07. Nggak Masuk Hitungan

177 54 10
                                    

Malam, Dears!
Enjoy this story~
Happy reading!

***

Saat membuka mata, wajah khawatir Mbak Kinan menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Aku berniat bangun, tetapi dia mencegahku.

“Jangan bangun dulu!”

“Tapi, Mbak, gimana syutingnya?”

Mbak Kinan berdecak. “Lo nih, ya! Baru semaput juga masih mikirin syuting,” omelnya. “Gimana? Lo ada yang sakit nggak? Mumpung ada Dokter Akhtar di sini biar lo sekalian diperiksa.”

Aku mau menolak dan berkata sudah baik-baik saja. Namun, kutelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidah ketika Dokter Akhtar memegang pergelangan tanganku untuk mengecek denyut nadi. Tangannya terasa hangat, berbanding terbalik dengan tanganku yang dingin.

“Apa yang kamu rasakan sekarang, Almira?” tanyanya.

Kalau sudah begini, aku tidak mungkin bisa berbohong di balik kata baik-baik saja, kan? Jadi, aku menjawab, “Dada saya rasanya panas, Dok. Perut bagian atas saya juga perih.”

“Permisi, ya. Saya izin periksa dulu.” Dokter Akhtar meminta izin sebelum menekan perut bagian atasku. “Sakit?”

Aku mengangguk.

“Masih pusing? Atau mual mungkin?”

“Sedikit.”

“Tadi saya lihat kamu minum kopi. Dua cup. Kamu sudah sarapan sebelumnya? Atau ada makan sesuatu?”

Aku terkejut Dokter Akhtar bisa mengetahui berapa banyak kopi yang kuteguk. Pasalnya, dia tidak terlihat seperti seseorang yang memperhatikan sekitar. Sejak datang, dia hanya duduk membaca script, lalu sibuk berbincang serius dengan Dokter Rieta sebelum take.

Mengesampingkan rasa terkejutku, aku menjawab, “Nggak ada sih, Dok. Saya memang belum sarapan, tapi saya sempat makan nanas sedikit.”

“Saya tahu. Saya pikir kamu sudah sarapan sebelumnya. Pantas GERD kamu kambuh.” Dokter Akhtar seperti kehabisan kata-kata. Dia menggeleng-gelengkan kepala, takjub dengan apa yang sudah kuperbuat. “Saya juga yakin kamu kurang tidur semalam. Jadi, untuk sementara kamu butuh istirahat. Sebentar saya resepkan obat," sambungnya, kemudian sibuk menulis obat apa saja yang harus kutebus di apotek nanti.

Usai mendapat resep obat dari Dokter Akhtar, Mbak Kinan memaksaku pulang. Aku sudah bilang kalau aku sudah baikan dan masih bisa meneruskan pekerjaanku. Lagi pula, tidak ada yang bisa aku kerjakan di kos.

Akhirnya, aku mengalah ketika Mbak Kinan mengancam akan meminta Devika mengantarku. Masalahnya, sahabatku itu masih ada satu program lagi yang harus dipandunya pukul empat sore. Jelas aku tidak mau merepotkannya. Kami memang bersahabat, tetapi di tempat kerja, kami tetap dua orang yang selalu dituntut profesional.

Aku berjalan keluar lobi sembari mencoba memesan grab. Namun, pada dasarnya susah sekali mendapat grab di jam makan siang begini. Jika tidak ingat aku harus mampir ke apotek, jalan kaki adalah pilihan terbaik. Toh kosanku di Mampang Prapatan ini.

Tiba-tiba suara klakson mobil menarik atensiku. Mataku menyipit, mencuri lihat siapa yang ada di balik kemudi. Pertanyaanku terjawab saat kaca mobil perlahan turun. Wajah Dokter Akhtar muncul.

“Mau balik?” tanyanya.

“Iya, Dok. Ini lagi nunggu grab.”

“Sudah dapat?”

Aku menengok ponsel, mengecek apakah permintaanku ada yang ambil atau belum. Ternyata belum ada juga yang mau. Alhasil, aku menggeleng.

“Lagi jam makan siang, susah dapatnya,” jawabku jujur.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang