Chapter 7
Dalam cahaya keemasan pagi yang menyinari langit, Peter, yang baru saja menyelesaikan latihannya dengan para ksatria kastil, mencari perlindungan di bawah naungan pohon favoritnya—pohon yang sama di mana dia pertama kali bertemu Alice. Saat dia bersandar pada batang pohon itu, rasa nyaman dan akrab menyelimuti dirinya.
Tiba-tiba, sebuah bisikan nakal terdengar melalui angin, "Peter!" Suara itu terdengar dari atasnya, dan ketika Peter melihat ke atas, di sana ada Alice, duduk di cabang tinggi dengan senyum jahil di wajahnya.
Keterkejutannya tampak jelas di wajahnya, dan dia tergagap, "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu di atas sana? Bagaimana kamu...?" Pertanyaannya menggantung di udara, tetapi senyum Alice hanya semakin lebar.
Namun, ekspresi kemenangan Alice tiba-tiba berubah saat ia kehilangan keseimbangan di cabang tersebut. Dengan teriakan kecil, dia jatuh—tepat ke pelukan Peter. "Oh tidak, lo siento," ucapnya meminta maaf, dengan campuran kepolosan dan kecemasan.
Peter, yang awalnya terkejut, berubah menjadi tersenyum meski dengan dampaknya, menggoda, "Bahasamu semakin baik. Siapa gurunya?"
Alice, yang mulai pulih dari jatuhnya, membalas dengan nada main-main, "Guruku tepat ada di bawahku."
Tawa mereka bergema di hutan kastil, seolah-olah pohon itu sendiri turut merasakan kebahagiaan dari momen yang mereka bagi. Namun, ketika tawa mereka mulai mereda, suara langkah-langkah ksatria yang mendekat membuat Peter bertindak cepat. Dengan gerakan cepat namun lembut, dia menyembunyikan Alice di balik pohon, melindunginya dari pandangan.
Para ksatria menyapa Peter sebelum melanjutkan perjalanan mereka. Setelah mereka pergi, Peter menatap Alice dengan campuran kelegaan dan teguran. "Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu seharusnya tidak berada di halaman kastil."
Wajah Alice menunjukkan kesedihan seperti anak anjing, membuat hati Peter melunak. Dengan suara lembut, dia mengalah, "Baiklah, kita akan berjalan-jalan di desa, tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu keberadaanmu disini."
Wajah Alice bersinar penuh rasa syukur, dan bersama-sama mereka berjalan melalui halaman kastil, pohon itu berdiri tinggi sebagai saksi bisu atas tawa, bisikan, dan momen manis yang mereka bagi di bawah cabangnya.
...
Saat Peter dan Alice berjalan-jalan di desa, udara dipenuhi suara riuh pasar dan aroma berbagai barang dagangan. Hari itu terasa seperti lembaran tenang yang terbuka, matahari memancarkan cahaya hangat di jalanan berbatu.
Tawa dan obrolan ringan mereka bergema di antara kios-kios pasar, mengubah jalan-jalan biasa menjadi tarian momen-momen bersama. Desa yang ramai dengan aktivitas seakan menjadi latar belakang yang indah untuk apa yang terasa seperti kencan dadakan.
Namun, di tengah kegembiraan itu, pandangan Alice tertuju pada sosok misterius—seorang wanita tua dengan jubah yang tampak memikul beban zaman. Mata mereka bertemu, dan dengan suara yang lembut, wanita tua itu mengucapkan kata-kata yang membuat bulu kuduk Alice berdiri. "Kasihan, nak. Semoga Tuhan melindungi—takdirmu mungkin sulit dilalui."
Peter, yang protektif dan marah dengan pernyataan misterius itu, siap menghadapi wanita tua tersebut: "Wanita tua, bagaimana kau berani-" Sebelum dia bisa meluapkan kemarahannya, Alice memegang lengannya erat-erat, menundukkan kepalanya sebagai isyarat penerimaan diam. "Tak apa, tuanku, dia hanya wanita tua." bisiknya dengan suara lembut memohon ketenangan.
Peter, terombang-ambing antara keinginan untuk membela Alice dan menghormati keinginannya, memilih yang terakhir. Dengan menggenggam tangan Alice dengan erat, ia berjalan menjauh, meninggalkan kata-kata wanita tua itu menggantung di udara. "Ayo pergi," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under a Dimmed Sun - Bahasa Indonesia [R15]
RomansaKisah ini menceritakan tentang cinta terlarang antara putri seorang pedagang dan pewaris tidak sah dari bangsawan wangsa Wode yang terhormat. Keduanya diam-diam sering bertemu. Namun, seiring dengan waktu, perasaan mereka satu sama lain berkembang...