Bacanya jangan buru-buru, ya.
Selamat membaca, man-teman. 🖤
∞∞
Angin dini hari pukul dua lebih tiga puluh menit merayap di sepanjang koridor laboratorium, seolah-olah mengundang kegelapan untuk menyusup masuk. Tawa, jeritan, tangisan, bercampur menjadi satu yang membuat peserta PERSAMI yang belum giliran masuk ke dalam laboratorium bertanya-tanya, juga saling memegang jantungnya masing-masing. Termasuk Zoya.Peserta PERSAMI di instruksi panitia untuk berpasangan dua orang sesama jenis dengan mata yang masih tertutup kacu. Zoya dan pasangannya―Nurul―saling menggenggam pergelangan tangan. Ini sudah antrian ke dua puluh empat, di depan barisan Zoya masih ada dua pasangan lagi. Jadi ia masih bisa menetralkan jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Menurut kamu, di dalam itu ada apa sampai-sampai orang yang sudah masuk selalu menangis disaat mereka keluar?" Tanya Nurul―berbisik―membuka obrolan dengan mata yang masih tertutup, juga masih menggenggam pergelangan tangan Zoya.
"Ada curut," tebaknya asal. "Karena dari tadi ada suara yang teriak seperti suara curut." Tambahnya yakin, seolah tebakannya tidak meleset.
"Benar, ada curut," Jawab panitia yang ikut mendengarkan perbincangan Zoya dan Nurul. "Tapi, curut yang ini agak beda. Karena curut yang ada di dalam itu.. mengejar." Lanjutnya dengan sedikit kekehan.
Zoya dan Nurul yang mendengar pernyataan itu, semakin erat menggenggam tangannya yang saling pegang. Sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa selanjutnya adalah giliran mereka untuk masuk.
"Nanti kalau sudah masuk boleh dibuka kacu yang menutupi mata kalian," nasihat panitia pada Zoya dan Nurul
"Yes!" Sahut Nurul dengan perasaan yang berbinar.
"Urutan dua puluh enam, masuk." Panggil dua orang panitia yang menjaga pintu laboratorium diluar.
Zoya dan Nurul berdiri dengan cepat lalu, berjalan menghampiri pintu masuk laboratorium yang dijaga oleh dua orang panitia. "Langsung dibuka kacunya, nggak apa-apa." Lontar salah satu panitia dari penjaga pintu laboratorium, ia mendorong Zoya dan Nurul agar cepat masuk ke dalam, kemudian menutup pintu laboratorium dengan kencang saat dipastikan Zoya dan Nurul sudah masuk.
"Nurul, udah buka kacu?" Tanya Zoya berbisik, ia menggandeng erat pergelangan tangan Nurul sebelah kiri.
Cahaya redup menyinari dinding laboratorium, dengan bantuan lilin kecil yang sedikit lagi akan habis meleleh, menciptakan bayangan yang menyeramkan di setiap sudut ruangan laboratorium.
Nurul membalikkan tubuhnya ke arah pintu. Tangan sebelah kanannya meraba dinding di samping pintu. Guna mencari stop kontak untuk menghidupkan lampu.
Ketemu. Dengan cepat Nurul memencet tombol stop kontak sekaligus empat. Namun tidak ada tanda-tanda hidupnya lampu.
Nurul mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan. Ia menoleh ke samping Zoya, lalu menoleh ke arah pojok depan dekat alat fume hood, kemudian menoleh lagi ke arah kanan yang menempati lemari pakaian sterilizer UV.
Jumlahnya empat. Monolognya menahan suara yang ingin dikeluarkan .
"Nurul?" Panggil Zoya pelan kemudian menoleh ke arah Nurul dengan mata yang masih tertutup kacu. "Kamu ngapain pegang kaki aku?" Tanya Zoya menghentakkan kakinya sebelah kiri, berkali-kali. Zoya mulai membuka kacunya yang diikat dari belakang. Lalu perlahan membuka matanya.
"SUMPAH? GELAP BANGET!" Ujarnya dengan kencang, Zoya membalikkan tubuhnya ke arah pintu. Ia mengetuk-ngetuk pintu. "Kak, buka. Tolong nyalain lampunya!"
Dinginnya udara pukul dua pagi lebih tiga puluh dua menit merambat ke tubuh mereka, menciptakan rasa takut yang menyatu dengan suara serak-serak yang menghantui setiap sudut ruangan. "Kalian harus bermain dulu bersama kami."
Bukan. Bukan panitia diluar yang menjawabnya, melainkan seseorang yang memegang kaki Zoya saat mata Zoya masih tertutup kacu.
