30. PANTAI

185 23 12
                                    

"Pantai itu hebat ya, Ra. Meskipun ombak terus menghantam tanpa henti, pantai tetap dipenuhi oleh mereka yang datang mencari ketenangan"

HAPPY READING

Keesokan harinya, Adara sudah menunggu di depan rumah ketika Rahsya tiba. Ia tersenyum melihat Rahsya turun dari mobil. Adara mengenakan gaun musim panas berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil dan topi pantai berwarna krem, melindungi wajahnya dari sinar matahari yang terik.

“Lo sudah siap?” tanya Rahsya sambil membukakan pintu mobil untuk Adara.

Adara mengangguk dengan semangat. “Siap banget!"

Mereka berdua pun berangkat, mobil melaju melewati jalanan kota yang semakin ramai. Sepanjang perjalanan, Rahsya dan Adara berbincang santai, sesekali tertawa ketika mereka mengingat kenangan-kenangan lucu dari masa lalu. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela mobil membuat suasana terasa hangat dan damai.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, mereka tiba di pantai. Pasir putih terbentang luas, dan suara deburan ombak yang menenangkan langsung menyambut mereka.

Adara terdiam sejenak, matanya menyapu pemandangan pantai yang begitu familiar. Kenangan itu kembali muncul—detik-detik ketika ia pertama kali menyaksikan Gibran terpuruk di tempat yang sama. Ia tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang muncul. Apakah Rahsya sengaja membawanya kembali ke pantai ini? Hatinya bertanya-tanya. Rahsya, yang sejak tadi bersikap santai, tampak tidak menyadari betapa beratnya momen ini bagi Adara.

“Mungkin ini hanya kebetulan,” gumam Adara dalam hati, meski keraguan masih menyelimuti pikirannya. Namun, bagian kecil dari dirinya merasa bahwa Rahsya mungkin mengingat peristiwa itu dan membawanya ke sini untuk alasan yang lebih dalam. Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benaknya, sementara deburan ombak tetap terdengar tenang di kejauhan.

Adara berusaha menjaga ketenangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan masa lalu yang tiba-tiba hadir begitu nyata. Namun, pikirannya tak bisa berhenti bertanya-tanya. Ia menoleh perlahan ke arah Rahsya yang sedang menatap laut dengan ekspresi tenang, seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Sejenak, ia ingin bertanya, tapi ia ragu. Apa yang seharusnya ia katakan?

"Apa lo ingat pernah ke sini, Sya?" tanya Adara akhirnya, suaranya pelan, hampir tersapu angin.

Rahsya menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Tentu saja. Kita pernah ke sini," jawabnya santai, tanpa memberi tanda-tanda bahwa dia menyadari makna lebih dalam dari pertanyaan itu.

Adara mengangguk pelan. "Ya, tapi maksud gua, ke sini... waktu itu. Saat—"

Kata-katanya terhenti, tak yakin bagaimana harus melanjutkan. Rahsya tampak bingung sejenak, lalu sebuah kilasan ingatan tampak melintas di matanya. Ia menatap Adara dengan sedikit lebih serius.

"Lo berbicara tentang Gibran, kan?" gumam Rahsya, tatapannya kini penuh pengertian.

Adara hanya bisa mengangguk. Perasaannya mulai bercampur aduk antara lega karena Rahsya ternyata mengingat, dan ragu apakah Rahsya benar-benar memahami beratnya momen itu baginya.

Rahsya menarik napas panjang, kemudian berkata pelan, "Gua enggak sengaja ngajak lo ke sini lagi, Adara. Tapi, mungkin... ini tempat yang perlu kita hadapi. Gua tahu, waktu itu sulit bagi lo. Juga bagi Gibran. Tapi mungkin sekarang, saatnya melihatnya dengan cara yang berbeda."

Adara diam. Kata-kata Rahsya menggema di dalam dirinya. Mungkin memang benar, pikirnya. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengubur kenangan lama dan memulai sesuatu yang baru—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk perasaannya yang dulu terperangkap di masa lalu.

Perantara GidaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang