Malam itu, suasana di rumah terasa lebih hening dari biasanya. Lila menyiapkan makan malam dengan penuh semangat, berharap suasana akan lebih cair. Dia menyusun piring-piring di meja makan dengan rapi dan hati-hati, memastikan semuanya sempurna untuk Adrian.
Ketika makanan siap, dia mendorong kursi roda Adrian ke meja makan. Adrian tetap dengan wajah datarnya, menatap lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan apa yang ada di depannya.
“Silakan, Tuan. Malam ini menunya ada nasi, daging panggang, kentang tumbuk, dan sayur kukus. Ini spesial banget,” ujar Lila dengan senyuman lebar, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.
Adrian memandang piringnya sebentar, lalu mendesah pelan. "Aku nggak suka sayur," ucapnya singkat, dengan nada dingin.
Lila tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. "Wah, kalau gitu sayurnya buat aku aja. Tapi tetap coba sedikit, ya? Biar sehat."
Adrian menatapnya, jelas tidak terhibur. “Aku nggak mau. Jangan paksa.”
Lila mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya. “Ayolah, Tuan Adrian, nggak bisa terus makan daging dan kentang aja.anda butuh nutrisi dari sayur juga. Saya aja rela makan sayur biar sehat, masa anda nggak?”
Adrian menghela napas panjang, menyingkirkan piring sayur tanpa sepatah kata. Dia memilih fokus ke daging panggang di piringnya, memotongnya perlahan tanpa menanggapi lebih jauh.
Lila menyeringai. “Ya udah deh, terserah anda. Tapi kalau nanti anda sakit gara-gara nggak makan sayur, jangan salahin saya, ya.”
Dia mengambil piring sayur Adrian dan mulai memakannya sendiri, sambil sesekali melirik Adrian yang tetap dengan ekspresi datar. Adrian makan dengan pelan, tanpa terlihat benar-benar menikmati makanannya. Lila bisa merasakan kekakuan di antara mereka, tapi dia tetap bersikap santai.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Lila memecahnya. “Tahu nggak, waktu kecil saya juga nggak suka sayur. Tapi lama-lama jadi doyan karena dipaksa sama ibu saya Katanya, kalau nggak makan sayur, nanti kulit jadi kusam, badan cepat lemes, terus gampang kena penyakit.”
Adrian hanya mendengus kecil, tapi tetap tak menanggapi lebih dari itu. Lila menyipitkan mata, mencoba mencari cara lain untuk mengajaknya bicara.
“Jadi, gimana menurut anda? Daging panggangnya enak, kan?” tanya Lila, mencoba memancing respons.
“Biasa aja,” jawab Adrian singkat, tetap tanpa ekspresi.
Lila pura-pura kecewa. “Biasa aja? Saya udah masak dengan sepenuh hati loh. Aduh, gimana dong biar anda bilang makanannya enak?”
Adrian melirik ke arahnya, kali ini dengan sedikit perhatian, meskipun tatapannya masih datar. “Kamu terlalu banyak bicara,” katanya, dengan nada setengah jengkel.
Lila tersenyum lebar, merasa sedikit menang. "Ya, kalau anda nggak banyak bicara, suasana makan malam kita bakal kayak pemakaman, Tuan."
Adrian menggelengkan kepala, tapi kali ini ada sedikit kilatan humor di matanya. Meskipun dia berusaha mempertahankan sikap dinginnya, Lila tahu bahwa dia sedikit demi sedikit mulai terbiasa dengan keberadaannya.
Mereka menghabiskan sisa makan malam dalam keheningan yang lebih nyaman daripada sebelumnya, meski Adrian tetap bersikeras menolak sayurnya. Lila, di sisi lain, merasa puas bisa sedikit mencairkan suasana, meskipun Adrian masih jauh dari kata ramah.
Setelah makan malam, Lila mulai membersihkan meja. “Besok saya masakin apa ya, biar anda lebih suka? Atau ada makanan kesukaan?”
Adrian mengangkat bahu, tidak menjawab. Tapi Lila tidak menyerah, dia akan terus mencoba membuat Adrian merasa nyaman—entah dengan makanan, atau dengan keberadaannya di rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengasuh Tuan Lumpuh
Short Story--- Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng pegunungan , hidup seorang gadis bernama Lila. Kehidupannya sederhana, penuh dengan keheningan desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan pepohonan yang rimbun. Tak pernah terbayang olehnya, bahwa...