"Frey!"
Langkah Freya terhenti mendengar suara familiar itu. Ia menoleh dan melihat Mackenzie, mengenakan kaos putih yang sedikit basah dan celana pendek abu-abu. Sepatu kets putihnya kotor akibat hujan, namun senyum di wajahnya membuatnya tampak lebih menarik.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Freya, kebingungan saat Mackenzie datang tiba-tiba dengan payung di tangannya.
Mackenzie menggelengkan kepala. "Gak ngapa-ngapain. Tadi disuruh beli micin di warung Koh Aliam, tapi udah tutup. Pas aku liat kamu hujan-hujanan, jadi aku mutusin buat nyamperin," jawabnya, nada suaranya ringan dan penuh perhatian.
Freya terkejut, matanya berbinar. "Makasih," balasnya singkat, tersenyum meski hujan masih mengguyur.
Melihat senyum Freya, hati Mackenzie terasa hangat. Ia mengajak Freya melanjutkan perjalanan, memegang payung agar Freya tetap kering. Jalanan tergenang air, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Mackenzie tak mempermasalahkan sepatu ketsnya yang kini penuh lumpur; yang terpenting baginya adalah Freya tidak basah.
Freya ikut memegang payung, berusaha agar mereka berdua tetap kering. Setelah beberapa saat, ia mengisyaratkan agar Mackenzie melepaskan genggamannya. "Kamu lepas aja, biar aku yang pegang. Kayaknya tanganmu pegel," ujarnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan.
Setelah beberapa kali didesak, Mackenzie mengalah. "Baiklah, tapi hati-hati, ya," katanya dengan nada khawatir.
"Kamu kok belum pulang?" tanya Mackenzie, suaranya berusaha keras melawan suara hujan.
"Hah? Apa?" Freya bingung.
"Kamu kok belum pulang?" ulang Mackenzie lebih jelas.
"Oo.. Aku habis latihan anggar. Tadi ada Oes sama Jade juga," jawab Freya, mengenang serunya latihan.
Mackenzie mengangguk, semangatnya terbangkit. "Seru, ya? Latihan lagi besok? Atau ada pertandingan?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap hidup.
"Iya, besok ada pertandingan. Kalau kamu mau datang, boleh kok!" jawab Freya, senyumnya merekah cerah.
Mackenzie membalas senyumnya, merasa senang. Di balik derasnya hujan, mereka menemukan momen hangat, berbagi cerita dan tawa.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka memutuskan untuk menggunakan bis. Meskipun malam sudah larut, ini adalah bis terakhir. Mereka segera menaikinya, dan dengan sigap, Mackenzie membayar tiket sebelum Freya sempat meraih uangnya.
"Sekali lagi makasih. Besok aku ganti, ya," ujar Freya, matanya berbinar.
"Gausah. Anggap saja itu imbalanku karena kamu udah bantuin aku waktu itu," balas Mackenzie, senyum tulus mengembang.
Freya merasa lega. Ia duduk di samping jendela, menatap hujan yang mulai mereda, mengingat momen-momen seru yang mereka bagi.
Setelah beberapa menit perjalanan, bis berhenti di depan rumah Freya. Mackenzie menutup payungnya dan melangkah keluar, memperhatikan Freya yang tampak ragu.
"Makasih ya, Mackenzie," ucap Freya dengan suara lembut, matanya bersinar.
"Panggil Ken aja," balasnya, berusaha menciptakan suasana yang lebih akrab.
"Makasih, Ken," Freya mengulangi namanya, senyum hangat menghiasi wajahnya.
Mackenzie tersenyum, senyumnya selalu bisa membuat Freya merasa lebih baik. "Sama-sama! Jangan ragu buat minta bantuan lagi, ya. Aku selalu siap."
Freya merasa senang mendengar itu. Sebelum ia masuk, ia menoleh lagi. "Aku seneng bisa ngobrol sama kamu hari ini. Hujan jadi terasa lebih ringan."
"Jangan khawatir, hujan atau enggak, aku seneng bisa nemenin," jawab Mackenzie tulus, tatapannya menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Teen FictionSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...