Malam, Dears!
Enjoy this story~
Happy reading!***
Akibat minum obat, waktu tidurku menjadi lebih lama dan bangun hampir pukul delapan. Anggap saja begitu karena selama ini aku tidak pernah bangun kesiangan meski malamnya bergadang. Kendati sebenarnya, semalam aku masih bekerja dan mengurus banyak hal dari kosan hingga larut malam.
Mbak Kinan sempat mengomel, memintaku agar istirahat dan tidak dulu memikirkan pekerjaan. Aku sudah mencoba, tetapi yang ada malah makin kepikiran. Alhasil, aku tetap ngotot ikut meeting bareng tim lewat zoom untuk mendiskusikan beberapa masalah.
Mengingat masih dalam masa cuti sakit, aku tidak segera beranjak dari tempat tidur. Mataku mengarah lurus ke langit-langit kamar. Sekali dua kali helaan napas panjangku terdengar. Jika sedang sakit begini, aku jadi rindu rumah. Aku ingin makan bubur buatan Ibu yang kaya rempah.
Bicara soal bubur, mataku sontak mengarah pada paper bag di atas meja. Di sebelahnya ada dua kotak kosong yang semalam sudah kutandaskan isinya. Kemarin setelah hampers-ku hilang, tak lama pintu kamarku diketuk. Tidak ada siapa pun di luar. Hanya ada sebuah paper bag berisi dua kotak bubur yang digantung di gagang pintu. Saat aku bertanya pada Arum, katanya itu dari Emma sebagai ganti hampers-ku yang diambil Sujatmiko.
Berkat kiriman bubur dari Emma, aku bisa segera makan siang dan minum obat. Sisanya, aku simpan dan kupanaskan untuk makan malam. Aku sudah mengirim pesan berisi ucapan terima kasih padanya. Namun setelah kipikir-pikir, rasanya hal itu belum cukup. Apalagi aku memang belum berkenalan dengan penghuni kos lain secara resmi. Mungkin itu juga yang membuat Sujatmiko mengira kamar nomor tiga masih belum berpenghuni.
Tanganku terulur untuk mengambil ponsel yang aku charge semalam penuh. Aku membalas satu per satu pesan yang masuk. Berawal dari pesan Devika, Mbak Kinan, Mas Danu, serta menanggapi beberapa topik yang kulewatkan di grup. Ketika hendak membalas pesan terakhir, jemariku mendadak kaku. Pesan yang masuk beberapa menit lalu itu sungguh mengejutkanku.
Dr. Pradipta Akhtar
Kemarin saya lupa meresepkan vitamin.
Hari ini kamu ambil cuti sakit kan, Almira?Selama beberapa detik, aku cuma bengong, tidak tahu harus menjawab apa. Kubaca berulang-ulang sehingga sampai pada satu kesimpulan.
Jika aku tidak salah mengartikan, Dokter Akhtar bermaksud mampir ke kosanku untuk mengantarkan vitamin, bukan?
Tak ingin merepotkan dia, tanpa berpikir panjang jemariku gegas mengetik balasan.
Iya, Dok.
Dokter resepkan lewat pesan saja.
Nanti saya tebus di apotek.Dr. Pradipta Akhtar
Saya sudah di dekat kosan kamu.Balasan cepat dari Dokter Akhtar sukses membuatku menegakkan punggung dengan mata membelalak. Refleks aku meloncat dari tempat tidur, berlari kecil menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Kuganti piyama lusuhku dengan baju yang lebih layak, meskipun cuma kaus putih oversize dan celana training hitam. Aku sengaja tidak berdandan karena tidak ingin terlihat berlebihan untuk seseorang yang hanya akan berada di kosan selama seharian.
Hidungku disambut dengan aroma bumbu balado dengan ekstra bawang yang semerbak ketika keluar dari kamar. Melongokkan kepala ke arah dapur, aku melihat seorang pria tengah memasak sendirian. Sepintas, wajahnya mirip dengan foto profil WhatsApp Sujatmiko.
