12 | Tiga Polisi

93 12 0
                                    

Dua hari kemudian.

Tokyo Noir Familia baru-baru ini merekrut penghuni baru, relasi baru. Rumah besar yang menjorok ke laut itu semakin ramai saja penghuninya.

Serangkaian acara ospek telah dilaksanakan, hanya tersisa 1 tugas terakhir bagi para relasi yang harus mereka selesaikan sebelum secara resmi nama mereka tercantum dalam daftar keluarga di monitor milik sang kepala keluarga.

"Echi, kenapa mukamu murung aja daritadi. Aneh banget rasanya dunia ini kalau kau diem kayak gini." Hembusan asap nikotin yang semula menutupi wajahnya mulai hilang dan menunjukkan jelas raut wajah Rion yang bingung dengan salah satu anomalinya.

Subuh tadi Echi sudah rapi dan pergi keluar rumah dengan wajah sembab. Yang lain mengira setelah bermain diluar moodnya akan kembali dan bertingkah seperti biasanya. Tapi justru kelihatannya malah semakin buruk.

Shannon menghela nafas berat, 'tak tahan melihat sahabatnya dari orok itu yang semakin murung saat mendengar kalimat dari Papi mereka.

"Itu, Pi. Papi tau 'kan? Aku sama Echi yang paling sering mampir ke Kanpol, iseng aja cari hiburan, gangguin polisi disana." Jeda sejenak untuk sekedar melihat ekspresi sang Papi karena biasanya beliau ini sangat anti dengan hal yang berbau kepolisian.

Setelah dipastikan tidak ada raut yang tidak menyenangkan di wajah Papinya, Shannon melanjutkan penjelasannya. "Ada satu polisi yang sering ngeladenin Echi, mungkin kalian tau, namanya Pak Zilla."

Rion menaikkan sebelah alisnya, "Loh, baru beberapa hari yang lalu kamu curhat ke Papi risih sama si Zilla ini karena di deketin mulu?"

Dengan suara parau Echi mulai berbicara, "Ya, itu karena aku anggap hubungan kita cuma temen aja, sedangkan dia berharap lebih, Pih."

"Terus, ini kamu cemberut karena apa? Si Zilla cuekin kamu? Ga ditemenin lagi kamu sama dia? Dibilangin jauhin polisi, kok, ngeyel. Saudaramu udah sebanyak ini masih aja ngeluyur ke Kanpol." Rion memutar bola matanya, terlampau jengkel dengan kelakuan anaknya satu ini yang sangat keras kepala.

Duh, Shannon jadi merasa tersindir juga. Dia berdeham untuk menetralkan kecanggungan ekspresinya sebelum kembali berbicara.

"Pagi-pagi buta tadi, tepatnya pukul 3 dini hari, Assistent Chief Kepolisian, Zilla Zakaria ditemukan tidak bernyawa tenggelam dibawah tebing curam."

Suasana hening yang melingkupi membawa banyak perasaan di dalamnya. Kaget, bingung, sedih, dan lain-lain bercampur aduk sangat tidak nyaman. Di antara mereka semua yang masih terdiam, Caine yang pertama memecah keheningan dengan suaranya.

"Kenapa tiba-tiba banget dia meninggal? Apa karena dibunuh seseorang?"

Shannon menunduk mengelus surai ungu milik Echi yang masih saja menyembunyikan wajahnya dilipatan lengan. "Dugaannya, sih, begitu. A-aku sebenernya ada dugaan lain, tapi aku agak takut mau omongin."

"Kasih tau aja Kak Aenon, biar kita juga bisa waspada karena gaada yang tahu kalau-kalau mereka juga ngincer kita nanti," desak Mia.

Sebelum memulai pembahasannya, Shannon menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Ada rumor yang lagi rame dikalangan kepolisian, soal Maestro palsu."

Sorot matanya menajam sedangkan pikirannya melayang berusaha mengingat percakapan yang tidak sengaja ia dengar setiap berkunjung ke Kantor Polisi di pusat Kota.

"Sependengaran aku, ada beberapa petinggi kepolisian yang terlibat Maestro palsu itu. Salah satunya, Pak Zilla. Terus berdekatan dengan lokasi tewasnya Pak Zilla, ada Agil dan Airuma yang juga terbujur penuh luka, bahkan sampai sekarang mereka berdua dinyatakan koma."

AMBITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang