14 Februari, Rabu
Kilap pada safir itu tidak dapat disembunyikan. Bibir itu melengkung ke atas. Taufan, ia tak bisa mengendalikan bibirnya untuk berhenti tersenyum. Ia terus memandangi sepanjang jalan sejak berangkat, sesekali bicara dengan ibunya.
Langit tampak bahagia, mentari pun tertawa. Tak berawan. Hamparan paduan biru dengan sedikit gumpalan kapuk-kapuk putih. Tidak. Semua berwarna monokrom pada pupilnya.
Sudah lama mereka tak pergi jalan-jalan seperti ini. Mereka terlalu sibuk melupakan apa yang seharusnya diikhlaskan, sampai lupa untuk berhenti sejenak, memberi jeda untuk bernapas.
Taufan jadi agak deja vu. Kar'na mereka pernah begini sebelumnya, jauh di belakang, bertahun-tahun yang lalu. Bukan dengan mobil yang disewa atau semacamnya, tapi bersama dengan seseorang yang seharusnya menjadi sosok pahlawan bagi mereka, yang kini justru ... ah, lupakan.
Taufan melongok, menyadari ibunya bersenandung senang sedari tadi. Tentu saja Putri senang, ia akan menghabiskan waktu bersama putranya, setelah sekian lama.
Sementara itu, Ice malah sibuk dengan alam bawah sadar, alias tidur. Ice ini, padahal dia yang mengajukan permintaan jalan-jalan ke pantai, dan saat terkabul dia malah tidur. Tidak tau diuntung!
--
Setelah berusaha keras, akhirnya Taufan bisa membangunkan adik pemalasnya; Ice. Taufan tersenyum semringah dan Ice masih mengerang ngantuk.
"Iya! Iya! Gue bangun!" Ice keluar dari mobil, termenung sejenak — mengumpulkan nyawa. Masih perlu berjalan kaki lima menit agar benar-benar sampai, dan Ice sangat malas melakukan itu.
Ice menatap Taufan penuh harap. "Gendong," mintanya.
"Apaan? Lo udah gede tau!"
"Terus?"
"Aish, yaudah! Naik sini!"
Meski setengah hati, Taufan tetap melakukan permintaan adiknya. Hitung-hitung mempererat tali persaudaraan. "Ngelunjak lo, Ice!"
"Biarin." Ice mulai menaiki punggung Taufan, tanpa rasa malu, padahal mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Putri? Jangan ditanya, ia sudah keburu malu duluan.
Taufan cemberut. "Sialan lo!" Taufan memasang senyum jahil andalannya, dan dalam hitungan detik ia sudah berlari secepat citah, membuat Ice mau tak mau berteriak kaget. Tak berhenti disitu, Taufan mulai melompat-lompat yang menuai reaksi ketakutan setengah kesal dari Ice.
"BANG AMAAA!!"
Putri hampir mengubur dirinya sendiri kar'na wirang. Aduh, rasanya ia ingin berkata tidak kenal dengan mereka, tapi apa daya begitulah watak anak-anaknya. Yang hanya bisa ia lakukan hanya terkekeh geli diantara rasa malu yang menjalar.
Puk. Sebuah tangan kekar mendarat di bahu ibu dua anak tersebut, membuat si empunya menoleh bingung. "Ada apa, ya ...?"
Putri tercenung. Bibirnya memadat, tertutup rapat. Matanya menatap nanar. "Kenapa? Ada masalah, Tuan?" Reflek raut wajahnya mengerut tak senang.
Pria itu tampak gugup, menggaruk tengkuknya. "Maaf, boleh kita bicara sebentar?"
Wanita itu terdiam, ia berbalik menatap dua putranya, cukup rumit isi kepala memikirkan berbagai hal. Namun, hasil akhirnya tetap saja; "Boleh."
--
14 Februari, Taufan tidak akan melupakan hari ini, hari ini akan terekam bak video dalam pikirannya. 14 Februari, adalah hari kasih sayang internasional, hari dimana sepasang kekasih menghabiskan waktu bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...