11: Hari Pertama

27 6 0
                                    

Tama terbangun dengan suara pintu diketuk lumayan kencang. Tama melirik jam dinding, pukul setengah lima. Ia bangun dari kasurnya dan membuka pintu.

"Ayah ketuk dari tadi. Lama banget bukanya." Itu Ayahnya Tama, tumben sekali ia menghampiri kamar Tama. Apalagi pagi-pagi seperti ini.

"Ayah? Ada apa pagi-pagi begini ke kamar Tama?" Tanya Tama sedikit terkejut.

"Hari ini temenin abang buat kontrol ke dokter jantung. Ayah sama Bunda nyusul, ada kerjaan. Jadi kamu tanggung jawab sama adik-adik kamu." Ayah memasang wajah datar.

"Sejak kapan Tama gak tanggung jawab sama adik-adiknya Tama? Nanti biar Tama yang anter abang, bareng Pram juga." Tama menjeda kalimatnya. "Tama minta tolong sekali sama Ayah dan Bunda, tolong untuk kasih dukungan ke abang. Abang udah terlalu banyak dapet luka dari kalian, jadi Tama minta buat Ayah dan Bunda terus ada disisi abang. Jangan kecewain abang." Tama menatap mata Ayahnya, ada sedikit kekesalab disana.

Ayah menundukkan kepalanya agar sejajar dengan Tama, tangannya mencengkram tengkuk leher Tama. "Gak usah ngajarin Ayah dan Bunda. Kamu gak tau apa-apa!"

"Ayah sama Bunda yang gak tau apa-apa, kalian gak tau tentang semua yang dirasakan abang, adek ataupun aku." Tama tak kalah ngotot. "Tama cuman minta tolong untuk ada disisi abang sama adik. Tama gak perlu. Tapi adik-adiknya Tama sangat butuh," Tama sedikit meringis merasakan cengkraman Ayahnya yang semakin kuat.

Ayah melepaskan cengkramannya, "Nanti supir yang antar kalian. Ayah sama Bunda pasti datang." Ayah berlalu meninggalkan Tama.

Tama menutup pintu kamarnya, ia baringkan kembali tubuhnya. Menatap langit-langit kamar, pikirannya berjalan kemana-mana.

Detik berikutnya Tama bangkit dari kasurnya dan keluar kamar. Ia menghampiri kamar kedua adiknya. Ia buka pintu kamar itu, terlihat kedua adik-adiknya yang tertidur pulas. Ia dekati kedua adiknya, ia usap lembut pipinya. Tama kembali terbayang semua ucapan Ayahnya barusan.

"Abang sama adek kalau gak ada kakak gimana?" Lirih Tama pelan, takut membangunkan adik-adiknya.

"Gak Mau!!!" Ucap kedua adiknya secara tiba-tiba.

Tama terkejut ketika adik-adiknya itu bangun dan langsung membawa Tama dalam dekapan mereka. Tama tersenyum dan membalas pelukan mereka.

"Apaan sih kakak ngomongnya begitu?!" Ucap Pram yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Abang gak suka dengernya, kak Tama harus sama kita. Selamanya!" Titah Gandy.

Tama terkekeh, "Iya-iya, maaf ya abang, maaf ya adek. Kakak bakal sama kalian terus kok." Tama memperhatikan kedua adiknya. "Jangan nangis dong, masa bangun tidur langsung nangis?" Tama mencubit kedua pipi adik-adiknya.

Gandy dan Pram membaringkan kembali tubuhnya dikasur. Tentu saja Tama masih dalam dekapan mereka. Sayang sekali mereka dengan kakaknya yang memiliki mata teduh itu.

"Abang, hari ini jadwal pertama abang kontrol. Nanti sama kakak ya berangkatnya, Ayah sama Bunda nanti nyusul." Tama menatap Gandy.

"Adek mau ikut!" Pram tiba-tiba bersuara. Tama menganggukkan kepalanya setuju.

"Kakak bakal temenin abang sampe masuk keruangan dokternya kan? Abang takut." Gandy menundukkan kepalanya.

Tama mengangkat dagu Gandy hingga netra mereka bertemu. "Kakak temani sampai abang sembuh." Ucap Tama pelan.

Gandy kembali memeluk Tama dengan erat. Air matanya mungkin sudah menetes.

Kakak janji kan? Kakak gak bohong
Semoga kakak bisa menepati janji itu.

Keluarga PraharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang