Pagi itu, suasana di kos-kosan masih sama. Mereka semua duduk di meja makan, sudah selesai sarapan, tapi suasananya begitu hening. Biasanya, Hiran akan langsung melontarkan candaan, Maven dan Chandra akan tertawa keras, dan Rasen akan mengomel. Tapi kali ini, semuanya hanya terdiam, sibuk dengan ponsel atau sekadar menatap piring kosong di depan mereka.
Rasen yang duduk di ujung meja menghela napas panjang. “Udah lama kita nggak ngobrol bareng.”
Maven menatap Rasen dari balik layar ponselnya, lalu mengangguk setuju, “Iya... belakangan ini kita sibuk terus. Nggak ada waktu buat ngumpul.”
“Kita sibuk atau kita nyari alasan buat nggak ngumpul?” suara Jaival terdengar datar, tapi menohok. Menyindir yang lain dan dirinya sendiri. Dia menegakkan punggungnya dan meneguk kopinya yang sudah dingin karena daritadi ia tatap doang.
Semua diam sejenak, menghindari kontak mata satu sama lain. Nartha memainkan sendok tehnya di cangkirnya yang sudah kosong. “Mungkin kita udah terlalu nyaman sama kehidupan masing-masing,” gumamnya, tapi bisa didengar yang lain.
Hiran menghela nafasnya dan bersuara. “Woi, lo semua kenapa sih? Jangan kayak orang lagi di sidang skripsi gini dong. Hening banget!” ujarnya sambil mencoba tersenyum, meski terlihat jelas bahwa candaannya setengah hati dan terasa canggung.
Chandra tertawa kecil, tapi terdengar tidak niat, “Iya, nih. Gue juga nggak terbiasa sama suasana kayak gini. Kalian kayak abis kena semprot dosen.”
Maven akhirnya meletakkan ponselnya, menggesernya menjauh dan menatap teman-temannya satu per satu, “Oke, serius bentar. Kayaknya kita semua ngerasa ada yang beda, ya? Gue nggak tahu kapan tepatnya, tapi rasanya udah lama kita nggak sedekat dulu.”
Jayendra yang dari tadi menunduk akhirnya bicara dengan suara pelan. “Mungkin karena... kita sibuk banget sama urusan masing-masing. Abang tau 'kan, kerjaan abang semua, tugas kuliah semakin banyak... jadinya kita udah nggak punya waktu buat ngumpul-ngumpul lagi.”
Rasen mengangguk pelan, “Kita semua terlalu fokus sama diri sendiri.”
Jaival menghela napas, matanya menatap lurus ke piring kosong di depannya. “Jadi, ini salah kita semua?”
“Nggak ada yang salah, Val,” Maven menimpali, “Tapi, ya... kita jadi asing aja kayak awal kita ketemu.”
Hiran mengangguk setuju. “Tapi mau gimana lagi? Lo sendiri tau 'kan kita disibukan sama kerjaan dan tugas-tugas.”
“Iya,” sela Jaival dengan nada dingin. “Tapi itu bukan alasan buat lupa sama temen lo.”
Air muka Hiran berubah. Tidak suka dengan pernyataan Jaival barusan. "Yang bilang gue lupa sama lo pada siapa? Kasih tau gue, Val."
Sadar suasana makin mencekam, Jayendra mencoba mencairkan suasana yang lebih damai, “Ya udah lah, kalau gitu kita sesekali ngumpul, ngobrol, buat keributan kayak biasanya. Biar abang-abang nggak sibuk sendiri-sendiri terus.”
“Tapi yang beneran, ya, jangan cuma wacana,” Chandra menambahkan. “Lo tau 'kan, biasanya kita jago bikin rencana tapi gagal realisasi.”
“Biasa itu,” sahut Nartha sambil tersenyum kecut. “Nggak heran juga sih, udah jadi kebiasaan. Rencana tinggal rencana, ujung-ujungnya nggak ada yang jalan.”
Tawa kecil muncul di meja, tapi semua tahu itu bukan tawa yang sepenuh hati. Seperti ada beban yang menggantung di udara, menekan setiap kata yang keluar.
“Kita semua punya masalah masing-masing,” Jaival memulai lagi, suaranya lebih berat. “Gue, lo, semuanya. Nggak ada yang hidupnya mulus-mulus aja.”
"Makanya cerita, bego!" Rasen memukul kepala belakang Jaival yang membuat si empu meringis kecil.
"Gimana mau cerita kalau kita semua aja sibuk, bang." Ini Jayen yang menyaut. Nadanya memang terdengar santai, tapi mampu membuat keenam abangnya diam sejenak.
“Kadang gue pengen bilang... tapi nggak ada waktu," aku Chandra dengan nada sedikit ragu.
Mavendra yang dari tadi diam, akhirnya berbicara lagi. “Mungkin kita harus mulai buat lebih peduli sama apa yang terjadi di hidup masing-masing. Bukan cuma nanya ‘gimana kabar lo?’ terus selesai di situ aja. Kayak nggak penting, mending gausah tanya.”
Nartha mengangguk setuju. “Iya, itu masalahnya. Kita nanya, tapi kadang nggak bener-bener denger jawaban temen kita.”
Semua terdiam lagi, tapi kali ini terasa lebih berat. Mereka tahu percakapan ini penting, tapi mereka bertujuh juga tahu bahwa mengubah kebiasaan yang baru itu tidak semudah itu.
“Gue sih cuma mau kita bisa balik kayak dulu lagi. Nggak perlu sering-sering, tapi gue kangen masa-masa kita bisa ketawa tanpa ada yang dipaksain," celetuk Jayen yang membuat keenam lainnya mendongak dan menatapnya dengan penuh rasa bersalah.
“Maaf ya, Yen...” kata Rasen sambil menatap Jayen dengan sendu. “Lo tau sendiri, kita udah bukan anak-anak lagi. Semuanya berubah.”
Chandra mengangguk pelan dan menimpali. “Bener. Kita semua berubah, hidup kita juga berubah.”
“Tapi gue rasa,” kata Maven sambil menatap satu per satu wajah teman-temannya, “Kita harus sadar kalau persahabatan juga butuh effort. Nggak bisa kita cuma diem, berharap semuanya bakal tetep kayak dulu.”
Hiran menghela napas panjang, ia merasa canggung lagi. “Yaudah, buat apa juga kita ngomong panjang lebar kalo ujung-ujungnya nggak ada yang berubah?”
“Karena kita harus,” sahut Jaival dengan tegas. “Kalau nggak ngobrol gini, kita cuma bakal makin jauh, Ran. Lo mau gitu?”
“Ya nggak, tapi... gue bingung,” Hiran menunduk, matanya tidak berani menatap yang lain.
Sang tertua menatap keenamnya yang sudah ia anggap adik sendiri dengan pandangan serius. “Dengar, kita udah melalui banyak hal bareng-bareng. Gue nggak mau ngelihat persahabatan ini bubar cuma karena kita nggak mau berusaha buat tetep deket lagi.”
"Jadi mulai sekarang, perbaiki ya?"
"Iya, bang..."
"Wait..." Maven melirik jam arlojinya, seketika matanya membulat besar sampai Jayen takut copot matanya.
"Astaga, Rasen! Kita telat!"
"Hah?! ANJINGG!!"
Ya, mereka bertujuh tahu bahwa percakapan ini mungkin tidak akan langsung mengubah segalanya, tapi setidaknya mereka sudah mulai bicara. Dan itu adalah langkah pertama untuk memperbaiki segalanya.
bimantara.
chapter 11; to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] bimantara [TERBIT]
Fiksi Remaja[ END; friendship, comedy ] NCT'Universe : 01【 위대한 영혼 】. 🎬 ft. NCT Dream. ── ❝ Dari awal tujuh, selamanya juga harus tujuh. Nggak boleh kurang atau nambah!❞ ✧ . . . 7 Pemuda dengan latar belakang yang berbeda tinggal bersama di salah satu kos-ko...