18 April, Kamis
Taufan duduk. Isi netranya tak dapat diartikan. Pikirannya kacau bersamaan dengan hatinya yang kian rancau.
Hari ini adalah lima minggu sejak kesadarannya pulih, dan ia telah memutuskan untuk rawat jalan — tentu saja dengan izin dari dokter. Lebih baik baginya seperti ini. Ia muak bersama seseorang yang ia kira orang asing selama dua minggu lebih. Menyebalkan.
Dari ekor mata Taufan melirik ke ujung meja di sampingnya, sebuah liontin yang terbuka, menampilkan sebuah foto. Taufan tak tau pasti, tapi mungkin itu adalah ia waktu masih kecil.
Yang pasti. Benda itu diberikan Kuputeri saat ia menginjak usia 12 tahun. Lalu, kakinya terangkat begitu pelan, menarik liontin itu ke dekat mulutnya dan menggigit si liontin. Taufan memasukan kalung kecil itu ke saku bajunya.
Taufan berdiri perlahan, masih belum terbiasa dengan dua bagian yang hilang dari tubuhnya. Masih copak-capik melewati bingkai pintu, berjalan menuju ruang utama. Jujur, keseimbangannya terganggu sejak amputasi beberapa minggu lalu.
"Mbak, masih lama?" tanyanya. Ia meniti penjuru ruangan yang hampir dipenuhi kardus-kardus ukuran sedang, menghela napas. Kenapa juga tua bangka itu bersikeras memaksanya tinggal di rumah berlantai tiga kalau di sini saja ia sudah nyaman?
Tiana Putri, atau biasa dipanggil Mbak Tian — meski umurnya yang telah memasuki kepala lima, ia menoleh. "Tinggal sedikit ini, Nduk. Kenapa? Perlu sesuatu?" Taufan menggeleng, enggan menjawab.
Setelahnya, tokoh utama kita berjalan keluar, hendak mencari udara segar. Ia masih kalut, ingin menangis, tapi tidak boleh. Tidak adil baginya. Tidak adil.
Kalau boleh, ia ingin protes, ingin memberontak. Namun, sayangnya ia tak mampu, tak bisa. Rahangnya mengeras emosi, menampakkan urat-uratnya. Matanya panas, tapi lagi, ia tak mau menangis. Air mata itu tertahan di pelupuk, berhenti mengalir, menolak terjun membasahi pipi.
Berhenti di depan rumah, tak tau mau ke mana, hingga akhirnya kakinya membawa ia ke dalam mobil. Malas melangkah menanggapi tatapan mata orang-orang. Tatapan yang ... aneh. Dan menakutkan.
Tatapan yang juga lebih menguras emosi, dari pada membuka dan menutup pintu mobil. Helaan napas keluar dari rongga-rongga mulutnya saat ia berhasil duduk dengan nyaman.
Kepalanya yang terbungkus perban disandarkan pada kursi, matanya mengarah tak tentu. Kejadian di taman rumah sakit kala itu melintas di kepalanya.
"Halilintar ...," lirih bibir itu.
.
.
.
.
.
Beberapa minggu lalu. Kala Taufan masih berada di rumah sakit, ia duduk di bangku taman belakang. Tatapannya hampa tiada sirat.
Kenapa? Ia tidak tau, hanya melihat suasana taman yang lumayan sepi. Hanya menenangkan pikirannya. Mengatur kembali pikiran yang rancu.
"Lo kenapa?"
Taufan menoleh kala suara familiar menyapa gendang telinganya. Seorang remaja dengan netra merah darah, ia mengenakan masker dan hoodie hitam. Sepertinya seumuran dengannya. Alis Taufan bertaut. "Maaf, siapa lo?"
Bukan menjawab. Orang itu justru duduk di samping Taufan. "Lo kenapa? Gue liat kek ada beban banget." Matanya menatap ke depan, seolah tak melihat adanya sosok disampingnya — Taufan.
Taufan terdiam kaku dibalik perban-perban yang melingkar di kepalanya (sebab luka bakar). "Enggak," ucapnya. Kemudian, netra darah itu menjadi tumpuan perhatian si lelaki biru. Ia tak asing dengan netra itu, ia mengenal netra itu ... apa ... apa itu netra yang selalu memancarkan benci padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...