Baru hendak memastikan tebakanku, ponselku berdering. Nama dan nomor telepon Dokter Akhtar terpampang di layar. Dia pasti ingin memberitahukan bahwa dia sudah sampai dan sedang menungguku di depan. Oleh sebab itu, aku mempercepat langkah untuk menemuinya.
Benar saja! Dari teras, aku bisa melihatnya berbincang hangat dengan Pak Alpian. Sesekali bibirnya merekah, mengumandangkan tawa renyah. Entah apa yang keduanya bicarakan, tetapi mereka kelihatan akrab untuk ukuran dua orang yang baru pertama kali berkenalan.
"Nah, itu Mbak Almira-nya, Mas." Pak Alpian menjadi orang pertama yang menyadari keberadaanku. Melihatku berjalan mendekat, dia berpamitan dengan Dokter Akhtar untuk kembali ke pos satpam.
"Pagi, Dok!" sapaku sungkan yang langsung direspons Dokter Akhtar dengan anggukan singkat. "Mampir dulu di teras biar saya buatkan—"
"Terima kasih tawarannya, Almira. Mungkin lain kali."
"Saya jadi merasa nggak enak udah ngerepotin Dokter."
Tangan kanan Dokter Akhtar merogoh saku celananya, mengeluarkan sekantung plastik kecil berisi vitamin, lalu mengulurkannya padaku. "Nggak perlu merasa nggak enak. Hari ini saya masih ada jadwal syuting Lensa Nalar sekaligus punya urusan lain di dekat sini. Jadi, sekalian mampir."
"Terima kasih, Dok. Sekali lagi, saya minta maaf udah ngerepotin." Aku mengambil, kemudian mendekap kantung plastik tersebut.
Setelah itu apa?
Serah terima vitamin, sudah.
Seharusnya Dokter Akhtar pamit pergi, kan?
Akan tetapi, dia tetap berdiri menjulang dengan mata menatapku lamat, seolah-olah tak peduli jika tatapannya mampu membuatku salah tingkah.
"Semalam kamu tidur cukup, Almira?" tanyanya setelah beberapa detik terlewat.
Kelopak mataku berkedip-kedip, agak bingung dengan topik pembicaraan yang awalnya sekadar basa-basi, mendadak berubah ekstrim. Mencoba mengikuti, aku mengangguk ragu.
"Ya. Lebih cukup dari biasanya malah, Dok."
"Tapi kenapa yang saya lihat malah sebaliknya?"
"Maksud Dokter?"
Dokter Akhtar menipiskan bibir, bergeming. Dia menghunjamiku tatapan teduh menyelisik. Entah apa yang tengah dicarinya lewat sorot mataku. Yang jelas, berada di bawah tatapannya yang demikian, tak ayal aku kelabakan ingin menghindarinya. Namun, alih-alih membuang pandang ke sembarang arah, aku membalas dengan tatapan yang sama, tepat di kedua bola mata cokelat madunya.
Selang beberapa denyut nadi, embusan napas pelan keluar dari bibirnya yang tebal. "Tolong lebih aware lagi dengan alarm tubuh kamu. Merasa sudah istirahat cukup, bukan berarti tubuh kamu sedang baik-baik saja. Percuma saya resepkan obat kalau pikiran kamu masih penuh dengan kerjaan. Mungkin kamu belum tahu, kebanyakan penyakit bermula dari pikiran. GERD kamu salah satunya." Dokter Akhtar menyimpan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Atau kamu mau masuk IGD dulu, baru bisa paham apa itu istirahat?"
Holy crap!
Aku melipat bibir, tak memiliki kalimat apa pun untuk menyanggah.
TBC
Ada yang butuh POV Dokter Akhtar?
Atau POV si Bara?
POV si paling nyebelin dari Sujatmiko mungkin?
Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!
Thanks for your support~
Big hug,
Vanilla Hara
15/9/24
KAMU SEDANG MEMBACA
SESUAI BUDGET | ✔ | FIN
ChickLitAlmira Bestari, Produser Assistent i-Net TV, berusaha menabung demi membeli sebuah apartemen agar tak lagi menyewa bersama sahabatnya. Namun, orang tua dan saudaranya di kampung seperti tak pernah kehabisan akal untuk menguras tabungannya. Akhirnya...