Alamat

5 1 0
                                    

Setelah Kondisi badan Ratih mulai stabil, dia meminta Darso untuk mengantarnya ke kantor Meneer Wilhelm setidaknya dialah orang pertama yang Ratri tahu tentang keberadaan tuan Han. Darso juga sangat tidak tega kepada Ratri sebisa mungkin dia membantu dengan bertanya kepada orang di dermaga siapa tahu ada yang mengenal tuan Han dan tahu di mana alamat dia tinggal.


"Goedemiddag, Meneer." Ratri yang tidak sulit masuk ke dalam kantor pemerintahan Hindia Belanda saat itu.


"Ratri, welkom," sambut Meneer Wilhelm.


"Tolong bantu saya." Ratri dengan nada dan wajah serius.


Meneer Wilhelm mungkin mengetahui sesuatu ada yang terjadi diantara tuan Han dan Ratri tapi, dia termasuk orang yang menghormati privasi orang hingga dia tidak berani menanyakan hal apa yang terjadi kepada Ratri, dengan membawa selembar kertas bertuliskan alamat tuan Han. Ratri pun keluar dari kantor pemerintahan Hindia Belanda dia kemudian menemui Darso dan meminta untuk diantarkan pulang.


Di sepanjang perjalanan Ratri hanya terdiam melamun seakan tidak percaya apa yang Meneer Wilhelm katakan.


"Mungkin saya tidak dapat banyak pembantu, saya hanya bisa memberikan alamat ini. Saya tahu dia adalah pemuda yang baik tapi pemuda yang baik seharusnya menjelaskan asal usul nya." Ucap Meneer Wilhelm.


"Tidak banyak yang saya ketahui, saya hanya berbisnis dengan keluarganya." Tambah Meneer Wilhelm seakan menusuk dalam hatinya, kali ini Ratri benar-benar ceroboh dia tidak tahu asal-usul tuan Han, dia tidak tahu bagaimana tuan Han.


Melihat secarik kertas beralamatkan rumah Han Tjie Sien, Ratri hanya terdiam alamat itu berada di pulau Sumatera dan nama daerahnya Po-lin-fong atau sekarang di kenal sebagai kota Palembang. Tentunya Ratri harus menjelaskan kepada adiknya agar dia bisa segera menyusul tuan Han, Darso tidak berani bertanya dia hanya mengikuti perintah Ratri.


"Bagaimana Mbak? Sudah dapat alamatnya?" Rukmini mencecar Ratri dengan pertanyaan.


"Sudah, Mbak mau istirahat dulu," ujar Ratri yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.


Tidak puas dengan pernyataan kakaknya, Rukmini berjalan menghampiri Darso yang memarkirkan kudanya.


"Darso, apa kata Meneer Wilhelm?" Pertanyaan Rukmini membuat Darso mencep.


"Saya kan di luar Den ayu," jelas Darso yang mengikatkan pelana kuda pada pohon.


"Dasar laki-laki bajingan," celetuk Rukmini kesal.


Ratri harus mengambil keputusan dia tidak ingin terus berlama-lama, dia tidak ingin perutnya membesar tanpa kehadiran sosok suami. Saat makan malam pun dia menjelaskan rencananya untuk menyusul tuan Han, dia merasa mendapat izin dari adiknya sangatlah perlu.


"Saya akan ikut menemani Mbak." Rukmini yang tidak mau membiarkan kakaknya pergi sendirian.


"Tidak, kamu disini sekarang kamu harus bisa mengurus semuanya sendiri," jelas Ratri.


"Tapi, Mbak." Belum juga selesai Rukmini berbicara Ratri memotongnya.


"Tidak ada tapi, Ruk dengarkan saya, perkebunan dan pabrik butuh kamu. Setelah bertemu tuan Han saya akan pulang."


Rukmini hanya terdiam mendengar perkataan kakaknya, dia tidak dapat menahannya air matanya jatuh karena sekarang dia mengemban tugas sang kakak.


"Baiklah, saya akan tunggu Mbak."


Ratri langsung memeluk sang adik, ini pertama kalinya Ratri akan meninggalkan rumah dan perkebunan. Ratri berharap kepergiannya bisa membuahkan hasil dan bayi dalam kandungannya akan lahir dengan tuan Han di sampingnya.


Sampai hari keberangkatan Ratri tiba, sebelumnya Ratri mendapatkan tiket menaiki sebuah kapal dagang Hindia Belanda dari Meneer Wilhelm, Ratri membayar lebih agar dia juga mendapatkan koneksi kantor pemerintah Hindia Belanda ketika sampai di Sumatera.


"Mbak, kalau sampai kirimkan surat untuk kami," ujar Rukmini yang menggenggam tangan Ratri.


"Iya nanti saya tulis surat jika sudah sampai." Ratri tampak pucat perutnya juga tampak membuncit.


Dia tidak pergi sendiri tapi, ada Darso yang menemani setidaknya ada orang yang akan menjaga kakaknya di perjalanan.


"Pakde, saya titip perkebunan dan Rukmini ya." Pinta Ratri kepada kakak dari ibunya itu.


"Iya Nduk, Pakde akan jaga adikmu."


Ratri pun bersalaman dengan Pakde, Mbok lalu dengan Rukmini. Adiknya yang paling melankolis tidak dapat menahan rasa sedihnya, matanya terus berkaca-kaca seakan air mata itu akan tumpah.


Hanya Rukmini dan Simbok yang tahu alasan keberangkatan Ratri, sedangkan Pakde dan pegawai lainnya tahu kalau Ratri sedang melakukan perjalanan bisnis agar bisa melebarkan perkebunan di luar daerah.


"Saya pamit dulu." Darso yang membawakan sebuah koper milik Ratri.


"Dar, ingatkan apa yang saya bicarakan, jaga Mbak Ratri." Rukmini yang tiba-tiba memegang tangan Darso.


"Saya janji akan jaga Ndoro ayu," ucapan Darso membuat Rukmini merasa lega, dia melepaskan genggaman tangannya.


Ratri berjalan pelan menaiki anak tangga diikuti Darso yang membawa koper dan sebuah kain pembungkus yang telah di siapkan Mbok sebagai bekal di perjalanan, perjalanan akan memakan waktu seminggu tentunya bekal itu hanya akan membuat mereka bertahan beberapa hari saja.


Rukmini segera kembali ke rumah bersama Mbok dan Pakde, hatinya terus gelisah dan berharap kakaknya dapat bertemu dengan tuan Han segera.


"Den ayu, do'akan saja Ndoro ayu selamat berangkat dan pulangnya." Mbok yang mencoba menenangkan Rukmini.


"Iya Mbok." Rukmini yang berjalan sambil bersandar dengan tangannya merangkul tangan Simbok.


Kapal yang Ratri naiki pun mulai berlayar, tidak ada tempat khusus untuk para tamunya semua dalam satu ruangan yang sama, beberapa saudagar dengan membawa barang dagangannya.


Ratri hanya terus diam entah apa yang menjadi lamunannya, apa yang Ratri akan katakan jika bertemu dengan tuan Han. Tapi, tentunya tuan Han akan senang jika dapat melihat Ratri menyusulnya, membuktikan bahwa Ratri sangat serius akan cintanya kepada tuan Han.


"Ndoro ayu, mau makan?" Tanya Darso yang mulai terasa lapar


"Tidak, kamu makan saja duluan, tidak usah pikirkan saya Dar." Ratri yang berkata dengan senyum.


"Kamu hamil Ndok?" Tanya seorang wanita tua yang duduknya tepat di depan Ratri.


"Iya Bu," sahut Ratri dengan senyum hambar.


"Oalah, semoga selamat sampai tujuan y Ndok." Wanita tua yang mengenakan pakaian sangat sederhana dengan penutup kepala berwarna coklat.


"Terimakasih Bu."


"Ini anggap saja sebagai jimat." Sebuah kantung kecil berwarna hitam diberikannya kepada Ratri.


"Apa ini Bu?" Ratri bertanya sambil melihat-lihat kantong berukuran kecil itu.


Belum juga mendapatkan jawaban wanita tua itu lenyap dari pandangan Ratri, dia terus melihat ke semua arah tidak mungkin dengan cepat wanita itu menghilang.


"Dar, kamu tidak lihat ibu-ibu tadi?" Tanya Ratri kepada Darso yang duduk tepat di sebelah Ratri.


"Tidak Ndoro." Darso juga tampak bingung tapi, bukan karena ibu-ibu yang di sebutkan Ratri tapi sejak Darso menawarkan makanan Ratri tampak diam dan melamun tiba-tiba saja Ratri berbicara sendiri.


"Ndoro ayu bicara sendiri." Darso yang tampak ketakutan akan sikap Ratri.






Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang