Sejak malam dimana aku mengakui semua perbuatanku dengan mbak Tika, kehidupan kami malah nampak biasa saja. Semuanya masih saja melakukan aktifitas seperti biasa. Tak ada yang berubah, kecuali mas Aryo dan mbak Tika yang malah terlihat lebih mesra dan romantis. Entahlah, semua kejadian ini seakan bagi mereka malah menambah kehangatan dalam berumah-tangga. Aku merasa bersyukur karena aku masih bisa melihat mereka hidup bersama.
Mas Aryo itu sepertinya memang orangnya mudah sekali menerima keadaan, tapi dia tak berhenti disitu, dia malah berusaha adaptasi dan menguasai semuanya. Aku, mbak Tika, mas Aryo dan mbak Vina sudah sama-sama tahu apa yang terjadi sesungguhnya dan memilih untuk menjalaninya sebaik mungkin. Aku sebenarnya tak mengerti jalan pikiran mereka, tapi yang jelas semuanya nampak biasa saja sekarang ini.
Hari ini aku sudah mulai mengurus pendaftaran masuk ke sebuah kampus swasta. Memang kampusnya tak terkenal tapi jurusan yang aku pilih kebetulan ada disitu. Lokasinya juga tak jauh dari rumah dan ternyata anak perumahan sebelah yang pernah aku bantu membuka pintu dulu kuliah juga disitu. Jadilah setiap hari selama aku mengurus pendaftaranku dibantu olehnya. Bahkan setiap hari dia selalu singgah di depan rumah untuk menjemputku. Jadilah kami sudah seperti teman lama karena memang kami merasa cocok dan saling percaya.
Siang itu aku baru saja datang dari kampus setelah selesai registrasi mahasiswa baru. Dendi yang mengantarku kebetulan ikut masuk ke dalam rumah, karena dia biasanya setelah menurunkan aku di depan rumah langsung kabur pulang. Begitu kami sampai di rumah kulihat mas Aryo sudah siap dengan barang-barangnya. Rupanya dia mau pergi entah ke suatu tempat.
“Loh, kok tumben gak ke kantor mas?” tanyaku heran melihat mas Aryo yang sudah rapi tapi memakai baju biasa.
“Iya Ngga.. mas ada pelatihan dua hari di luar kota.. kamu di rumah jaga semuanya ya” balas mas Aryo menatapku penuh rasa percaya.
“Ohh... iya mas.. pastilah aku jaga”
Sejenak aku duduk, mbak Tika kemudian keluar dari dalam kamar sambil membawa sebuah tas kecil untuk diberikan pada suaminya. Siang itu dia kebetulan memakai daster terusan motif bunga-bunga. Sudah barang tentu di balik daster itu dia sudah tak memakai apa-apa lagi. Itulah kebiasaan kakak perempuanku yang hanya keluarga kami yang tahu.
“Naik apa sih mas Aryo mbak?” tanyaku.
“Dijemput dari kantor.. bentar lagi paling udah kesini” balas mbak Tika yang kemudian jalan ke depan rumah menemani suaminya.
Dendi yang duduk di sebelahku santai saja. Dia kulihat sedang membuka Hpnya dan membalas pesan yang masuk. Selepas itu dia kemudian menyentuh pundakku.
“Bro.. lu ntar malem bisa ke rumah kan? Ada penting nih bro..” ucapnya.
“Waduh... gak bisa kayaknya Den.. kalo aku pergi ntar kakakku ga ada temennya dong” balasku.
“Bentar aja.. paling sejam lah... mau ada tamu ke rumah”