Pagi menjelang di desaku. Suara burung dan kokok ayam menyambut awal hari itu dengan cerah dan ceria. Bau hangus orang membakar batu bata mulai menyeruak masuk di indera penciumanku meski aku tahu tempatnya jauh sekali dari rumahku. Memang pagi seperti ini sudah biasa bagiku, dan aku ingin terus mengalaminya sampai aku tua di desa ini. Meski aku tak tahu takdir apa yang akan terjadi padaku tapi setidaknya aku punya cita-cita dan keinginan.Saat aku bangun kulihat ibuku sudah tak ada lagi bersamaku. Itu sudah setiap hari terjadi sebenarnya. Sehabis subuh ibuku pasti sudah siap di dapur untuk masak dan membuatkan aku kopi. Masih dengan rasa malas untuk bangun, aku tetap memaksa diriku untuk duduk dan menyadarkan pikiranku. Sejenak kemudian aku turun dan mengambil pakaianku, sebenarnya lebih tepatnya hanya celana dalamku saja yang aku ambil dan kupakai. Selebihnya pakaianku masih tertumpuk di bawah tempat tidur seperti tadi malam.
“Bu.. masak apa hari ini?” tanyaku begitu kutemui ibuku sedang masak.
“Lho ya gak masak.. cuma buat sarapan saja, habis ini kita ke rumah pamanmu”
“Ohh iya bener.. lha itu yang di panci apa?” tunjukku ke arah panci yang di atas kompor.
“ya itu sayur yang kemarin.. masih bisa dimakan buat sarapan”
“Walahh.. apa mas Aryo mau makan masakan itu?”
“mangkanya ibu goreng telur.. buat lauknya”
Aku masih duduk melihat ibuku menyiapkan sarapan untuk kami. Meski hanya memakai Bh dan celana dalam saja tapi ibuku dengan santainya menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak berpikiran aneh sedikitpun karen aku memang sudah terbiasa melihat ibuku seperti itu di setiap harinya. Entah nanti kalau mas Aryo melihatnya akan seperti apa dalam pikirannya aku tak peduli.
“Lho kok masak bu? Katanya habis ini mau berangkat?” tiba-tiba mbak Tika muncul ke dapur.
Sekilas kulihat tubuh mbak Tika yang hanya memakai celana dalam biru muda itu nampak mulai berisi. Tubuhnya tidak lagi kurus seperti pas masih perawan dulu. Mungkin karena makanan di kota lebih banyak gizinya jadi tubuhnya semakin berisi juga.
“Mbak.. mbak Tika apa sudah hamil ya?” celetukku kemudian.
“Belum.. kenapa Ngga?”
“Ya gapapa.. kok badannya jadi tambah berisi” ucapku sambil menyeruput kopiku.
“Oohhh... ya mungkin cocok susunya, hihihi..”
“Susu apa sih mbak? Memang sama mas Aryo dikasih minum susu terus ya?”
“Iya dong dekk.. hihihi..”
“Walahh.. pantesan..”
“Eh, Tika.. kamu buruan mandi dulu.. habis itu biar Angga sama Dina.. nanti mereka kesiangan lho” ujar ibuku mengingatkan kakakku.
“Ehh, iya bu.. aku mau ke kamar mandi ini”
Selepas itu mbak Tika langsung membawa handuknya ke kamar mandi. Aku dan ibuku kembali berdua di dapur. Kuteruskan saja minum kopi sambil sesekali membantu ibuku menyiapkan tempat untuk hasil masakan.
“Angga.. coba kamu bangunkan Dina.. suruh kakakmu itu lekas mandi”
“Hemm, iya bu..”
Kuletakkan gelas kopi di meja dapur lalu aku berjalan sebentar menuju kamar mbak Dina. Tanpa aku ketuk langsung saja kubuka pintu kamarnya. Memang di rumah kami tak ada kebiasaan mengetuk pintu kamar.
“Mbakk.... mbak Dinaa... bangun... sudah siang ini” ucapku begitu membuka pintu kamar.
“Hooooaaahhhhmmmm.. iyaa..” balasnya, tapi dia tetap berbaring di tempat tidur.