[1] Anniversary

57 12 0
                                    

love me if you dare

Kezia Joanna duduk di atas kapal, menatap underwater notebook yang dipenuhi tulisan. Suara mesin kapal terdengar cukup lantang, melaju dengan kecepatan sedang di lautan yang ombaknya cukup tenang. Warna oranye yang cantik mulai menghiasi langit, menandakan kalau hari sudah sore dan sebentar lagi matahari akan tenggelam.
 
Kezia adalah seorang marine biologist, sejak satu bulan bulan yang lalu tinggal di Bali untuk proyek monitoring ekosistem terumbu karang. Laut adalah teman setianya.
 
“Ternyata ada banyak yang bleaching, padahal tahun kemarin masih bagus banget,” ujar Ika, salah satu rekan kerja Kezia sekaligus buddy-nya saat scuba diving.
 
“Efek global warming,” sahut Kezia sambil memasukkan papan jalan dan underwater paper ke dalam zip lock
 
Ika mengangguk, kemudian membenarkan ikatan rambutnya.
 
By the way, malam ini Nath ngadain party di beach club,” kata Ika sambil menaik-turunkan alisnya. “Let’s go, Kez. Kita party sampai dini hari.”
 
Ucapan Ika membuat tawa Kezia seketika pecah.
 
“Eh, kenapa malah ketawa?” protes Ika.
 
“Lucu banget, Ka. Kita seharian panas-panasan di laut, habis itu langsung party sampai dini hari?” sahut Kezia.
 
“Salahnya di mana? Ini yang disebut work life balance.”
 
“Buang-buang duit.”
 
“Ini pestanya Nath. Dia yang traktir, jadi nggak usah ngeluarin duit sendiri.”
 
Really? Hari ini Nath ulang tahun? Tumben banget sampai booking tempat buat party.”
 
Engagement party.”
 
Kezia terdiam ketika mendengar kata engagement party. Tiba-tiba mengingat kembali pembicaraannya dengan sang kekasih beberapa hari yang lalu.
 
“Emangnya pesta pertunangan sepenting itu, ya?” tanya Kezia beberapa saat kemudian.
 
“Buat beberapa orang, pesta pertunangan penting buat memperkuat ikatan. Kalau pun belum pengin nikah, at least udah ada status yang jelas dan serius. Kalau cuma sekadar pacaran kan nggak jelas tujuannya ke mana,” jawab Ika.
 
Beberapa hari yang lalu Kezia bicara dengan Aksara lewat sambungan telepon. Aksara tiba-tiba mengajak bertunangan, katanya agar ada bentuk komitmen yang jelas. Tapi, Kezia menolak ide itu mentah-mentah.
 
“Kamu nggak ada rencana buat tunangan atau nikah dalam waktu dekat, Kez?” tanya Ika setelah jeda yang cukup panjang di antara mereka. “Kalian pacaran udah lumayan lama, kan?”
 
“Kami udah enam tahun pacaran. Aku belum pengin tunangan atau nikah, sekarang cuma mau fokus kerja sambil menikmati hidup,” jawab Kezia, lalu tertawa kecil.
 
“Iya, sih. Masa muda nggak akan datang buat kedua kalinya.”
 
Exactly. Aku ngerasa belum cocok hidup berumah tangga, apalagi kalau diminta buat berhenti kerja di lapangan.”
 
“Jadi perempuan emang serba susah, ya. Kita punya mimpi dan cita-cita, tapi kalau udah nikah ruang gerak kita jadi terbatas. Ujung-ujungnya cuma bisa merelakan hal-hal yang kita sukai demi jadi istri dan ibu yang baik.”
 
“Setuju. Aku suka hidupku yang sekarang, setiap hari bisa pergi ke laut dan sering ketemu banyak orang. Kalau tiba-tiba diminta buat stay di rumah, mungkin kepalaku bakal pecah saking frustrasinya.”
 
Ika mengangguk, kemudian mengeluarkan dua kaleng soda dari cool box. Melemparkan salah satunya ke arah Kezia.
 
So? Pacar kamu marah?” tanya Ika.
 
“Iya, kami debat panjang lebar,” jawab Kezia sambil membuka kaleng sodanya.
 
“Mungkin dia pengin bawa hubungan ke arah yang lebih serius.”
 
“Itu masalahnya. Dia emang pengin serius, sedangkan aku masih nyaman sama hubungan kami yang sekarang.”
 
Well, menurutku nggak ada yang salah, sih. Kalian cuma beda pendapat aja, mungkin perlu diobrolin lagi biar ketemu jalan tengahnya.”
 
“Jadi dewasa tuh nggak enaknya kayak gini. Padahal, dulu kami pacaran cuma buat seneng-seneng aja, setiap hari yang diobrolin cuma tentang makanan.”
 
Ika tertawa, lalu menghabiskan soda di dalam kalengnya.
 
Tak berselang lama, kapal telah tiba di dermaga. Bersamaan dengan matahari yang hampir tenggelam ditelan lautan.
 
Kezia dan Ika turun dari kapal sambil membawa alat selam dan dry bag yang cukup berat. Masih dalam balutan wet suit, dua perempuan itu berjalan melewati pantai yang tidak terlalu ramai. Pergi menuju villa kecil yang telah disewa untuk beberapa bulan ke depan.
 
“Sampai jam segini?” tanya Vincent, seorang professional diver yang sedang duduk di teras villa sambil menikmati kopi.
 
