Chapter 28 - 30

74 10 0
                                    

Chapter 28

Hari kepergian Alice tiba dengan suasana yang penuh kepedihan, mencerminkan beratnya hati yang ia rasakan. Rumah John Sang Pedagang, yang dulunya menjadi tempat perlindungan Alice, kini terasa seperti penjara yang tak bisa ia hindari. Kereta pengantin telah menunggunya, simbol suram dari kehidupan yang akan segera ia jalani.

Alice, mengenakan gaun favoritnya yang dulunya penuh kenangan bahagia, kini terlihat seperti sekedar pakaian tanpa makna. Gaun itu menggantung longgar di tubuhnya yang kurus. Wajahnya, yang dulu penuh ekspresi, kini datar tanpa jiwa. Hanya bayangan menempel di matanya, raut wajahnya beku, tanpa menunjukkan emosi.

Saat menuruni tangga, ayah dan saudara laki-lakinya, dengan wajah penuh duka dan rasa bersalah, mencoba menangkap pandangannya. Namun, mata Alice tetap tertunduk, langkahnya pelan tanpa menunjukkan tanda pengakuan.

John, ayahnya, dengan hati yang berat berkata: "Alice, nak, ayah ucapkan selamat tinggal. Ini perjalanan baru untukmu— percayalah, kau akan bahagia, anakku."

Alice berjalan melewati mereka seolah-olah mereka hanyalah bayangan semata. Keretakan yang hening di antara mereka berbicara lebih keras daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Udara dipenuhi dengan permintaan maaf dan penyesalan yang tak terucap, tapi tak ada yang berani memecahkan kesunyian yang melanda.

Kereta pengantin yang megah, dihiasi dengan ukiran indah, menunggunya. Alice naik ke dalamnya dengan ketenangan yang aneh, gerakannya mekanis, seakan-akan dipandu oleh kekuatan tak terlihat.

Perjalanan menuju rumah barunya terbentang di depan Alice seperti jurang tanpa akhir. Pemandangan yang lewat kabur menjadi aliran hijau yang monoton. Guncangan kereta menjadi irama yang selaras dengan denyut hatinya yang lambat.

Di tengah pemandangan monoton yang melintas, keheningan di dalam kereta hanya dipecahkan oleh suara angin yang sesekali terdengar. Tubuh Alice, yang masih lemah setelah berminggu-minggu berpuasa karena kesedihan, menyerah pada gelombang rasa mual yang berulang. Guncangan kereta memperparah penderitaan fisiknya.

Gelombang mual pertama menyerangnya tanpa peringatan. Wajah Alice pucat, dia segera memberi isyarat kepada kusir untuk berhenti. Pelayan yang memahami urgensinya, membuka pintu kereta, dan Alice tersandung keluar, berpegangan pada sisi kereta untuk menopang tubuhnya yang lemah.

Hampir tidak bisa mencapai pinggir jalan, Alice, sambil memegang perutnya, bersandar pada pohon, muntah dengan intensitas yang menggema di hutan yang sunyi. Sisa-sisa kotoran menempel di bibirnya saat ia menyeka mulutnya, rasa pahit masih melekat di lidahnya.

Pelayan, dengan cemas: "Nona Alice, haruskah kita berhenti sebentar? Sepertinya anda perlu istirahat."

Alice menolaknya. Pelayan memberi isyarat untuk berhenti sejenak, memberi waktu bagi Alice untuk mengatur napas, dunia di sekitarnya berputar seperti komedi putar yang kejam.

Saat perjalanan dilanjutkan, gelombang mual kedua datang lagi seperti gelombang tak terhindarkan. Kali ini, Alice dengan permohonan yang putus asa meminta kusir untuk berhenti lagi. Ia terburu-buru keluar dari kereta, langkahnya goyah, dan sekali lagi mencari perlindungan di pinggir jalan.

Pelayan, memberikan kain bersih: "Nona, tolong, Anda harus menjaga kesehatan Anda. Kita bisa menunda perjalanan jika perlu."

Alice, menyeka mulutnya, menolak tawaran itu dengan gelengan kepala yang sunyi. Beban harapan dan kewajiban menekan pundaknya yang rapuh, memaksanya untuk menahan penderitaan yang tak terucap.

Kereta terus melanjutkan perjalanan tanpa henti, setiap guncangan dan benturan menjadi pengingat kejam tentang jalan yang telah Alice pilih. Tubuhnya yang lemah karena kesedihan dan kelaparan melawan realitas pahit dari keadaan yang ia hadapi.

Under a Dimmed Sun - Bahasa Indonesia [R15]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang