Selepas lulus dari SMA aku masih saja di rumah. Kondisi desaku yang jauh dari perkembangan jaman membuat suasananya masih saja seperti dulu, sama sejak aku lahir. Lapangan pekerjaan disini juga terbatas, makanya itu banyak sekali teman-temanku yang setelah lulus sekolah langsung merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Paling banyak mereka disana juga jadi tukang bangunan atau buruh di pabrik. Sedangkan aku memilih untuk tetap tinggal di desa merawat ladang peninggalan almarhum bapak.
Sebagai anak bungsu dan anak laki satu-satunya membuat aku tak bisa jauh dari ibuku. Kalau semalam saja aku jauh dari ibuku pasti sudah tentu aku tak bisa tidur. Bahkan sampai saat aku lulus SMA saja kamarku masih tetap jadi satu dengan kamar ibuku. Memang ada dua kamar lain, tapi semuanya ditempati oleh dua kakak perempuanku.
Namaku Angga, dan ini adalah ceritaku yang kurasakan penuh dengan keberuntungan dalam hidupku.
Kakak pertamaku bernama Nastika, atau biasa dipanggil Tika oleh keluarga kami dan orang-orang di desaku. Dia sekarang bekerja sebagai penjaga toko di kecamatan sebelah yang jauhnya sekitar 8 kilometer dari rumahku. Untungnya di rumah ada motor peninggalan bapak yang jadi angkutan untuk mbak Tika pergi kerja.
Kakakku yang kedua perempuan juga, namanya Dina. Umurnya beda 2 tahun dengan kak Tika dan beda 2 tahun juga denganku. Selepas lulus SMA dia masih saja tinggal bersama kami tanpa melakukan apa-apa selain membantu ibuku di rumah. Entah kenapa dia tak bekerja seperti kak Tika, kalau itu mungkin karena kak Dina tergolong gadis yang pemalas menurutku. Dia sukanya berdiam diri di kamar seharian, kalau bangun cuma ke dapur makan atau pergi mandi saja. Selebihnya dia senang bermalas-malasan di kamar.
Karena tidak sekolah lagi, setiap harinya aku pergi ke ladang membantu ibuku mengolah lahan peninggalan bapak. Memang tanahnya tak seluas milik warga yang lainnya tapi hasilnya cukup untuk membiayai aku dan mbak Dina sampai lulus sekolah. Memang ibuku janda dan tak punya penghasilan lain kecuali hasil garapan lahan milik kami.
Siang hari selepas menggarap ladang biasanya aku pulang untuk makan. Untungnya tanaman di ladang adalah palawija yang tak butuh perhatian terus-menerus seperti padi atau sayur-sayuran. Jadinya aku bisa santai di rumah setelah selesai merapikan beberapa lajur tanaman yang rusak karena hewan liar. Di desaku ini masih banyak babi hutan yang sering masuk ke ladang dan merusak tanaman. Itulah kenapa kita harus rajin melihat tanaman yang rusak supayan bisa panen.
“Banyak yang rusak ya Ngga?” tanya ibuku begitu aku datang dan mencuci kakiku di pinggir sumur belakang rumah.
“gak kok bu... ga ada yang rusak, mungkin hewan yang masuk belum sampai di ladang kita” balasku sambil terus mencuci kaki dan cangkul yang tadi kubawa.
“Walahh... ya syukur kalau begitu.. ladangnya kang Wanto kemaren habis dimakan sama celeng hutan lho Ngga..”
“Ohh.. ya memang nanam sayuran, pantas jadi incaran celeng” balasku melihat ke arah ibuku.
Nampak ibuku tengah menungguku di depan pintu dapur yang berbatasan dengan sumur. Sekilas kuperhatikan nampak keringat membasahi tubuh ibuku yang siang itu hanya memakai celana dalam saja. Kedua susunya tergantung bebas begitu saja tanpa ditutupi apa-apa. Tentu saja hal itu sudah sejak kecil aku menemuinya karena memang kebiasaan perempuan di rumahku memang begitu semuanya. Dari ibuku sampai kakak-kakakku juga melakukan hal yang sama kalau siang hari seperti ini.
Kebiasaan di desaku ini juga tak jauh beda dengan apa yang ibuku lakukan. Sudah jadi hal yang wajar melihat perempuan di desaku kalau di rumah cuma memakai Bh dan celana dalam saja. Paling kalau keluar rumah baru mereka memakai kain kemben untuk menutupi bagian bawah tubuh. Tak ada yang aneh menurutku, karena sedari kecil sampai sekarang aku sudah terlalu sering melihatnya.