhirnya, berusaha tersenyum. "Mari kita pergi."
Setelah sarapan, mereka segera berangkat dengan mobil. Sepanjang perjalanan, Bram berpikir keras tentang bagaimana dia akan menghadapi situasi ini. Dia merasa harus menyiapkan penyamaran agar tidak ada yang mengenalinya sebagai Arga. Namun, ide itu cukup rumit untuk dieksekusi.
Setibanya di desa, Bram semakin gugup. Tempat itu memang indah seperti yang digambarkannya di dalam novel-novelnya. Pepohonan hijau yang rimbun, udara pegunungan yang segar, dan sungai kecil yang mengalir tenang di sepanjang desa. Desa ini seolah menjadi dunia lain yang jauh dari keramaian kota.
"Wow, ini lebih indah dari yang kubayangkan," ujar Sari dengan kagum saat mereka tiba di penginapan kecil di pinggir desa.
Bram hanya bisa tersenyum tegang. Mereka disambut oleh seorang pemilik penginapan yang ramah. Pemilik itu menatap Bram beberapa saat lebih lama dari yang nyaman, seolah-olah mencoba mengenali wajahnya. Bram langsung merasa cemas.
"Selamat datang! Kalian pasangan baru, ya?" tanya pemilik penginapan dengan senyum lebar.
Sari tertawa kecil. "Ah, tidak. Kami sudah menikah beberapa tahun. Tapi ini pertama kalinya kami datang ke sini."
Pemilik penginapan melirik Bram sekali lagi sebelum mengangguk. "Oh, saya lihat. Desa ini memang sering dikunjungi para penulis, terutama mereka yang mencari inspirasi. Seperti Pak Arga yang sering datang ke sini."
Bram hampir tersedak ludahnya mendengar namanya disebut. Ia berusaha tetap tenang dan menjawab dengan suara yang lebih rendah, "Oh ya? Siapa dia?"
Pemilik penginapan tampak terkejut dengan pertanyaan Bram. "Oh, Bapak belum tahu? Dia penulis terkenal. Beberapa orang di sini cukup mengenalnya. Tapi, akhir-akhir ini dia jarang muncul lagi."
Sari, yang tidak menyadari ketegangan Bram, malah semakin penasaran. "Mungkin kalau kita beruntung, kita bisa bertemu dengannya. Aku ingin bertanya banyak hal tentang buku-bukunya."
Bram hanya bisa tersenyum kaku. "Ya... mungkin saja," jawabnya sambil berpikir keras tentang bagaimana caranya menghindari segala kemungkinan yang bisa mengarah pada pengungkapan identitasnya.
Di malam hari, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Sari terus-menerus memuji suasana di sana, sementara Bram tetap waspada, memperhatikan setiap orang yang mungkin mengenalinya.
"Bram, kau tampak sangat tegang. Apakah kau tidak menikmati perjalanan ini?" tanya Sari, menyadari perubahan perilaku suaminya.
"Ah, tidak... aku hanya... tidak terbiasa dengan suasana tenang seperti ini," Bram beralasan, meskipun jauh di dalam hati, ia khawatir jika ada yang mengenalinya.
Namun, kekhawatiran Bram menjadi kenyataan saat seseorang dari kerumunan kecil di desa menghampiri mereka. Seorang pria tua dengan senyum lebar dan mata yang tajam menatap langsung ke arah Bram.
"Pak Arga, lama tak jumpa!" serunya penuh semangat.
Bram merasa jantungnya hampir berhenti. Sari menatap pria tua itu dan kemudian beralih kepada suaminya dengan mata penuh kebingungan. "Pak Arga?" tanyanya, mencoba memahami situasi ini.
"Oh, maaf! Bukan... bukan saya," Bram buru-buru menjawab, mencoba memperbaiki situasi. "Mungkin Anda salah orang."
Pria tua itu tertawa. "Ah, maafkan saya, Pak. Tapi dari jauh Anda benar-benar mirip Pak Arga yang biasa datang ke sini. Sudah lama saya tidak melihat beliau."
Bram hanya bisa mengangguk dengan canggung. "Iya, mungkin begitu. Terima kasih atas perhatiannya."
Setelah pria tua itu pergi, Sari menatap Bram dengan penuh kecurigaan. "Kenapa orang itu memanggilmu Arga?"
Bram tertawa gugup. "Mungkin dia bingung saja. Ada banyak orang yang mirip satu sama lain, kan?"
Sari tidak puas dengan jawaban itu, tetapi memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah. "Baiklah. Tapi sepertinya kau tahu lebih banyak tentang desa ini daripada yang kau ceritakan," gumamnya sambil berjalan ke depan.
Bram hanya bisa menghela napas panjang. Situasi ini semakin rumit, dan dia tahu dia harus lebih hati-hati jika tidak ingin identitas aslinya terungkap di depan Sari.
Keesokan harinya, Bram mencoba lebih berhati-hati. Saat Sari mengajaknya untuk mengunjungi tempat-tempat yang sering disebutkan di novel-novel Arga, Bram sengaja membawa Sari ke tempat-tempat lain yang tidak terlalu mencolok. Dia berusaha menghindari orang-orang yang mungkin mengenalinya, sambil tetap berpura-pura menikmati liburan mereka.
Namun, rasa penasaran Sari semakin membesar. Dia mulai mencatat perilaku aneh Bram dan bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Meskipun mereka bersenang-senang, ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka—sesuatu yang membuat Sari merasa ada jarak yang tidak terlihat namun nyata.
Di akhir liburan, Sari menatap Bram dengan serius. "Bram, aku merasa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Bram hanya bisa tersenyum lelah. "Tidak ada, Sari. Mungkin aku hanya lelah. Mari kita pulang."
Namun, di dalam hati, Bram tahu bahwa waktu untuk mengungkapkan kebenaran semakin dekat. Dia hanya berharap bisa mengendalikan situasi sebelum semuanya berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis di Balik Pintu Kamar
RomanceBram adalah seorang penulis terkenal yang dikenal dengan nama pena "Arga." Karyanya selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya, termasuk istrinya sendiri, Sari, yang tidak tahu bahwa suaminya adalah penulis yang dia idolakan. Setiap kali Bram men...