11. Kekhawatiran.

0 0 0
                                    

Mentari sore menyinari kota dengan hangat, membias di balik dinding kaca kafe yang ramai.  Di dalam, Dita, Helen, dan Rama duduk berdampingan, menikmati secangkir kopi dan suasana sore yang meriah.  Dari balik kaca, mereka menyaksikan hiruk pikuk jalanan kota, deru kendaraan, dan ramainya pejalan kaki.

"Wah, lihat, ada mobil antik tahun 60-an!" seru Helen, menunjuk ke luar jendela. Dita dan Rama ikut tertawa, menikmati kegembiraan Helen yang selalu ceria.

"Helen, kamu baik-baik saja kan?  Sepertinya kamu agak pucat," tanya Dita, sedikit khawatir.

Rama menoleh, ikut memperhatikan wajah Helen. "Apa dadamu sakit lagi?"

Helen tersenyum, "Aku baik-baik saja.  Cuma sedikit lelah."

"Kalau begitu kita pulang sekarang ya," tawar Dita dengan tangannya mengelus rambut sang adik, sayang.

"Nanti saja Kak," jawab Helen masih dengan senyum.

Namun, di balik senyumnya, Helen merasakan sesak di dadanya.  Ia kembali merasakan sakit yang familiar, seperti tusukan tajam di balik tulang rusuknya.  Ia berusaha menahannya, tak ingin membuat Rama dan Dita khawatir.

Dita mengamati wajah adiknya dalam. Namun Helen hanya menyengir, menampilkan bahwa dia baik-baikk saja.

"Kapan kalian berdua akan menikah,?  Sudah lama juga pacaran," ucapnya,  mengganti topik.

Rama tersenyum, "Tahun depan, Dita.  Sudah ada rencana, kok."

Helen tersipu mendengar jawaban Rama.  "Iya, Kakak.  Tahun depan kami akan menikah," jawab Helen, matanya berkaca-kaca.

"Wah, keren!  Aku nggak sabar ngelihat kalian berdua menikah dan punya anak," ujar Dita, matanya berbinar-binar.

"Eh, Dita, boleh nggak sih aku nanya?  Kamu sebagai kakak, ngasih izin nggak kalau aku ngelamar Helen?" tanya Rama, sedikit bercanda.

Dita tertawa, "Wah, kamu serius nanya?  Ya, kalau kamu serius sama Helen, aku sih ngasih izin.  Tapi, ntar kalau kamu nggak serius, aku tabok kamu di depan altar, lho!"

Rama dan Helen tertawa mendengar candaan Dita.  Suasana di kafe menjadi lebih hangat dan penuh canda.

Namun, di balik kegembiraan Dita, Helen merasakan sesak di dadanya semakin kuat.  Ia kembali merasakan sakit yang familiar, seperti tusukan tajam di balik tulang rusuknya.  Ia berusaha menahannya, tak ingin membuat Rama dan Dita khawatir.

"Helen, kamu kenapa?  Kok kamu batuk-batuk?" tanya Dita, sedikit khawatir.

Helen terbatuk, batuknya semakin keras, hingga darah segar keluar dari mulutnya.  Dita dan Rama sontak terkejut, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.

"Helen!" teriak Dita, panik.

Rama segera meraih tangan Helen, "Helen, kamu kenapa?  Kita ke rumah sakit sekarang!"

Dita membantu Helen berdiri, tubuhnya gemetar.  Mereka bergegas menuju mobil, membawa Helen ke rumah sakit terdekat.

Di rumah sakit, Helen langsung dibawa ke ruang rawat pemeriksaan.  Dita dan Rama menunggu dengan cemas di luar ruangan.  Tak lama kemudian, dokter keluar, wajahnya serius.

"Maaf, saya harus menyampaikan sesuatu yang penting," ucap dokter, suaranya lembut namun tegas.  "Penyakit Helen kembali muncul.  Kankernya sudah menyebar kembali ke otak.  Kami harus segera melakukan operasi.  Operasi ini akan menjadi operasi besar, dan kami harus melakukan tindakan yang lebih agresif untuk mengangkat tumornya.  Sayangnya, untuk melakukan operasi ini, kami harus mencukur rambut Helen.  Kami harus melakukan ini untuk memastikan area operasinya bersih dan terbebas dari gangguan rambut."

Dita terpaku, air matanya mengalir deras.  Rama mencoba menenangkan Dita, tangannya menggenggam erat tangan gadis itu.

"Dita, tenang.  Kita harus kuat untuk Helen.  Operasinya akan berhasil," ucap Rama, berusaha menenangkan Dita.

Beberapa hari berlalu dengan lambat. Helen yang sudah diberitau mengenai rencana oprasinya, menunggu hari esok dengan air mata yang tak surut.

"Rama, aku ... aku takut," ucap Helen, suaranya bergetar.  "Rambutku akan dipotong, aku akan menjadi jelek.  Kamu masih akan tetap mencintaiku, kan?"

Rama menggenggam erat tangan Helen, "Helen, kamu tetap cantik, dengan atau tanpa rambut.  Aku mencintai kamu, bukan rambutmu.  Aku akan selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi."

Helen terus menangis. Ia beralih menatap Dita yang duduk di samping ranjangnya. "Kakak, aku ... aku takut.  Aku akan jadi jelek," ucapnya, matanya berkaca-kaca.  "Apakah aku masih akan cantik?"

Dita mengusap air mata sang adik, "Helen, kamu tetap cantik.  Kamu cantik luar dalam.  Rambut itu hanya rambut, bukan segalanya.  Kamu tetap cantik, dan aku tetap mengasihimu."

Helen terdiam, matanya berkaca-kaca.  Ia masih merasa tidak percaya diri, namun ia merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan Rama dan kakaknya.

"Helen, kamu harus kuat.  Kami akan selalu ada untukmu," ucap Dita dan Rama. "Kamu pasti bisa melewati ini.  Kami akan selalu ada di sisimu."

Dita dan Rama bergantian menghibur Helen, menceritakan kisah lucu, menyanyikan lagu kesukaannya, dan memberikan semangat.  Mereka berusaha membuat Helen merasa lebih tenang.

...

See you

Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang