This Is How We Do It [Second Life- another flashback]

432 33 6
                                    

|Menjadi orang tua, bukan satu pekerjaan mudah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|Menjadi orang tua, bukan satu pekerjaan mudah. Profesi tersebut akan menempel seumur hidup kita dan Seungcheol sadar betul konsekuensinya. Maka dari itu, ia mengusahakan yang terbaik dan buktikan pada dunia, seperti ini cara menjadi orang tua yang baik untuk Rayya sang putra semata wayang. Kamu, belum tentu bisa kan?|

. . .

"Adek abis tenis boleh liat softball?" Rayya memasukkan buku tugas matematikanya. Menjadi anak sekolah dasar ternyata tak semenyenangkan menghabiskan waktu di Taman Kanak-Kanak. Sudah mulai ada tugas rumah juga les tambahan. Usianya baru 7 tahun setengah, namun jadwal kegiatannya sungguh padat.

Pukul setengah 6 pagi, Rayya sudah harus bangun dan lakukan gerakan pemanasan kecil sebelum menunggui Ayahnya memasak. Tapi, jika Ayah tak sempat membuatkan sarapan, kegiatan akan diganti dengan membaca satu artikel pilihan di koran. Rayya bisa pilih apakah itu Media Indonesia, Kompas, atau The Jakarta Post yang sudah tersaji hangat sejak pukul 5 lewat 15 di dalam kotak pos di depan rumah. Benar, koran. Media cetak.

Anak sekecil itu harus membuka lembar demi lembar, membaca segala huruf kecil di sana sebelum akhirnya mandi dan membahas artikel yang ia baca sembari sarapan bersama Ayah.

"Kalau pemilu, Ayah boleh pilih? Rayya boleh pilih?"

Tadi pagi, pembahasan hangatnya adalah soal pemilihan umum kepala daerah. Rayya selalu suka rubrik cerita pendek dan olahraga. Namun pagi ini, karena satu halaman depan koran berisi warna-warni partai pengusung dan tercetak jelas kata PEMILU di situ, Rayya tergelitik untuk mencari tahu.

"Ayah boleh, Rayya masih belum boleh. Rayya boleh pilih besok kalau sudah punya KTP," Seungcheol tersenyum sembari menaruh cangkir kopi di meja makan. Saat usia Rayya 6 tahun, anak itu belajar konsep pemilu. Berawal dari pertanyaannya soal, kenapa ia begitu familiar dengan sosok yang fotonya ditempel di ruang kelasnya kala itu? Obrolan kemudian berlanjut mengenai lembaga negara hingga bagaimana cara menduduki jabatan-jabatan tertentu. Tahun ini, Rayya berkesempatan untuk melihat gegap-gempita pilkada seiring dengan ramainya bendera partai yang menghiasi sepanjang jalan ibukota dan membuat polusi visual itu.

"Hmmm 10 tahun lagi? Rayya kalo udah 17 tahun," anak itu mengangguk, menyuap telur rebus yang ada di piringnya sembari kemudian merenung. Rayya masih terlalu kecil untuk ikut Pemilu.

"Mungkin lebih. Kan 5 tahun sekali, coba aja nanti dihitung umur Rayya berapa waktu ada Pemilu lagi..." Seungcheol menyuap dada ayam lada hitam bersamaan dengan wortel rebus menu sarapannya pagi ini.

"Ayah pilih? Ayah pilih warna apa? Rayya suka kuning!" Rayya belum bisa memilih, tapi Ayah sudah boleh. Berarti boleh juga Rayya usulkan sesuai dengan warna kesukaannya sebagai bentuk partisipasi?

"Hhmm... Rayya gak boleh tau. Kan rahasia. Luber Jurdil. Langsung, umum, rahasia, jujur, sama adil. Ayah gak boleh kasih tau Rayya pilihan Ayah. Besok Rayya juga gak boleh kasih tau karena rahasia. Udah jam segini, ayo disuap satu lagi itu telornya. Telat nanti, Nak.." dan seperti biasa, Seungcheol beserta kebiasaannya mematahkan rasa penasaran anak. Alasannya, karena terburu-buru juga tak ada waktu untuk membahas topik secara mendalam. Padahal aslinya, Seungcheol tak terlalu terbiasa dengan bombardir pertanyaan. Ia dibesarkan dengan kultur menerima apa kata orang tua dan mencari sendiri jawabannya jika ia masih penasaran. Seungcheol hidup, sesuai dengan apa yang dirancang Papi juga Maminya. Pilihan kehidupan terbaik yang bisa Seungcheol jalankan. Sedikit-banyak, ia lakukan hal serupa pada Rayya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang