#. Bab 8 - Provokasi Terbuka

25 7 0
                                    

Berlalu dua hari setelah Sallyana bertemu dengan kelompok para pria itu. Sekarang dia menghabiskan waktu di rumah lagi bersama anak-anak. Sesekali membantu mengurus bisnis kecil Alderion yang tidak terlalu rumit.

“Mama!” Sevi berlarian memasuki kamar bernuansa soft blue tersebut. Lantas melompat ke sofa, mengulurkan sebuah buket bunga, “Untuk Mama!”

Sallyana terkejut. Putrinya memberinya bunga? Dibelikan siapa? Ia melepas kacamata tipis dari wajah cantiknya. Lalu menutup laptop dan menaruhnya ke atas meja.

“Dengan siapa Sevi membeli bunga? Mama tidak melihat ada mobil keluar sebelumnya,” tanyanya menyelidik.

Sevi tersenyum main-main. Sembari menggaruk salah satu kuncir kudanya, “Bukan dariku, tapi seseorang! Tadi satpam penjaga pos depan memberikan ini pada Sevi. Katanya buket bunga datang untuk Mama!”

“Pengirimnya siapa?”

“Tidak tahu, Mama,” kepala mungilnya bergeleng lucu. Sevi berkata lagi, “Mama, ada surat. Ayo buka! Ayo buka! Apakah itu dari seorang pria yang menyukai Mama? Pria tampan memiliki tulisan tangan yang bagus!”

Sallyana mengulum senyuman. Pasrah atas sikap kurang ajar Sevi. Sungguh, putrinya adalah perusuh kecil dengan mulut bom. Duplikat Snow.

“Di mana kakakmu?”

“Kakak sedang belajar lagi. Dia terlalu bekerja keras, padahal les private masih belum dimulai,” menggerutu kesal, pipi gembilnya menggembung. Karena Sevi selalu bermain dengan Savi, jadi ketika kakaknya sibuk secara otomatis teman bermainnya hilang.

“Kenapa tidak ikut belajar bersama kakak?” Sallyana bertanya penuh kasih sayang, memangku Sevi kemudian membuka surat itu bersama-sama.

Sevi menunggu antusias ketika Sallyana membuka bungkusan amplop merah muda itu. Iris abu terangnya bersinar. Namun tak lupa membalas pertanyaan barusan, “Aku tidak perlu belajar, aku sangat pintar!”

Memang benar. Sevi memiliki kecerdasan tinggi sama seperti Sallyana. Hanya saja, tampaknya Sevi lebih cerdas. Sebab putrinya memilili ingatan fotografis. Kendati demikian, Savi juga berbakat.

Sayangnya, Savi tidak memiliki kemampuan fotografis. Sehingga perlu berupaya lebih keras dibandingkan Sevi. Walau begitu, Savi cepat belajar dan memahami sesuatu. Asalkan ada semangat belajar, Savi bisa meningkatkan kemampuannya. Lebih mirip Vino.

“Wah, tulisan tangannya sangat rapi!” Puji anak gadis tersebut. Melalui ingatannya yang kuat, Sevi telah menghafal seluruh isi surat. Merubahnya menjadi sebuah memori terpotret detail.

Karena tak berselang lama, Sallyana buru-buru menutup kembali surat itu. Benda ini ternyata dari Veen! Pria itu sungguhan mengirimkan hadiah buket bunga beserta amplop berisi pesan romantis. Kata-kata didalamnya sangat memalukan.

“Mama ... kenapa pria ini memanggil Mama dengan sebutan Sasa? Setahuku nama panggilan Papa ke Mama adalah Lili.” Mendongak menatap wajah cantik ibunya, Sevi bertanya bingung. Namun ketika mendapati ekspresi buruk Sallyana, gadis kecil tersebut diam.

Selain sembrono, Sevi sebetulnya anak yang cukup peka terhadap lingkungan sekitar. Jikalau bukan karena sifat kekanakannya dan sifat jahilnya, Sevi bisa dianggap lebih cerdas dan dewasa.

“Lupakan semua yang sudah kamu lihat barusan, hm? Pria ini adalah pria jahat. Kamu pernah bertemu orang ini satu mingguan yang lalu. Dia berusaha merebut Mama dari Papa.”

“Apa? Kenapa?” Sevi bertanya penasaran sekaligus terkejut. Sedetik kemudian langsung berbalik, memeluk leher Sallyana sangat kencang. “Mama, meski pria kemarin sangat tampan. Jangan pernah tinggalkan Papa!”

“Anak bodoh, kamu pikir Mama jenis sepertimu?”

Sevi mengerucutkan bibirnya jengkel. Lalu kembali memeluk Sallyana hingga tertidur.

Sallyana memindahkan Sevi ke kamar si kembar. Di sana ada Savi yang masih membaca buku pelajaran dari Guru sebelumnya. Setelah pindah negara, akan ada perbedaan sistem belajar. Putranya pasti cemas.

Selesai menidurkan Sevi, dia berjalan mendekati Savi. Kelopak mata putranya terlihat sudah setengah tertutup. “Savi sayang, waktunya tidur siang,” bisiknya pelan.

Savi hampir jatuh karena terkejut. Saking fokus dan mengantuk, dia tidak memperhatikan Sallyana baru saja masuk. Savi menggeleng keras kepala, “Sebentar lagi selesai, Mama.”

“Baiklah, berjanjilah akan tidur siang setelah selesai, hm?”

“Oke, Mama.”

Sallyana mencium kening Savi sebelum melenggang pergi. Kembali masuk ke kamar. Iris caramelnya tertuju lurus ke buket bunga di sofa. Lalu membuangnya ke tempat sampah.

Tubuh tinggi rampingnya jatuh ke tepian ranjang. Erangan frustasi meluncur dari celah bibirnya. “Pria itu benar-benar membuatku frustasi,” gerutunya tak habis pikir.

Bagaimana bisa Veen tidak takut sama sekali? Ini namanya provokasi terbuka secara terang-terangan! Apabila Vino tahu, kejadian ini tidak akan lewat begitu saja.

Vino akan membuat keributan mengingat tempramennya sangat sensitif saat berkaitan dengan Sallyana. Setiap pria yang berusaha mendekati istrinya, akan menerima amukan Vino setiap saat.

“Jika aku merahasiakannya. Ketika seseorang memberitahu Vino secara diam-diam tentang barang tadi, dia akan lebih kecewa padaku.”

Sallyana dilanda bingung. Perempuan itu menghabiskan waktu untuk berpikir sampai tak terasa hari sudah sore. Sallyana bangkit untuk bersih-bersih, kemudian keluar menemui anak-anak yang ternyata masih tertidur.

“Kalian tampaknya sangat lelah hari ini,” ujarnya melembut. Jemarinya membelai dahi Sevi, baru setelahnya berganti ke Savi. Dua anak kembarnya sedang tidur berpelukan. Pemandangan tersebut menghangatkan hati Sallyana.

“Menjaga anak-anak?” Suara serak lelah datang dari arah belakang. Sesudahnya diikuti rengkuhan kuat dan deruan nafas hangat. Vino berkata lagi dengan manja, “Aku pulang lebih awal untukmu. Ayo temani aku tidur.”

Sallyana tidak terkejut sama sekali. Justru membelai lengan kokoh suaminya, “Tidur atau tidur? Jangan berpura-pura suci di depanku.”

Vino membalikkan tubuh Sallyana. Lalu meraih wajah mungilnya. “Ada apa? Kau terlihat tidak mood. Sebelumnya aku menerima telefon, ada hadiah datang untukmu. Kapan kamu mulai punya teman di sini?”

Menggigit bibir bawahnya, Sallyana memeluk tubuh tinggi sang suami. Suara lirihnya teredam samar, “Pengirimnya adalah Veen. Dia juga mengirimkan surat, aku sudah membuang semuanya ke tempat sampah.”

“Apa?!” Vino dikuasai kemarahan usai mendengar sikap kurang ajar Veen semakin menjadi-jadi. Dia menatap wajah cantik istrinya berubah lesu. Suara tingginya kembali melunak, “Maaf sudah berteriak. Bajingan itu memiliki seratus nyawa karena berani berusaha meraihmu di mansion Alderion.”

“Jangan marah, kakak. Aku sudah membuang semuanya.”

“Aku harus memberinya pelajaran telak, agar berhenti mengganggumu.”

“Jangan bilang ...” sepasang bola mata boneka bening milik Sallyana terbelalak.

Vino mengangguk, berkata dingin, “Aku akan menemuinya langsung dengan cara formal. Kali ini, kesabaranku telah habis!”

Jangan Berusaha Merayuku, Tuan! - [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang