19

240 25 7
                                    

Davema mengusap wajahnya kasar, Dinda masih tidak sadarkan diri. Istrinya terlalu syok menerima kenyataan ini, begitupun dirinya.

Rasanya ia ingin mencekik dirinya sendiri yang tidak becus menjadi seorang suami dan papa untuk putranya. Demi Tuhan, ia  baru saja bertemu dengan putranya, bahkan ia sangat banyak melewatkan momen tumbuh kembang putranya, termasuk saat  putranya masih berada di dalam kandungan.

Davema mengalihkan atensinya saat melihat Angga yang tiba-tiba datang masuk ke dalam ruangan. Sementara itu, ia enggan melepaskan genggamannya dari tangan mungil putranya yang dingin.

Angga menatap nanar tubuh Radja-anak yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri. Bayi mhngil pertama yang ia gendong pertama kali seumur hidup dan mengadzaninya.

"Hei, boy," Angga mengusap pipi gembul Radja yang selalu ia cubit gemas dan Dinda akan mengomelinya, "bangun boy". Ujarnya lirih dengan suara bergetar.

Davema menatap heran akan kedatangan Angga yang teramat tiba-tiba dan seolah-olah  sangat mengenali putranya.

Atensi kedua lelaki itu beralih saat mendengar suara Dinda dan langkah kakinya yang mendekat ke arah ranjang. Dinda bahkan tidak sadar jika ia tidak sadarkan diri.

Ternyata ini bukan mimpi. Dinda mendorong tubuh Davema untuk menyingkir. Ia tidak kuasa untuk tidak memeluk putranya dengan penuh rasa sakit.

Siapapun yang melihat Dinda, semua pasti tahu jika kali ini Dinda benar-benar hancur. Dan untuk kesekian kalinya, Angga kembali melihat Dinda kembali terluka.

Tidak cukupkan rasa sakit yang selama ini wanita itu alami? Demi Tuhan, Angga adalah saksi bisu dari semua kejadian menyakitkan yang Dinda alami. Lalu, apa ini?

"Radja, nak, ini mama sayang, Radja gamau buka mata? Hmm?"

Angga memejamkan mata, tangannya mengepal menahan amarah, saat ia membuka mata, tatapannya tertuju pada Davema, laki-laki brengs*k yang selama ini menjadi sumber rasa sakit untuk Dinda.

"Angga, tolong bawa dokter terbaik ke sini, saya rasa dokter disini..." Dinda menggigit bibit bawahnya, tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Dokter bilang Radja sudah tidak ada Angga, padahal tadi pagi Radja masih dalam gendongan saya, saya masih peluk Radja, masih main sama Radja, tapiiii...."

"Dinda," ujar  Angga pelan, betapa ia  menahan  dirinya untuk tidak memeluk Dinda. Ia sangat menghormati Dinda dan menghargai  Davema, "tenangkan diri kamu" lanjutnya.

"Gimana saya bisa tenang Ga, saya cuma punya Radja" ujar Dinda lirih.

Davema menyentuh bahu Dinda yang bergetar, "Din".

Dinda menggeleng, menepis tangan Davema di bahunya. Dadanya kembali berdenyut nyeri, sesakit inikah rasanya mencintai Davema?

Harusnya, sedari awal, ia tidak pernah kembali bertemu dengan Davema. Harusnya ia cukup bersembunyi bersama Radja, berdua, hanya berdua.

"Pergi Dave, saya benar-benar membenci kamu Dave".

Davema menelan ludah kaku, ucapan kat benci yang keluar dari bibir istrinya cukup membuatnya ketakutan. Dinda melepas pelukannya pada Radja, ia berbalik ke arah Davema. Davema menatap wajah istrinya yang sembab, tatapan matanya redup namun tajam.

"Saya tidak  akan diam Dave, saya akan hancurkan siapapun yang membuat putra saya pergi."

Davema mengangguk, "saa.."

"Sekalipun itu orang tua kamu sendiri, atau bahkan istri kamu itu" ujarnya memotong ucapan Davema.

Davema menunduk, terdiam, karena ia merasa, ia memang laki-laki yang gagal dalam hal apapun. Dan untuk pertama kalinya, Davema tidak melihat tatapan cinta dari istrinya.

Dinda menghela nafas, kembali memandangi sang buah hati yang benar-benar pergi meninggalkannya. Dipandanginya wajah Radja penuh cinta, wajah ini sama persis dengan Davema, laki-laki yang ia cintai. Dulu, ia berpikir, jika ia tidak bisa memiliki dan bersama Davema kembali, setidaknya, ia masih bisa melihat Davema versi lain yang tidak akan meninggalkannya.

Tapi rupanya, Tuhan memang benar-benar memiliki takdir lain. Tuhan lebih menyayangi putranya, tapi, demi Tuhan ia tidak akan membiarkan orang yang mencelakakan putranya bahagia. Ia akan hancur, ia pastikan orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan.

***

Davema masih setia menemani Dinda yang enggan meninggalkan pemakaman. Beberapa orang sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu. Meski dari kejauhan, ia melihat Angga dan anak buahnya berada dari kejauhan.

Ada banyak pertanyaan dalam benaknya, ia masih merasa heran dengan Angga yang tiba-tiba datang ke rumah sakit, dan terlihat begitu akrab dengan istrinya. Pertanyaannya, sejak kapan Dinda dekat dengan Angga?

Ada perasaan tak suka, ahh lebih tepatnya, ia cemburu. Dibanding rasa tidak suka, ia lebih merasakan ketakutan, takut jika Dinda berbalik arah meninggalkannya dan memilih Angga atau laki-laki lain yang lebih baik dari dirinya yang sudah gagal dalam hal apapun.

"Dave".

"Iya? Kenapa?" Sahutnya dengan rasa sakit di hati, rasanya telinganya terasa asing saat istrinya tidak memanggilnya dengan embel-embel 'mas'.

Dinda menatap Davema, mata laki-laki di sampingnya sembab, bahkan hidungnya memerah, "kamu boleh pulang duluan".

Davema mengernyit, "Aku mau nunggu kamu" ujarnya penuh rasa takut.

Dinda tersenyum tipis, "jalan untuk menuju rumah kita berbeda Dave".

Maksudnya? Tidak, tidak, tolong jangan lagi, batin Davema menjerit, "rumah kita tetap sama Din".

Dinda menggeleng, "saya ingin sendiri Dave".

"Maksudnya? Kamu ingin tinggal sendiri? Oh oke, kamu bisa tinggal di rumah kita, aku bisa tidur di kantor atau di apartemen".

Davema merasa dadanya diremas, ia pernah ada di posisi ini, ditinggalkan oleh Dinda, rasanya begitu menyakitkan. Sampai-sampai, rasanya ia lupa bagaimana cara melanjutkan hari-hari yang bahagia.

"Sayang" panggil Davema lirih, berusaha meraih jemari lentik istrinya.

"Saya benar-benar lelah Dave".

"No, nggak, jangan gini Din, saya mohon, saya akan melakukan apapun asal jangan pergi meninggalkan saya".

Dinda menarik tangannya, ia tersenyum tipis, "apapun?"

"Iya".

"Termasuk menghukum orang yang sudah membunuh anak saya?"

Davema terdiam, Dinda hanya terkekeh geli. "Saya tidak akan diam saja Dave, saya akan menghancurkan orang itu".

"Sekalipun orang itu orang tua kamu, atau istri tercinta kamu" ujarnya penuh penekanan, "saya pastikan orang itu tidak akan pernah bisa lari kemanapun".


__________________
Jangan lupa vote dan komennya yaa❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang