225 buah luk chup pesanan pelanggan telah siap. Widi menata kue imut berbentuk buah dan sayur itu ke dalam kotak plastik kecil yang masing-masing berisi lima buah kue. Pria itu sangat berhati-hati, ia takut jika berbuat ceroboh, luk chup imut-imut hasil karyanya akan hancur. Sarah yang baru bangun pagi menatap Widi dengan serius. Saat masih kecil ia berpikir sang ayah hanya kerja semaunya, karena selama ini yang dianggap benar-benar bekerja papanya saja. Ia melihat bagaimana Jon membawa beberapa pekerjaan ke rumah. Lain dengan Widi yang pekerjaannya terlihat santai.
Semakin dewasa ia menyadari kalau dunia kerja Jon dan Widi sangatlah berbeda. Ia mulai menyadari selama ini telah meremehkan Widi yang dipikir hanya bisa memasak.
“Selamat pagi, Sarah,” sapa Widi sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Ayah,” balas Sarah yang tersipu malu. Ia mendekati kulkas dan mengambil susu dalam jeriken.
“Apa kau punya rencana hari ini?” tanya Widi. Sarah yang sedang meneguk susu hanya menggelengkan kepala. “Tolong belanja, ya. Bisa?”
“Bisa. Sudah buat daftarnya?” tanya Sarah
“Sudah,” jawab Widi sambil tersenyum. “Terima kasih, ya.”
“Sama-sama.” Sarah mengambil sarapan dari dalam kulkas. Overnight oatmeal dengan potongan stroberi dan pisang. Gadis itu menikmati sarapan di meja makan.
Widi memerhatikan Sarah. Tiba-tiba ia bertanya, “Obrolan tentang Ezra waktu itu, hm, kamu serius?”
“Ya. Aku serius. Aku dan William membahas pernah membahas hal itu. Intinya kami mengizinkan Ayah untuk menjalin asmara lagi dengan siapa pun pilihan Ayah,” jelas Sarah sambil membuka penutup stoples kecil berisi overnight oatmeal.
“Terima kasih, ya.”
Sarah tersenyum. “Apa Ayah akan kembali pada Ezra?”
“Entahlah. Ada banyak hal yang akan berubah jika aku menjalin hubungan yang baru dengan siapa pun itu.” Widi kembali menghitung luk chup yang telah ditata.
“Contohnya?” Sarah menyuap sesendok oat ke mulutnya.
“Jika aku punya kekasih lagi, aku tak ingin tinggal di sini,” ucap Widi dengan hati-hati karena takut Sarah akan marah.
“Do you wanna leave me?” tanya Sarah yang alisnya sudah menukik tajam.
“Bukan begitu.” Widi menarik kursi dan duduk di samping Sarah. “Kau tahu kan bagaimana Jon memanjakanku? Urusan keuangan rumah tangga saja dia tidak mau fifty-fifty. Dia selalu mengeluarkan lebih banyak uang daripada aku. Setiap aku ingin lebih banyak berkontribusi, dia selalu menyuruhku untuk menabung saja.”
“Bagus, dong.”
“Bagus. Tapi tidak tepat.” Widi bersandar pada kursi. “Aku selalu ingin punya sesuatu hasil kerja kerasku sendiri. Aku ingin membeli sebuah rumah. Mungkin tidak yang sebagus ini. Setidaknya itu cukup untukku dan William. Ada hal lain juga.”
“Apa itu?”
“Aku enggak mau tidur di kamarku dan Jon dengan pria lain. Rasanya pasti aneh. Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan tentang Jon. Bahkan di saat seperti ini, aku masih bisa melihatnya melakukan aktivitas di pagi hari.”
Kenangan itu muncul lagi.Minggu pagi, Widi melihat Jon yang bersih dan wangi masuk ke dapur. Senyuman Jon sangat manis. Ia mendekati Widi yang sedang membuat jus campuran buah dan sayur. Pelukan Jon dari belakang mengejutkan Widi.
“Good morning, Cherry Lips,” sapa Jon yang kemudian mengecup pipi kanan Widi. “Aku mencium aroma yang lezat. Kamu masak apa?”
“Sourdough casserole,” kata Widi. Sebuah kecupan mendarat di pipi kirinya. Lalu Jon menyasar leher sang suami, membuat pria itu merasa kegelian. Widi membalikkan badan. Kini mereka saling menatap. “Geli, ah!”
“Tapi suka, kan?” Jon mengedipkan sebelah matanya. Wajah Widi memerah. Tangan Jon mengacak-acak rambut Widi. “Malu-malu kucing.”
Semua berlalu begitu cepat. Kenangan mereka sarapan bersama dengan William dan Sarah yang masih kecil terasa begitu indah.
“Kau akan ajak William pindah?”
“Mungkin. Ini rumahmu Sarah. Aku tak punya hak untuk tinggal di sini selamanya.”
Sarah mendengus kesal. “Selama kau tidak bercerai dengan Papa, walaupun rumah ini diberikan padaku, kau tetap berhak tinggal di sini. Dan jangan lupa, William is my half-brother. Ayah tak bisa memisahkan kami begitu saja.”
“Sebenarnya aku bingung bagaimana menyampaikan mauku padamu. Aku takut kau salah paham.”
“Aku paham. Kau ingin punya sesuatu hasil kerja kerasmu. Sebenarnya Ayah tak perlu sekeras itu untuk mewujudkan impian. Ayah mau rumah, jual saja properti dari Papa. Belikan rumah yang kau inginkan.” Sarah meminum susu dalam gelas. Ia menatap Widi. “Aku tak akan mengganggu warisan Papa untukmu dan William. Aku sudah merasa cukup dengan semua yang aku punya.”
“Aku ingin semua itu murni dari hasil kerjaku.” Widi manyun, kesal karena Sarah menganggap enteng keinginannya.
“Cukup?”
“Cukup.”
“Pikirkan lagi. Setelah William lulus SMA, dia masih perlu sekolah sekitar sepuluh tahun lagi untuk menjadi dokter hewan. Saranku, tetaplah tinggal di sini. Uang Ayah jadikan cadangan biaya pendidikan William. Setahuku, Papa hanya menyiapkan biaya pendidikan hanya sampai sarjana. Selebihnya, entahlah. Ada beberapa properti miliknya yang bisa dijual, sih.”
“Berat juga, ya,” keluh Widi. Kemudian dia menarik napas dalam. Semangat muncul lagi. “Aku yakin, aku bisa membayar uang sekolah William.”
“Aku yakin Ayah bisa.” Sarah tersenyum.
Widi kembali mengemas luk chup, menaruh kotak plastik kecil-kecil ke dalam kardus besar. Setelah pesanan siap, sisa kue yang masih banyak ia taruh di piring. Ia sodorkan ke hadapan Sarah. Sarah terpesona melihat kue mungil warna-warni itu.
“Pesananku sudah selesai. Ternyata sisanya banyak juga, ya,” gumam Widi saat menyadari sepiring besar luk chup di hadapannya. “Makanlah, Sarah.”
“Terima kasih.”
“Oh, ya. Aku ada pekerjaan di Washington. Aku berangkat Jum’at pagi, Sabtu aku kan bekerja di sana, Minggu sore mungkin aku sudah di rumah lagi,” jelas Widi. Kemudian ia melihat putranya masuk ke dapur. Pemuda itu mengambil susu di dalam kulkas kemudian duduk di samping Sarah. “Selama aku pergi, tolong jaga diri baik-baik.”
“Baik, Ayah.”
“Apa jam malamku ada kelonggaran?” tanya William.
“Oke. Jam sebelas malam kau sudah harus ada di rumah.”
“Terima kasih.” William tersenyum lebar.
“Will, antar Sarah berbelanja. Ayah mau mengantar pesanan dan langsung ke Sugar Gems.” Widi mengangkat kardusnya seorang diri. William dengan sigap membantu mengangkat kardus yang lain.
“Can i drive?” Mata pemuda itu tampak berbinar. William bisa mengemudikan mobil, tapi Widi belum mengizinkannya membawa mobil sendiri. Lagi pula William juga belum punya SIM.
“No. Sarah saja.”
“Ah! Ayah!” keluh William. Ia bergegas ke dapur setelah membantu Widi. Sarah mengejeknya.
“Kunci mobil ada di laci nakas samping tempat tidurku. Sudah, ya. Sampai jumpa,” pamit Widi pada kedua anaknya.
*
Sesuai dengan perkataan Widi tempo hari, Widi pergi bekerja ke Washington pada hari Jum’at. Sarah diberikan tanggung jawab agar mengurus rumah dan William. Mudah saja karena mereka sudah mengerti tugas masing-masing. Mereka bisa bekerja sama. Malam pertama tanpa Widi, semua berjalan baik-baik saja.
Tapi pada Sabtu malam, William meminta izin pada Sarah untuk menginap di rumah temannya. Sarah sulit memberikan izin dan William tidak menyerah begitu saja.
“Sekumpulan pemuda culun saja, Sarah. Tidak berbahaya,” kata William.
Sebenarnya Sarah tidak setuju jika William masuk kategori pemuda culun. Adiknya lumayan tampan, walaupun tidak setampan sang ayah yang akan memasuki lima puluh tahun. Tiba-tiba Sarah teringat jika lima belas tahun terakhir tak banyak yang berubah dari penampilan Widi. Pria itu masih bisa membuat orang-orang percaya kalau usianya masih tiga puluh tahunan.
“Sarah, bagaimana?” tanya pemuda itu saat melihat kakaknya melamun.
“Oh!” Sarah tersadar dari lamunannya. Ia menutup laptop yang sedari tadi dipakai bekerja. “Apa kegiatannya?”
William terlihat gugup untuk menjawab. “Ya semua kegiatan orang-orang culun.”
“Kegiatan apa itu?” desak Sarah. “Membuat roket menuju Jupiter? Merencanakan eksplorasi ke Palung Mariana? Membangun reaktor nuklir seukuran panci presto? Mendesain pakaian khusus untuk menyelam ke dalam magma? Atau membuat aplikasi penerjemah bahasa hewan dan tumbuhan?”
“Menonton film!” seru William.
“Film apa?”
Kok enggak selesai-selesai pertanyaannya? – William
“Horror, thriller, dan segala turunannya. Ada yang gore juga sih. Kanibalisme. Ya semacam itulah.”
Dahi Sarah berkerut. “Yuck!”
“Ayolah, Sarah. Aku mohon,” pinta William dengan nada memelas.
“Oke. Boleh. Tapi kau sudah harus di rumah sebelum makan siang esok hari.” Sarah akhirnya luluh dan memberi izin. Senang sekali melihat senyum William yang begitu lebar. “Apa perlu diantar ke rumah teman menginapmu?”
“Tidal usah. Aku akan dijemput.” Tanpa sadar, William menggerakkan tubuh saking girangnya. Ia memeluk sang kakak. “Terima kasih, Sarah. Aku siap-siap dulu.”
William berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Sarah merapikan meja ruang tengah yang digunakan untuk bekerja. Ia pun naik menuju kamar di lantai dua. Namun, saat ia baru menginjak anak tangga ketiga, terdengar suara bel pintu rumah. Gadis itu balik badan menuju pintu depan. Dari lubang intip terlihat seorang pemuda tampan berambut pirang.
“Hai,” sapa pemuda itu saat pintu dibuka oleh Sarah. “Namaku Jules. Aku temannya William. Apa William ada di rumah?”
Sarah memerhatikan penampilan pemuda itu. Ia tampak berbeda dari sejumlah teman-teman culun William yang biasa datang ke rumah. Setahu Sarah, teman-teman William ada yang berpakaian sangat rapi dan kuno, ada yang fanatik terhadap sesuatu dan membuat semua orang tahu karena gambar di kaosnya, dan ada juga yang memakai pakaian tanpa motif sama sekali. Rambut mereka tertata rapi, ada juga yang sangat berantakan seperti Albert Einstein, atau lepek seperti dua minggu tidak keramas. Mereka adalah orang-orang yang cenderung kaku dan pendiam. Bisa berisik jika sedang membicarakan hal yang mereka suka saja.
Tapi yang ini berbeda. Rambut kekinian, jaket kulit warna hitam pas badan yang keren, celana denim yang warnanya senada dengan jaket, sepatu keren. Dan ketika Sarah menarik napas, ada aroma parfum mahal menguat dari tubuh pemuda itu. Belum lagi tampangnya yang tidak ada aura culun sama sekali.
Siapa pemuda ini? – Sarah
Jules mulai tak nyaman dengan cara menatap Sarah, apalagi perempuan itu belum menjawab pertanyaannya. Untung saja William segera datang. Di punggungnya terdapat sebuah ransel. Entah apa isinya.
“Hai, Jules,” kata William yang terlihat terburu-buru. “Ayo.”
“Apa culunnya tentang dia?” tanya Sarah tanpa basa-basi.
“Dia mengoleksi tea set antik. Paling tua dari zaman Victoria. Ratusan. Kami pergi dulu. Bye!”
“Bye!”
Keduanya terlihat sangat terburu-buru pergi dari sana. Sarah sedikit curiga dengan tingkah sang adik. Tapi dia tidak ambil pusing, William dan teman-temannya memang aneh. Gadis pirang itu menatap ke jalanan depan rumah. Ketika melihat William dan Jules masuk ke dalam sebuah mobil sport Lamborghini, ia sangat terkejut.
“Orang culun mana yang mengemudikan Lambo?!”
Waktu berlalu. Sarah asyik menikmati bakso goreng yang masih hangat sambil menonton film melalui laptop di atas kasur. Malam itu ia ditemani oleh Noel, seekor kucing oranye peliharaan William. Gumpalan bulu itu asyik tiduran di atas ranjang Sarah.
“Kalau kamu kencing di situ, William harus mencuci ranjangku sampai bersih. Dan kamu akan masuk dalam daftar hitamku,” ancam Sarah.
Sarah sudah mengaktifkan sistem keamanan rumah. Tiba-tiba ia mendengar suara bel dari ponselnya. Dari layar ponsel yang terhubung ke kamera di depan pintu, ia bisa melihat Ezra datang dengan koper merah berukuran 20 inci.
Ezra yang berada di depan pintu merasa bingung karena lama sekali tidak dibukakan pintu. Ketika ia hendak pergi, terdengar suara gemeresak dari sebuah kotak di samping pintu.
“Hai, Ezra. Sarah di sini. Ada apa?”
Pria itu mendekati kotak tersebut. “Aku membawakan oleh-oleh dari Indonesia untuk Widi. Apa ayahmu ada di rumah?”
“Dia pergi bekerja. William pergi menginap di rumah temannya. Tadi kau bilang oleh-oleh, ya?”
“Ya. Ambil sini. Setelah itu aku akan pergi.”
“Oke. Tunggu sebentar.”
Sambil menunggu Sarah membukakan pintu, Ezra mengisap vape. Dari kejauhan terlihat seorang pemuda menaiki sepeda menuju ke arah rumah Widi. Pemuda itu memasuki area emper mobil dan meletakkan sepedanya di sembarang tempat, kemudian ia mendekati Ezra.
“Hai,” sapanya.
“Hai,” balas Ezra. Di bawah cahaya lampu, Ezra bisa melihat sosok ini dengan jelas. Seorang pemuda dengan wajah khas orang India. Mungkin India bagian selatan, karena pemuda ini berkulit gelap dan posturnya tidak terlalu tinggi.
Pintu rumah terbuka. Sarah muncul di ambang pintu. Melihat Ezra bersama seorang pemuda, Sarah pikir Ezra membawa teman ke rumahnya. “Kamu bawa teman, ya.”
“Bukan temanku,” sahut Ezra dengan malas. Ia beralih pada pemuda itu. “Kau ini siapa?”
“Rajaratnam Kannan. Teman William di SMA,” jawab pemuda itu sambil menatap Ezra. “Panggil aku Raj.”
“Aku yakin kau temannya William,” ujar Sarah setelah melihat penampilan klimis Raj. “Ada perlu apa?”
“Aku ingin meminjam proyektor mini darinya. Aku butuh itu untuk menonton film horor bersama teman-teman yang lain. Sleepover.”
Dahi Sarah berkerut. “Sleepover? Teman-teman culun mengadakan sleepover untuk menonton film horor, thriller, dan segala turunannya?”
“Yes. Aku seharusnya mengambil proyektor itu sekitar pukul dua siang. Tapi ada hal yang harus aku lakukan, jadi baru bisa datang sekarang.” Raj merasakan getaran ponsel di sakunya. Ia merogoh saku sambil berkata, “Sayang sekali William tidak bisa ikut. Dia bilang sudah ada acara lain di akhir pekan. Tapi aku tak tahu acara apa.”
“Apa William biasanya menginap denganmu dan anak-anak culun lainnya?”
“Ya.” Raj membuka ponselnya. “Sebentar.”
Acara lain, ya? Apa? Oh! Astaga! – Sarah
Sarah mulai menyadari jika ia telah dibohongi oleh William. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Tatapannya begitu mengerikan. Di sisi lain, Raj mendapatkan missed call dari William. Kemudian ia baru tahu kalau pesan dari nomor William dari pukul satu siang terkubur oleh banyaknya pesan masuk dari nomor lain di ponselnya. Intinya, William berpesan agar Raj tidak datang ke rumah.
Raj begitu terkejut mendapati Sarah menatapnya dengan tajam. “Aku harus pulang.”
“Apa kau tahu di mana William?” tanya Sarah pada Raj. Pemuda itu hanya menggelengkan kepala karena takut untuk bersuara. “Apa kau kenal dengan seorang pemuda kulit putih bernama Jude, hm, Julius? Oh, aku lupa namanya.”
“Sepertinya itu Jules.” Suara Raj terdengar terbata-bata. “Akhir-akhir ini mereka sering pergi bersama.”
“Kau sungguh tidak tahu di mana William?”
“Sumpah! Aku tidak tahu.” Raj menaiki sepedanya dan berpamitan, “Aku pulang dulu. Sampai jumpa.”
Tatapan Sarah mendadak kosong setelah kepergian Raj. Dalam otaknya mendadak muncul berbagai skenario perbuatan bodoh yang akan William lakukan. Terutama berpesta, minum, dan overdosis obat. Sarah membuka ponsel untuk menelepon Widi. Namun, ia mengurungkan niatnya.
“I can’t do it!” ucapnya yang mulai panik.
“Coba telepon William dulu. Siapa tahu diangkat,” saran Ezra yang sekarang sedang duduk di tepi teras.
Sarah menuruti saran Ezra. Percobaan pertama gagal. Percobaan kedua sama saja. Sarah tak menyerah. Ia menelepon sekali lagi. Dan gagal lagi. Wajahnya terlihat begitu pucat.
“Mungkin dia pergi dengan komunitas barunya.”
“Mungkin. Tapi komunitas apa?” Gadis itu terlihat bingung dan kesal. Ia duduk di samping Ezra. Berharap bisa berpikir lebih jernih. “He is a minor. Kalau sampai terjadi apa-apa, Ayah akan terseret juga.”
“Cek kamar William. Mungkin kau akan menemukan petunjuk. Bawa kopernya masuk.” Tunjuk Ezra pada koper merah yang dibawa. Lalu ia mengeluarkan ponsel. “Aku akan menelepon ayahmu. Mungkin dia punya petunjuk.”
“Jangan! Jangan telepon Ayah!” larang Sarah pada Ezra. “Aku bisa kena marah!”
“Oke.” Ezra menyimpan kembali ponsel ke dalam jaket. “Terus apa?”
“Bantu aku mencari William. Aku mohon,” pinta Sarah.
Ezra menarik napas panjang. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia ingin mengurungkan niat untuk membantu Sarah. Tapi akhirnya ia setuju karena kasihan melihat anak perempuan Jon yang hampir menangis. Ia pernah membuat Jon menangis, masa mau berbuat hal yang sama pada anaknya?
“Baiklah.”
*
11 September 2024Halo, apa kabar?
Semoga kalian sehat selalu, ya. Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?