Pagi, Dears!
Cerita ini sudah selesai ditulis. Jadi, kalau mau double update, boleh banget tinggalin komen, ya. Kalau banyak yang mau, nanti malam Hara update lagi.So, enjoy this story~
Happy reading!***
“Hei, Emma! Koen lek mari mangan mie, baskome ojo bok kekepi dewe ta lah! Sing kate nggawe baskom nggak mek koen tok!”
Di saat sedang enak-enaknya terlelap, aku mendadak terlonjak kaget mendengar teriakan yang sungguh memekakkan telinga. Kelopak mataku rasanya begitu lengket bak dibubuhi lem, enggan membuka. Beberapa kali aku menguap, tanda tengah mengantuk berat.
Kupikir suara berisik tadi hanya bagian dari mimpiku saja, tetapi ternyata aku tidak sedang bermimpi atau salah dengar. Buktinya, beberapa saat kemudian, suara gedoran pintu menggema disusul dengan bahasa kasar khas warga asli Surabaya.
“Emma! Budeg ta kupingmu? Diceluk-celuk ket maeng nggak nyahut blas.”
Dengan kedua mata masih terpejam, aku mengacak-acak rambut. Kusumpal sebelah telinga dengan guling, berharap bisa meredam suara berisik dari luar. Sayangnya, usahaku tidak mempan. Suara menggelegar itu masih saja bisa kudengar dengan jelas.
“Ancene ndableg arek iki! Dipikir baskome mbahmu ta?” Gerutu perempuan yang entah siapa. “Tak itung sampe telu loh, yo. Lek koen nggak metu, fix! Ojo salahno aku lek lawangmu tenan rubuh,” ancamnya. “Siji!” Rupanya, dia tak membuang-buang waktu untuk mulai menghitung. “Loro! Te—”
“Ada ribut-ribut apa ini?”
Dari dalam kamar, aku refleks bernapas lega. Setidaknya, suara teguran Bu Wati pasti akan mengakhiri keributan di luar. Oleh sebab itu, aku mencoba mengabaikan suara apa pun dan mulai memberikan afirmasi positif agar bisa kembali terlelap. Namun, tetap saja telinga ini tak mau menurut, tetapi malah makin sengaja mencuri dengar.
“Iki loh, Bu. Aku mek kate jupuk baskom dok Emma, tapi arek'e nggak metu-metu wis tak celuk-celuk ket maeng.”
“Kalau begitu, kenapa kamu nggak pakai yang lain aja? Masih ada piring lain kan, di dapur? Ini masih jam tiga pagi. Kamu pikir anak kos lain seperti kamu yang nggak butuh istirahat di jam segini?”
“Maaf, Bu.”
“Sudah sana! Sekali lagi kamu bikin keributan, silakan cari kos lain!”
Kini posisi tidurku berubah menjadi terlentang. Perlahan kelopak mataku mengerjap untuk menyesuaikan pupil dalam gelap. Sejak dulu aku memang tidak terbiasa tidur dengan lampu menyala. Beruntung cahaya lampu dari teras membuat pandanganku menjadi lumayan jelas.
Mengulurkan tangan, aku meraih ponsel yang ada di atas meja. Mataku tertuju pada jam digital yang ada di layar.
“Beneran masih jam tiga lewat ternyata,” gumamku, lalu mengusap wajah dan menguap lebar.
Kuletakkan ponsel di samping bantal dan berguling ke sisi kanan. Aku kembali memejamkan mata sembari memeluk guling dengan erat.
***
Pukul enam pagi, aku terbangun dengan lingkaran hitam di bawah mata, persis mata panda. Niatku ingin melanjutkan tidur hanya menjadi sebuah wacana. Persetan dengan afirmasi positif atau menghitung domba! Dua-duanya sama sekali tidak ada yang berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
SESUAI BUDGET | ✔ | FIN
ChickLitAlmira Bestari, Produser Assistent i-Net TV, berusaha menabung demi membeli sebuah apartemen agar tak lagi menyewa bersama sahabatnya. Namun, orang tua dan saudaranya di kampung seperti tak pernah kehabisan akal untuk menguras tabungannya. Akhirnya...