SELURUH rangkaian kegiatan telah terlaksana termasuk menyebarkan belasan tempat sampah di sekitar pantai hingga lapangan parkir.
Lelah mulai menghampiri seiring tergelincirnya matahari. Lengan dan kakiku ngilu, belum lagi kaku di punggung dan tengkuk, akibat jarang berolahraga dan tiba-tiba mengerjakan sesuatu yang menuntut kekuatan.
Seluruh anggota sudah masuk ke dalam bus, semula aku pun sudah akan menaiki undakan pertama di depan pintu jika saja Albagja tidak mencekal tanganku. Ia memintaku agar ikut di mobil Ravi saja, menghindari kejadian keberangkatan terulang.
Aku menolak karena merasa tidak enak, lagi pula sudah meminum obat anti mabuk perjalanan usai luluh oleh paksaan Yuki. Katanya pulang akan lebih lama. Arus akhir pekan.
Tetapi Yuki ikut-ikutan membujuk bersama dalih ia pun akan turut serta dan akan lebih nyaman berada di mobil Ravi. Jika sudah begitu apa boleh buat.
Ravi mengemudi sedangkan Yuki duduk di sampingnya, yang kukira akan setia di sampingku tetapi pengganti Yuki juga sosok yang lebih cekatan, Albagja. Duduk di tengah sedangkan Arjunot di sisi lain dekat pintu.
Obat anti mabuk perjalanan bekerja amat cepat, belum sampai sepuluh menit kantuk menyerang. Obrolan orang-orang di sekitar masih dapat kudengar dan semua itu masuk ke dalam bawah sadarku perlahan.
Samar-samar kurasakan tubuhku beberapa kali terantuk ke depan hingga tangan Albagja membawa kepalaku bersandar di pundak kokohnya. Setelah itu aku benar-benar tenggelam dalam lelap tidur.
Kesadaranku pulih, saat membuka mata tak begitu banyak yang dapat kulihat karena lampu di dalam mobil tidak dinyalakan. Pucuk kepalaku agak berat, rupanya Albagja menyandarkan kepalanya ke kepalaku.
“Sudah bangun?” tanya Albagja. Suaranya rendah dan agak berbisik. Padahal kupikir ia juga tertidur. “Sudah, tapi badanku terasa seperti ayam sayur,” sahutku, sesekali masih memejamkan mata oleh rasa kantuk samar-samar.
“Sebentar lagi sampai, kumpulkan nyawa dulu,” setelah mengatakan itu beban di pucuk kepalaku menghilang, Albagja menjauhkan kepalanya. Tak sampai lima detik kulakukan hal sama, tak lagi bersandar di pundaknya.
Kurogoh saku denim yang membungkus tubuhku dan meraih ponsel, mengetuknya dua kali untuk melihat jam digital di layar. Dahiku mengerut ketika sadar perjalanan pulang benar-benar lebih lama.
Aku menoleh ke arah Albagja. “Tadi macet kah?” tanyaku setengah berbisik, sadar kalau Arjunot terlelap. Albagja mengangguk, minim penerangan seperti ini membuat penglihatanku agak samar. Untunglah sekadar pergerakan masih dapat kutangkap.
“Macet nyaris dari titik awal, banyak orang-orang berwisata jadi harus sedikit menunggu. Jalanan juga cukup padat tadi,” jelas Albagja. Tangannya bergerak, mengusak rambutku yang agak berantakan oleh angin laut.
“Malam ini tidur cepat dan tidur banyak-banyak, besok libur kan?” sarannya disusul oleh pertanyaan. “Mhm libur tapi masih ada beberapa tugas untuk pekan depan,” sahutku.
Tanganku yang sekarang bergerak, meraih dan menggenggam tangan Albagja setelah tangan itu turun dari kepalaku. Tiba di jalanan yang cukup banyak penerangan sehingga senyum Albagja bisa kunikmati sambil mengeratkan tautan jemari kami.
Mengenai Arjunot, terlintas di pikiranku kalau ia termasuk ke dalam salah satu orang yang "menyayangkan" kandasnya hubungan Albagja dan Kinan. Seandainya ia tidak tengah terlelap, aku takkan berani melakukan hal ini.
Sejujurnya masih ada beberapa pertanyaan di kepalaku, mengnai Kinan, perasaan Kinan terhadap Albagja dan sebaliknya. Kekhawatiran memang sedikit terkikis melihat bagaimana sikap Albagja saat ini, terang-terangan mencegahku menaiki bus dan berakhir pulang bersamanya dan karibnya. Mungkin saja di belakang sana Kinan menyadarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Always Will 「 Jackson x Jihyo 」
RomanceMengerikan bagaimana Tuhan mencabut rasa itu darimu sementara dariku belum.