"Kita akan pergi kemana?"
Roan hanya menginggungkan senyum misteriusnya sambil menarikku bersamannya. Mengikutinya.
Kami berjalan kembali ke arah lorong ruangan pribadinya. "Kamu tidak berencana menahanku di tempat tidurmu sepanjang hari, bukan?"
Seketika, dia langsung berhenti dan berbalik padaku. Wajahnya cerah dan terhibur. Hari ini, dia lebih banyak tersenyum dan dia terlihat lebih santai. "Terima kasih telah memberiku ide yang bagus, Melione sayang." Godanya dengan memberiku sebuah kedipan mata yang nakal.
Aku tidak bisa untuk tidak tergelak. "Kita perlu bicara." Aku mengingatkan. "Ada banyak sekali pertanyaan untukmu, Roan."
Dia mengangkat kedua bahunya dan berbalik membelakangiku—masih mengenggam tanganku dan menarikku bersamannya. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan kami, berhenti dan menundukkan kepala mereka sebagai sebuah penghormatan pada Raja mereka.
Begitu mereka menghilang dan jauh dari jarak pendengaran, aku berkata. "Apa mereka takut padamu?"
"Entahlah." Gumamnya sambil lalu. "Dan aku tidak peduli."
"Mereka juga rakyatmu, Roan."
"Setidaknya, mereka menghormati aku dan tidak mencoba menghianati Kerajaan ini. Itu sudah cukup."
Sebenarnya, dia ada benarnya. Aku menyukai pemikirannya yang mudah dan sederhana.
"Bagaimana denganmu? Apakah para rakyatmu juga menakutimu?"
Kami berdua telah sampai di depan pintu ruang kerjanya. Dia membuka pintunya untukku—pandangannya mengawasiku dengan penasaran.
"Mereka pasti membenciku." Aku berkata jujur padanya. "Karena penyerangan Renfal yang terakhir," Suaraku mulai tercekat. Aku merakan udara mulai meninggalkan tubuhku. Dadaku terasa kencang. Air mata mulai merembes naik dari belakang mataku. "dia melepaskan kegelapan hingga bulan kami tercemar kebusukan. Jika aku membiarkannya, maka kami semua akan mati. Dia menyerang Sang bulan, karena tahu. Aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Bahkan jika aku harus menukar tubuhku sebagai gantinya."
Lengannya melingkari bahuku. Dia menarikku kedalam pelukannya. Dagunya bersandar di atas ujung kepalaku. "Bukankah itu berarti Renfal juga mati?" Dia terdengar bingung.
"Renfal selalu memiliki trik untuk mencurangi kematian." Sebuah ketakutan melandaku secepat kilat. Aku mendongak dan menjauh dari pelukannya. Dia membiarkannya. "Apa yang kamu lakukan pada Renfal setelah aku memisahkan kepalanya?"
"Tentu saja membakarnya." Jawabnya cepat. "Hingga menjadi abu." Dia menambahkan lagi dengan mengusap sisi wajahku. Memberiku penghiburan dan kenyamanan. "Aku pernah berjanji padamu, bahwa aku akan membakarnya."
Aku menghembuskan napas lega. "Bagus."
"Sumpahmu sudah terpenuhi, Melione. Sekarang, saatnya melanjutkan hidupmu." Dia menyinggungkan senyumannya yang menggemaskan. "Bersama denganku, tentu saja."
Roan berjalan mendahuluiku memasuki ruang kerjanya. Aku mengikuti di belakangnya. Ketika dia telah berada di depan perapian, dia berhenti dan berbalik padaku. "Dan satu hal lagi, Melione sayang. Para rakyatmu tidak membencimu. Aku telah memastikannya." Dia berkata dengan mengulurkan tangannya padaku. Sementara satu tangannya yang lain melemparkan sebuah api oranye yang berkobar kedalam perapian.
Aku melangkah mendekatinya dan menyambut tangannya. Mengenggamnya. "Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
"Karena aku telah berbicara dengan mereka." Dia menarikku bersamannya melalui api oranye yang berkobar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasiSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...