Part XI: Night Drive

36 6 1
                                    

Sejujurnya gue tidak berniat ke rumah Rere malam ini, hari ini gue sudah cukup sibuk dengan banyaknya project dari kantor gue yang baru. Tapi apa boleh buat kalau ibu negara sudah bertitah untuk gue harus mengantarkan batik pesanan Mami yang akan diberikan pada eyang Rere di Semarang. Karena kedua orang tua Rere itu akan pergi ke Semarang besok pagi, sangat pagi, with morning flight, jadi malam ini juga batik ini sudah harus ada di tangan Mami.

Alhasil sodara, gue disandera paksa -ya jelas paksa karena gue tidak suka rela, oleh Mauren Tedjasukmana. Entah mau dikatakan kesialan atau tidak, saat gue masuk ke area family room untuk mencari keberadaan Mami, yang gue lihat justru perempuan yang tetap cantik dimata gue meski rambutnya diikat asal dan wajahnya yang terlihat kusut penuh tekanan. Entah dia sudah mandi atau belum sepulang dari sekolah tadi.

"Kenapa lo?" Gue mendekatinya yang entah sadar akan kedatangan gue atau tidak karena matanya terus tertuju pada selembar kertas ditangannya.

"Sekarang gue tau kenapa guru-guru di sekolah negeri lebih suka menguji muridnya dengan soal pilihan ganda dan bukan essay." Dengan matanya yang berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya saat dia mendongakkan kepalanya kearah gue yang duduk di sofa sampingnya sedangkan dia duduk lesehan–ah Rere terlihat sangat manis, damn gue kehilangan fokus.

"Kenapa?"

"Karena kalau soalnya essay bisa butuh waktu seabad buat ngoreksinya, Algaaa... gue pusing." Rere melemparkan kertas ditangannya kemudian menutup kedua matanya. "Gue ngajar di lima kelas, dan satu kelasnya berisi lebih dari 30 siswa. Jadi gue harus baca lebih dari 150 halaman HVS tugas paper yang gue perintahkan."

Come on, ada apa dengan diri gue. Melihat Rere yang mengeluh seperti itu kenapa gue jadi tersenyum bodoh begini. Damn, she is too cute. Fokus Alga, fokus!

"Ya memang di sekolah umum negeri lo akan ngajar siswa sebanyak itu, Re."

"Ga, ini bukan pelajaran seni yang butuh ratusan orang untuk memproduksi drama musical. Meng-handle murid sebanyak itu untuk pelajaran eksak is another thing. Harusnya nggak gini dong."

"Terus lo mau gimana?"

Rere hanya menghela napas lelah, kepalanya diletakkan begitu saja di atas meja. "Gue makin bingung harus mulai dari mana, Ga."

"Takes it slow, Re. Lo bisa mulai journaling lagi. Menulis satu demi satu problem yang lo hadapi dan hal-hal yang lo syukuri, sambil lo menikmati moment lo jadi guru sekarang. Lo nggak harus nemuin solusinya sekarang kok."

Tumbuh bersama Rere sejak kecil membuat gue sangat hapal perangai perempuan satu ini. Dia tipikal perempuan kota yang ingin segala hal berjalan dengan cepat, sat set das des kalo kata Ibu. Slow living akan langsung bentrok jika dipadukan dengan Rere. Tapi entah kenapa dia bisa cocok dengan Ibu yang sangat kalem, sabar nan lemah lembut.

"Lo bener, Ga. Gue rasa emang gue yang terlalu terburu-buru. Sampai yang gue pikirkan adalah mencari cara yang paling instan. Padahal yang sedang gue hadapi sekarang sungguh complicated."

"Satu-satunya hal instan yang paling enak di muka bumi ini cuma satu, Re."

"Mie instan." Jawabnya bebarengan dengan kepalanya yang kembali tegak, 100% membuat tangan gue yang tadinya mengusap kepalanya menjadi kaget. Ia mengambil kembali satu lembar HVS yang belum selesai dibacanya. Satu tangannya memegang bolpen, membubuhkan tulisan excellent dengan emot senyum dibagian atas, kemudian menunjukkannya ke gue dengan senyumnya yang telah kembali. Rere dan moodnya yang gampang sekali berubah. Ah, gue bisa gila. Makin kesini rasanya makin sulit buat gue menghadapi Rere. Apalagi ucapan Rere yang penuh arti sewaktu camping di Bogor masih betah bersarang di pikiran gue.

Okay, We're Married on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang