4. Empat

1K 152 25
                                    

Juna menatap berbagai tumpukan buah di atas meja. Tadi ia menyuruh karyawannya untuk membeli buah-buahan. Hingga menyuruh si karyawan untuk mengupasnya sekalian. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju sofa. Memakan berbagai buah tersebut.

Kata-kata Sasha terus terngiang. Apa benar cairannya seburuk itu? Apa hanya miliknya saja? Atau milik semua pria juga sama? Rasanya Juna merasa terhina. Tak pernah ia merasa sehina ini. Baru pertama kali, orang menghina sperma miliknya. Ya, karena memang baru Sasha yang pertama mencicipinya.

Juna itu rajin berolah raga. Makannya juga teratur, memang ia peminum dan perokok. Tapi apa seberpengaruh itu? Duh, ia takut kualitas benihnya jelek. Cepat-cepat ia memakan berbagai buah di depannya. Sebaiknya Juna bertanya apa buah kesukaan Sasha. Agar wanita itu menelan cairah tersebut dengan nikmat. Tunggu dulu ... ia berencana melakukannya lagi?

Astaga, Juna harus ingat jika dia seorang penyuka sesama jenis.

Setelah kejadian aneh bin ajaib di kamar, Sasha tak menghubunginya lagi. Anehnya, Juna juga tak merindukan Bagus. Mendadak ia merasa Bagus sama seperti pria lain, tidak istimewa.

Justru Juna malah terbayang-bayang buah dada dan suara lenguhan Sasha. Baik, dia menjadi mesum sekarang ini. Pria itu tidak lupa rasanya meremas dua gunung kembar tersebut. Kecil, sih. Tapi Juna suka, nanti akan dia besarkan—eh.

Notifikasi pesan milik Juna muncul. Tertera nama sang ibu. Juna segera membukanya. Ternyata Tari mengirim fotonya bersama Sasha. Ia berkata sempat mampir ke tempat kerja milik Sasha. Ada pula potret Sasha yang tengah melayani pelanggan, senyuman wanita itu terlihat tulus. Juna terus memperbesar foto untuk melihat Sasha.

"FUCK!"

Celana Juna terasa sesak. Pedangnya bangun hanya karena melihat foto Sasha. Sialan, ini masih jam kerja. Sasha harus bertanggung jawab. Juna tak akan pernah bermain solo setelah menikah nanti. Bayang-bayang disaat si wanita menghisap miliknya terus terputar. Juna segera menuju kamar mandi. Dengan membawa ponselnya.

***

"Mek, beneran elo udah diperkosa sama Juna? Ceritain, dong. Katanya sakit ya kalau pertama kali ditusuk."

Dua wanita mendesis itu telah selesai bekerja, mereka merapikan barang di ruang penyimpanan. Bersiap untuk pulang. Enaknya, sebentar lagi Sasha akan berhenti bekerja. Dia akan menjadi nyonya, ha ha ha.

"Kecilin suara lo, Tolol." Sasha menoyor kepala Jeni.

"Kagak masuk, sih. Cuma gesek-gesek aja kayak ATM. Gue pengennya digasak setelah nikah. Lagian bentar lagi juga. Ntar lo jadi pengiring penganten, deh. Gue juga nikah sekali doang, abis itu nggak minat lagi."

Jeni mencibir. "Halah, sok-sokan nunggu sah. Pasti lo sange duluan, kan? Ngaku lo! Dari pertama liat Juna, udah ngeliat asetnya terus."

Memang. Dari pertama bertemu, Sasha hanya fokus mengamati bagian itu saja. Menebak ukuran milik Juna. Kalau Bagus sih tidak usah ditebak, masuk hidung mungkin.

"Jujur, iya. Beneran gedong, Say. Apalagi pas berdiri—"

Jeni menghentikan langkah kakinya, hingga Sasha menabrak tubuhnya. Berdiri? Ini yang berdiri asetnya juna? Iya, kan? Masa rambut ketiaknya yang berdiri.

"Bentar! Torpedonya berdiri? Ngaceng gitu? Kok bisa? Katanya belok! Wah, ini dia suka sama lo berarti."

"Ya, semoga aja sih. Berarti servis gue mantep. Biar dia keliyengan, susah move on dari gue."

Kedua wanita itu tertawa terbahak-bahak. Namun berhenti saat ada perempuan paruh baya yang menghampiri mereka. Sontak tubuh keduanya menjadi kaku. Mode aktris papan atas segera aktif.

Love Options Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang