.....
Keesokan harinya keadaan Alesha masih belum baik. Gadis itu malah terserang demam 39,7°C. Saat pagi hari Anya membangunkan Alesha karena ia tak kunjung turun untuk sarapan. Setelah dicek ke dalam kamarnya, Alesha sudah meringkuk kedinginan dan menggigil. Seketika rumah Hoesen yang biasanya sepi itu ramai karena teriakan Anya yang panik memanggil Stevan.
Untung saja Stevan, Ayah Alesha belum berangkat ke rumah sakit untuk bekerja. Begitu juga dengan ketiga anak lelakinya. Stevan dengan sigap dan profesionalnya sebagai dokter senior langsung memeriksa putri satu satunya itu. Rasa khawatirnya tak dapat dibohongi. Sudah sejak lama Stevan merawat Alesha yang sakit.
Anya telah menyiapkan kompresan, selembar kain handuk kecil dicelupkan ke air kemudian diperas dan diletakan di dahi Alesha.
"Tubuhnya sedang beradaptasi. Ini masih wajar." Kata Stevan.
Gio masuk membawa nampan berisi bubur instan yang telah dibuatnya dan segelas air putih serta ada piring kecil berisi beberapa obat-obatan. Keberuntungan jika ada anggota keluarga yang berprofesi dokter.
"Alesha, wake up..." Gio membangunkan Alesha dengan lembut. Turut merasa sedih di hari kedua adiknya datang malah harus terbaring di kasur kamar dengan keadaan demam. Tapi ia sadar, tubuh adiknya butuh adaptasi di tempat baru.
Perlahan mata Alesha terbuka. Ia merasakan panas saat membuka matanya dan pusing mendera kepalanya. Gio membantu Alesha untuk memposisikan adiknya setengah duduk, dibelakang punggungnya ia berikan beberapa bantal yang mengganjal.
"Sorry to bother you all." Ucap Alesha lirih.
"What you say, nothing is a bother." Ucap Stevan tidak menyukai ucapan putrinya.
"Forget it, Ales makan dulu ya. Kakak suapi." Ucap Gio sudah siap dengan menyendok bubur di mangkuk.
"Ales?" Tanya Alesha sembari tersenyum, ia ingat Ales adalah panggilan kesayangan dari kedua kakaknya.
"Aku selalu menunggu waktu ini sejak lama, dimana aku dapat memanggil adik kecilku dengan panggilan kesayangan, Ales."
Perkataan Gio membuat Alesha tertawa kecil. Alesha dapat membayangkan betapa lucunya dia dan kedua kakaknya yang suka menggodanya menggunakan nama Ales. Dulu Alesha kecil akan marah saat dipanggil Ales oleh kedua kakaknya.
"Oh, you laugh? I did it. Melihatmu lemas seperti tadi membuatku khawatir Ales."
"Stop it, jangan panggil Ales lagi kakak."
"Okay, i have to go. See you later at dinner time Ales." Ucap Gio sembari mengelus kepala Alesha dengan sayang.
Satu persatu anggota keluarga Hoesen pergi untuk bekerja. Di rumah itu tinggalah Alesha sendiri. Jika saja dia sudah sehat, ia pasti akan berjalan jalan atau bersepedah sendirian menikmati suasana baru. Badanya sudah lebih enakan dari tadi pagi. Suhu tubuhnya sudah turun. Stevan, ayahnya selalu mengingatkan Alesha untuk cek suhu dalam jangka waktu tertentu. Alesha pun mematuhi saja. Meskipun sudah mendingan, Alesha masih merasa lemas dan pusing.
Alesha melihat keadaan luar rumah lewat jendela dari kamarnya. Terlihat terdapat mobil milik tetangga depan rumahnya yang memasuki halaman rumah. Kemudian ia melihat seorang laki-laki dipapah keluar dari mobil. Dapat terlihat jika salah satu kakinya sedang cedera. Lelaki itu pun berjalan menggunakan alat bantu meyerupai tongkat, entah apa sebutannya Alesha tidak tahu.
Bangun dari kamarnya, ia melangkah perlahan menuju dapur. Kepalanya masih pusing, ia harus tetap waspada dengan langkahnya saat turun dari tangga. Ia mengambil beberapa keping biskuit dan cookies di piring. Kemudian ia bawa ke ruang keluarga untuk menonton TV. Dikamarnya belum dipasang televisi, sama seperti kamar saudara-saudaranya yang lain. Sengaja, agar momen kumpul antara anggota keluarga tetap terlaksana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Offside Cinta di Negeri Kincir Angin
Teen Fiction"Kalau di duniamu, cinta kita menggambarkan situasi offside, artinya tidak sah." Kisah cinta yang tidak mudah antara Alesha Bianca Hoesen perempuan blasteran Indo-Belanda dengan Marvin Frans Eijden, seorang bintang sepak bola asal Negara Belanda. �...