Pertanyaan

12 0 0
                                    

Malam itu, Ryan duduk di bangku taman yang sudah menjadi tempat favoritnya. Di sana, di bawah lampu taman yang temaram, dia sering kali membayangkan masa depan bersama Lisa. Selama ini, dia menyimpan perasaan yang begitu dalam terhadapnya, meski sadar bahwa mungkin rasa itu tidak akan pernah tersampaikan dengan baik. Namun, dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus berharap.

Lisa, dengan senyum manis dan tawa yang lembut, selalu berhasil membuat dunia Ryan terasa lebih hidup. Dia adalah sinar di tengah-tengah kekosongan hidup Ryan. Setiap kali mereka bersama, Ryan merasakan degup jantungnya berpacu. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Hari itu, Lisa menghubungi Ryan dan memintanya bertemu di taman seperti biasa. Ryan menyetujui, meski di sudut hatinya, ada firasat yang tidak nyaman. Dia menunggu di bangku, memikirkan kata-kata yang akan dia ucapkan malam itu. Mungkin ini saatnya untuk mengakui perasaannya, untuk memberanikan diri mengatakan yang selama ini dia pendam.

Beberapa menit kemudian, Lisa tiba. Ia terlihat cantik seperti biasa, dengan senyuman yang Ryan kenal begitu baik. Tapi ada kesan berbeda di wajahnya, sebuah kegelisahan yang menyelinap di balik senyuman itu.

"Ryan," kata Lisa, sambil duduk di sampingnya. Suaranya lembut, tapi mengandung kegetiran yang tak bisa Ryan abaikan. "Aku ingin bilang sesuatu."

Ryan terdiam, menahan napas. "Apa itu, Lis?"

Lisa menunduk sejenak, sebelum akhirnya berbicara. "Aku... Aku sudah lama ingin mengatakan ini. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku selalu bisa bergantung padamu, dan aku benar-benar bersyukur untuk itu."

"Lisa..." Ryan merasa sesuatu mulai retak di dalam hatinya. Perasaan cemas itu semakin kuat.

"Tapi... aku tidak ingin membuatmu salah paham," Lisa melanjutkan, suara mulai bergetar. "Aku sudah jatuh cinta pada seseorang."

Waktu terasa berhenti sejenak bagi Ryan. Dunia di sekitarnya memudar, hanya tersisa suara Lisa yang menggema di kepalanya. Jatuh cinta pada seseorang? Bukan dirinya?

"Siapa?" Ryan bertanya, meski hatinya sudah tahu jawabannya.

"Namanya Daniel. Dia... sudah lama aku sukai." Lisa menatap Ryan dengan mata yang jernih, seakan-akan meminta pengertian. "Aku harap kamu bisa mengerti."

Ryan tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa seperti paku yang menusuk di dalam hatinya. "Tentu. Aku senang kalau kamu bahagia, Lis."

Namun di dalam dirinya, kata-kata itu begitu menyakitkan. Semua harapan yang ia bangun selama ini seketika hancur, bagaikan kaca yang pecah berkeping-keping. Cinta yang ia pupuk dengan hati-hati selama bertahun-tahun ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Lisa tidak pernah melihatnya lebih dari seorang sahabat. Dan lebih menyakitkan lagi, Lisa telah menemukan cinta sejatinya—bukan dirinya.

Lisa tersenyum lega. "Terima kasih, Ryan. Aku tahu kamu akan mengerti."

Mereka berbicara selama beberapa menit lagi, meski bagi Ryan, semua terasa seperti bayangan. Dia hanya setengah mendengarkan, karena hatinya kini tenggelam dalam keheningan yang dingin. Setelah Lisa pergi, Ryan tetap duduk di sana, sendirian di bawah langit malam yang kelam.

Air mata yang dia tahan selama perbincangan tadi akhirnya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Dia menengadah ke langit, mencoba menahan rasa sakit yang perlahan membanjiri seluruh tubuhnya. Perasaan cinta itu tidak hilang, tapi kini terasa kosong, hampa. Apa yang dulu memberi Ryan harapan, kini menjadi beban yang begitu berat untuk ia bawa.

"Kenapa harus begini?" gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam. "Kenapa aku tidak bisa menjadi orang yang dia cintai?"

Malam itu, Ryan belajar bahwa tidak semua cinta akan berakhir bahagia. Terkadang, cinta hanya akan menjadi sebuah kenangan pahit yang tergores dalam hati, meninggalkan luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh.

Dan untuk Ryan, cinta itu akan selalu menjadi Lisa—meski Lisa tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.

Dirinya lebih baik dari aku?Where stories live. Discover now