Nurul yang sedari tadi memeluk Zoya dengan erat sambil menutup matanya, juga Zoya yang masih sibuk menghapus pikiran yang menghantui nya. Mereka saling menoleh pelan ke sumber suara yang dilontarkan seseorang selain dirinya dan Zoya.
"AAAAAAAA, KAK! KAK, TOLONG BUKAIN!" Desak Zoya dan Nurul, buru-buru menarik handle pintu kuat-kuat sekaligus menggedor-gedor.
"Kalian sudah selesai tanda tangan?" Tanya panitia yang menjaga di luar.
Zoya dan Nurul saling memandang satu sama lain dengan cahaya minim yang menyinarkan wajah keduanya. Seolah paham akan tatapan keduanya. Mereka kompak menjawab jawaban yang tidak sesuai dengan faktanya pada penjaga pintu di luar laboratorium.
"BELUM!" Seru seseorang dari sudut kiri depan. Terdengar gemerisik seretan tubuh nan lamban, menghampiri mereka.
Zoya dan Nurul berhenti menarik handle pintu juga menggedor-gedor. Kemudian mereka menoleh ke arah sumber suara yang mengenakan; baju putih, rambut hitam terurai panjang sampai menyentuh lantai juga menutup wajahnya penuh darah yang menetes, tangannya memegang boneka kecil Lagoon Rabbit berwarna biru yang memakai kostum polkadot layaknya joker menghampiri keduanya.
Kepanikan sudah menjalar pikiran mereka, tidak ada waktu untuk berpikir. Semakin lama mereka berpikir, akan semakin lama mereka terjebak di laboratorium ini, juga semakin cepat lilin kecilnya meleleh.
Zoya membalikkan badannya, menatap ke arah seseorang yang menyeret tubuhnya sendiri ke depan―ingin menghampiri dirinya dan Nurul―Lalu, Zoya mengedarkan pandangannya mencari tempat tanda tangan yang dimaksud panitia diluar tadi.
Tepat di samping lemari pakaian sterilizer UV, Zoya menemukan kertas tanda tangan. Namun tidak semudah itu. Nyatanya kertas itu diapit oleh dua penjaga lagi―satu memakai kostum yang sama dengan yang ingin menghampirinya, satu memakai kostum menyerupai pocong dengan wajah yang dihias full warna merah juga lingkaran mata yang berwarna hitam―yang membuat Zoya semakin berdegup kencang untuk menggerakkan kakinya melangkah ke sana.
"Waktu kalian tinggal tiga menit, kalau kalian nggak berhasil tanda tangan. Silakan keluar tanpa mendapatkan Tanda Kecakapan Khusus." Peringat penjaga di luar laboratorium.
"Zoy," panggil Nurul, dengan kedua mata yang penuh buliran bening juga ditambah jeritan kecil karena seseorang itu semakin dekat. Ia buru-buru menyentuh lengan Zoya. "Nyerah aja, please.." mohonnya dengan serius. Kedua buliran bening itu membasahi pipinya.
Ditengah teriakan dan tangisan Nurul, Zoya menarik tangan Nurul sembari memohon agar tidak diikuti oleh seseorang yang memegang boneka kecil Lagoon Rabbit, kemudian berlari menuju kertas tanda tangan yang tidak jauh dari posisinya.
"Ini pulpennya," papar seseorang yang memakai kostum persis dengan yang mengejarnya saat ini. Namun memiliki peran yang berbeda. Ia tersenyum.
Dengan cepat Zoya mengambil pulpennya sembari melihat ke arah belakang―yang dimana seseorang yang memegang boneka itu menghampiri mereka dengan teriakan khas sosok aslinya―guna memastikan. Kemudian matanya menelusuri dari atas ke bawah mencari namanya, dan nama Nurul.
Merasa di lembar pertama tidak ketemu, ia beralih pada lembar selanjutnya. Menelusuri kembali. Tidak ketemu lagi, menelusuri lagi di lembar terakhir. Ketemu. Buru-buru Zoya menanda tangani sesuai namanya, lalu pulpennya ia berikan pada Nurul yang sudah sesenggukan, teriak, karena seseorang itu menarik tangannya berkali-kali.
∞∞∞
Semoga suka. 🖤
👻👻👻
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
RomanceMenurut Zoya yang berucap pada 15 Juli 2019ーDerlangga itu bagaikan aksara yang ada di dalam kalbunya, hingga menjadi 'amerta' yang selalu ia kenang dalam aksara indah. Tetapi Zoya lupa dengan perkataan Bundanya, ketika ia mencintai seseorang, hanya...