“Berangkatnya emang agak sore,” jawab Kezia sambil meletakkan alat selam di teras. “Kamar mandi nggak ada orang, kan?”
 
“Kosong. Ah, dari tadi handphone lo bunyi, Kez. Kayaknya ada yang telepon, coba dicek, siapa tahu penting.”
 
“Oke. Tolong bersihin masker sama snorkel, ya. Gue ke kamar dulu, mau cek handphone.”
 
Vincent mengacungkan jempolnya. 
 
Kezia bergegas masuk ke dalam villa, membuka pintu kamarnya yang terkunci rapat. Tanpa pikir panjang langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas, ternyata ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Aksara.
 
“Sepuluh?” gumam Kezia sambil geleng-geleng kepala.
 
Gadis itu langsung menelepon balik sang kekasih, siapa tahu ada hal penting yang ingin disampaikan.
 
“Seharian dari mana aja? Kenapa nggak angkat teleponku?” tanya Aksara begitu telepon tersambung.
 
Kezia menyalakan loud speaker sambil meletakkan ponselnya di atas nakas, setelah itu melepas wet suit yang membalut tubuhnya.
 
“Di laut, aku nggak bawa handphone,” jawab Kezia.
 
Aksara menghela napas, kemudian berkata, “dari pagi sampai sore?”
 
“Iya, lah. Kamu tahu sendiri kalau aku kerja di lapangan.”
 
“Harusnya tetap bawa handphone, siapa tahu ada telepon penting. Kamu nggak angkat teleponku dari tadi siang, padahal sekarang hari sabtu.”
 
“Emangnya kalau hari sabtu kenapa?”
 
“Libur, Kezia.”
 
“Aku bukan pekerja kantoran, Kak. Udah dibilang berkali-kali kalau aku kerja di lapangan, nggak ada schedule tetap kayak kerja di perusahaan. Weekend pun aku tetap harus ke laut seandainya perlu ambil data.”
 
Wet suit telah terlepas dari tubuh Kezia, menyisakan bra dan celana dalam.
 
“Kamu ingat ini hari apa?” tanya Aksara.
 
“Ingat. Hari sabtu,” jawab Kezia dengan cepat.
 
“Hari ini anniversary kita yang ke enam. Kamu lupa, kan?”
 
“Oh ya? I don’t know, aku bahkan kadang-kadang lupa tanggal ulang tahunku sendiri.”
 
Hening.
 
Kezia menatap ke arah jendela, terkesima saat melihat langit yang warnanya berubah menjadi keunguan. Gadis itu tersenyum lebar, lalu buru-buru meraih kamera polaroid untuk mengambil beberapa foto yang nantinya bisa disimpan di dalam album.
 
“Harusnya hari ini kita video call, ngobrol panjang lebar. Itu hal yang paling sederhana karena kita nggak bisa ketemuan secara langsung. Tapi, kamu malah susah dihubungi, tetap sibuk walaupun sekarang hari sabtu,” kata Aksara panjang lebar.
 
Kezia menjepret pemandangan yang tersuguh dari jendela kamar, lalu menunggu sampai polaroidnya keluar.
 
“Kamu juga selalu sibuk, aku nggak pernah protes. Kamu sering nggak angkat telepon, aku nggak pernah ngomel panjang lebar. Soalnya aku paham kalau kamu lagi nggak bisa diganggu saking banyaknya kerjaan di kantor,” ucap Kezia.
 
“Nggak bisa disamain, Kez. Aku beneran sibuk, sedangkan kamu sengaja nggak bawa handphone,” sahut Aksara.
 
Excuse me? Kamu nuduh aku pura-pura sibuk?”
 
“Nggak gitu—”
 
“Perkara aku nggak angkat telepon aja heboh banget. Orang tuaku aja nggak segininya, Kak. Mereka paham kalau aku emang jarang bawa handphone setiap kali mau diving. Daripada handphonenya jatuh ke laut, mendingan ditinggal di villa.” 
 
“Heboh? Aku cuma khawatir, takut terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.”
 
“Aku bisa jaga diri.”
 
“Aku tetap nggak bisa berhenti khawatir. Aku nggak bisa sewaktu-waktu lihat wajah kamu buat memastikan kalau kamu beneran nggak apa-apa. Seandainya kamu sakit atau ada masalah, aku nggak ada di sana buat ngasih bantuan. Apalagi pekerjaan kamu tergolong berbahaya.”
 
“Oke, stop sampai di sini. Aku baru sampai villa, bahkan belum sempat mandi demi ngobrol sama kamu.”
 
Saat Kezia baru saja akan mengakhiri telepon, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.
 
“Vin, barangnya bisa ditaruh—”
 
Kezia refleks berteriak saat seorang laki-laki masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu.
 
Laki-laki bertubuh tinggi yang kini berdiri di ambang pintu itu ikut berteriak, lalu buru-buru membalik badan sambil menutup matanya.
 
I’m sorry. Amar bilang kamarnya Vincent ada di ujung,” ucapnya.
 
Kezia buru-buru menutupi tubuhnya dengan handuk. Sial. Bisa-bisanya ia lupa mengunci pintu, tanpa sengaja membiarkan seorang laki-laki menerobos masuk.
 
“Kenapa ada suara laki-laki, Kez? Kamu lagi sama siapa?” tanya Aksara yang ikut mendengarkan segalanya.
 
Kezia mengakhiri telepon secara sepihak.

***

Kezia Joanna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kezia Joanna



Kairav Janardana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kairav Janardana

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Me if You DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang