10. Nitip Belum Tentu Bayar

160 47 6
                                    

Pagi, Dears!
Sesuai sama apa yang Hara bilang semalam, hari ini bakal DOUBLE update.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

“Ya kan, kebetulan Ami lagi libur, Bu. Lagi ndak pegang program. Makanya jam segini Ami baru bangun,” dustaku begitu lancarnya.

Setelah membagikan brownies dan makan siang, aku rebahan sebentar sembari menonton drama Korea. Mungkin karena aku capek kali ya, jadinya malah ketiduran. Aku baru bangun sesudah azan asar bertepatan dengan panggilan telepon Ibu yang masuk.

Aku terpaksa beralasan demikian, tidak mau Ibu sampai tahu alasanku mendapat libur. Yang ada, nanti Ibu malah khawatir mendengar GERD-ku kambuh. Jadi, aku sengaja berbohong karena telanjur keceplosan bilang baru bangun.

“Tetap aja toh. Wayah asar kok ya, turu. Ndak mantesi. Pamali! Bikin kiriman-kiriman orang usil gampang masuk.”

“Cuma sekali ini aja kok, Bu. Dan itu juga gara-gara Ami ketiduran. Mana Ami tahu kalau bangun habis asar,” kilahku.

“Kamu ini bantah saja kalau dikasih tahu. Kayak mbakyu-mu itu, lho! Nurut. Pantas kamu umur segini belum ada yang melamar.”

Detik itu juga suasana hatiku berubah mendung. Tiap kali aku salah omong, Ibu pasti langsung membanding-bandingkanku. Jika tidak dengan kakak perempuanku, ya adik bungsuku. Tidak mungkin dibandingkan dengan Ibra yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Meskipun pada kenyataannya, atas alasan itu jugalah dia menjadi kesayangan Ibu dan Bapak.

Lagi pula, apa hubungannya sih, bangun habis asar dengan statusku yang masih jomlo ini? Aku juga sama sekali belum kepikiran mau nikah dalam waktu dekat. Hidupku saja masih berantakan. Tabungan juga sudah tidak punya.

Lantas aku mau menikah pakai modal apa? Nekat? Atau cinta? Memangnya kalau aku bangun sebelum asar, besoknya aku bakal dilamar?

Malas memperpanjang masalah, akhirnya aku mengalah dan meminta maaf. “Iya, Ami minta maaf. Ibu kenapa nelpon?”

“Memangnya ndak boleh Ibu nelpon anak Ibu sendiri?”

“Ya nggak apa-apa. Cuma tumben aja,” jawabku. “Ya sudah kalau nggak ada apa-apa, Ami mandi dulu ya, Bu? Mau bersih-bersih juga. Nanti Ami telepon lagi.”

Apa yang kubilang barusan tidak bohong. Aku memang mau bersih-bersih kamar sekaligus mengumpulkan baju kotor. Setelahnya, baru aku berencana ke laundry, tapi tentu saja mandi dulu sebentar. Mumpung masih belum Maghrib juga, kan? Karena kalau selepas azan Maghrib, malas banget rasanya aku mau keluar, kecuali memang ada urusan pekerjaan lho, ya! Mau hujan badai pun pasti aku terabas demi cuan.

“Nduk, Mi!” panggilnya, membuatku urung menutup telepon.

“Iya, Bu? Ada apa?”

Ibu terdiam sebentar, sementara aku menunggu Ibu yang terdengar ragu-ragu hendak menyampaikan sesuatu.

Selang tak lama kemudian, Ibu bertanya, “Ibu mau minta tolong, tapi takut ngerepotin kamu, Nduk.”

Aku mendesah panjang. “Ngerepotin apa sih, Bu? Selama Ami bisa, pasti Ami bantu. Ada apa? Ibu minta tolong apa?” desakku.

“Begini, tas laptop adikmu, si Sarah, kemarin jebol. Dia minta Ibu belikan yang baru. Tapi ndak mau Ibu yang pilihin. Katanya, ndak cocok sama selera Ibu. Ibu bingung. Kamu bisa pilihkan ndak, Nduk? Dia kan, biasanya kalau sama pilihan kamu sreg-sreg aja.”

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang