4. Rasa kecewa

480 117 432
                                    

Zaheen pagi ini mencuci wajahnya di wastafel kamar mandi, dimatikan keran saat ia mendengar suara dering ponselnya berbunyi. "Berapa kali aku harus mengganti nomor telepon?"

Zaheen bergerak keluar dari kamar mandi, mengambil ponselnya yang berada di meja. Dan benar dugaannya, angka nomor telepon yang tak asing lagi meneleponnya di pukul 7 pagi seperti ini.

Dengan berat, Zaheen pun mengangkatnya.

"ZAHEEN!? APA KAU MENSENYAPKAN DERING HP? PAPA MENELEPONMU BERULANG KALI, KENAPA BARU MENGANGKATNYA SEKARANG!? APA INI KEBIASAANMU!? BANGUN DISIANG HARI!? KAMU BOLOS KULIAH!?"

Zaheen letakkan ponselnya itu ke meja, tak sanggup ia genggam saking pecahnya suara pria dibalik telepon itu. Zaheen terduduk di kursi, menatap ponselnya yang masih melanjutkan amukan.

"SELALU BERULAH SELALU BERULAH. KENAPA KAU SURUH ADIKMU PINDAH DAN MENGONTRAK SENDIRIAN!? KAU TAHU ITU MEMBAHAYAKANNYA!? SETERGANGGU ITU DENGAN ADIKMU!? MEMANG APA YANG KAU LAKUKAN TIAP HARI!? KAU TIDAK BISA MENJAGA ADIKMU DENGAN BAIK! BUAT MASALAH TERUS! TUNGGU PAPA DATANG KE SANA!'"

Zaheen mendekatkan bibirnya ke ponsel. "Kalau aku menunggu Papa sampai ke sini, aku akan telat masuk kul--" Teet. Ponselnya sudah mati sebelum Zaheen selesai berbicara.

Zaheen kesal, ia langsung beranjak berdiri, mencopot kartunya dengan emosi, lalu mematahkan dan membuangnya ke tong sampah begitu saja. Baru setelah membuang, Zaheen bisa menghela napas tenangnya. Walau rasanya ia tahu, setelah kartu dibuang, bukan saatnya ia merasa tenang. Karena...

Tok tok tok!! Suara ketukan pintu diketuk dengan kuat berulang kali. "ZAHEEN! BUKA PINTUNYA!"

Zaheen langsung terkekeh hambar saat itu juga. "Cepat sekali. Begitu semangat pagi-pagi seperti ini untuk mengeluarkan gasnya."

Zaheen memilih duduk di sofa dibandingkan membuka pintu kedatangan Papanya. "Pintu tidak dikunci. Jika tidak bisa dibuka, dobrak saja. Aku terima ganti rugi."

Cklek. Pria itu—Hendrawan Laksmana. Membawa dua bodyguard di belakangnya. Menatap ke arah Zaheen yang santai duduk tanpa menghormati kedatangannya. "BEGINI PERILAKUMU KEPADA ORANG TUA!?"

"Papa terlihat semakin muda. Pantaskah kusebut orang tua; kakek-kakek?"

Hendra semakin terkejut saat Zaheen mulai berani membantahnya seperti itu. "ZAHEEN! Kenapa semenjak kau keluar dari rumah sudah berani melawan Papa!? Pergaulan bebas apa yang kau ikuti di luar, hah!?"

Zaheen bangkit dari duduknya, ia mendatangi Hendra lalu mengambil tangan kanannya untuk dicium. "Maaf. Aku sudah menjaga anak gadismu dengan baik. Penuh baik. Tapi dia yang memilih untuk mengontrak dari pada tinggal bersamaku."

"Bilang saja kau tak mau direpotkan adikmu, iya kan!? Supaya kau bebas bermain sana-sini bergaul semaumu, menikmati duniamu sendiri, sampai tak ada yang memdulikan apa kau jadi maling dan melakukan kekerasan lainnya!? Oh, atau karena Papa tidak pernah memberikan uang padamu, jadi kau merasa tidak berhutang apa-apa!? Jadi kau merasa Elnara bukan adikmu, kau membuangnya seperti itu!?"

Zaheen menggeleng. "Apa kehadiran dia di sini sebenarnya, Pa? Ingin menjengukku? Kupersilakan. Ingin tinggal bersamaku, sudah kusiapkan. Ingin dirawat olehku, sudah kuberikan. Tapi dia menolak semua, dan memilih tidak menyusahkanku. Lagi pula, soal uang... apa Papa bisa menghitung sejak kapan aku keluar dari rumahmu? Itu sudah lebih dari lima belas tahun yang lalu. Apa kau yang mengurusku? Tidak, yang mengurusku adalah Pak Nanda. Apakah kau juga membantu membiayaiku? Tidak, ini hasil jerih payahku menjual lukisan-lukisanku, dan ekonomiku, itu dibantu oleh Pak Nanda. Pak Nanda adalah orang tuaku. Rumah ini miliknya. Bukan milikku."

Detak-DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang