Walau sedikit merasakan aneh Ratri tidak curiga dengan wanita tua itu, dia terus memandangi jimat berselimut kain hitam akhirnya dia hanya memasukkannya ke dalam sebuah tas yang dia bawa. Ratri kembali memandang keluar kaca jendela tempat dia duduk, ternyata hal yang paling tidak enak ketika kapal menjauh dari dermaga, seakan terlarut dalam deburan ombak yang membawa bisikan rindu. Tapi, ini adalah jalannya Ratri harus mendapatkan jawaban dari tuan Han.
**
Sesampainya di rumah Rukmini mengerjakan seperti apa yang di perintahkan oleh kakaknya, dari Pakde Rukmini belajar tentang perkebunan dan pabrik.
“Yo wes Ruk, besok Pakde jemput ke pabrik,” ucap Pakde berpamitan.
“Njeh Pakde.” Rukmini terus menatap kepergian Pakde Yanto.
Hari itu pun berlalu seperti biasanya namun, rumah itu tampak sangat sepi hanya Mbok yang menemani Rukmini. sebagai pengganti kedua orang tuanya Mbok juga memberikan kasih sayang yang sama tulusnya seperti orang tua Rukmini sendiri.
“Mbak lagi apa ya Mbok?” Rukmini bertanya kepada Simbok yang membelai rambut Rukmini.
“Mungkin saja Ndoro ayu sedang memikirkanmu,” ucapan Mbok membuat Rukmini tersenyum. Malam yang dingin itu Rukmini lewati dengan tidur bersama dengan mbok, di rumah sebesar itu memang hanya tinggal Ratri dan adiknya.**
Setelah beberapa hari akhirnya kapal yang dinaiki oleh Ratri dan Darso tiba di dermaga, keduanya pun turun dari kapal dan melihat sekitaran,hilir mudik orang turun dan naik ke dalam kapal. Banyak dari mereka yang membawa hasil panen dari tempat asalnya, Ratri juga bingung sekarang dia harus ke mana sementara dia tidak mengenal siapapun di kota ini tapi, Meneer Wilhelm memberinya sebuah alamat kantor cabang Hindia Belanda yang ada di kota itu.
“Saya carikan delman dulu Ndoro.” Darso berlari ke depan dermaga karena melihat beberapa orang memarkirkan kereta kuda.
“Iya saya tunggu disini.” Ratri berdiam dan menunggu koper yang di letakan Darso pada sebuah kursi tunggu terbuat dari kayu.
Tidak lama setelah perbincangan Darso dan seorang kusir kereta kuda akhirnya, mereka pun pergi ke kantor pemerintah Hindia Belanda yang ada di kota itu. Sepanjang perjalanan Ratri hanya melihat sekeliling ini pertama kalinya dia berada di kota orang, perjalanan dari dermaga ke kantor pemerintahan tidak begitu jauh, setengah jam mereka telah sampai.
“kita sudah sampai Ndoro,” ucap Darso yang menenteng koper milik Ratri.
Tanpa aba-aba Ratri masuk ke dalam kantor untuk bertemu petinggi wilayah tersebut, sesuai instruksi dari Meneer Wilhelm dan disusul oleh Darso. Gedung berarsitektur gaya Eropa itu terlihat megah dan elegan, di lengkapi dengan lampu-lampu gantung yang membuat suasana semakin hangat.
“Sorry, ik kan meneer Robert ontmoeten,” ucap Ratri kepada seorang wanita yang berada di meja informasi.
“van Wie?” Petugas informasi itu bertanya.
“Ratri, De collega van de heer Wilhelm.” Ratri memang bisa berbahasa Belanda sejak dia berusia delapan tahun.
“Wacht even,” ucap lagi wanita berambut ikal itu.
Ratri diminta untuk menunggu sampai wanita itu memanggilkan Meneer Robert, di ruangan yang terasa sepi itu Ratri hanya terus diam menunggu dengan tenang. Meneer Robert mungkin saja tidak mau membantu tapi dia bisa memberi tahu alamat pastinya tuan Han.
Tidak lama lelaki bertubuh tambun datang menghampiri Ratri dan Darso, kumis yang menyatu dengan pipi itu tampak sangar di mata Ratri walau, sedikit gugup Ratri berdiri untuk menyalami Meneer Robert.
“Wie ben je?” Meneer Robert bertanya ketika melihat Ratri.
“Saya kesini karena Meneer Wilhelm menitipkan surat ini,” ujarnya menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat tua.
Meneer Robert langsung membuka dan membaca isi surat yang menjelaskan kedatangan Ratri dan Darso, Meneer Wilhelm meminta agar dapat membantu dan mengantarkan Ratri ke tempat tuan Han. Han Tjie Sien merupakan anak saudagar kaya raya di pecinan kota itu, semua orang tentu mengenalnya termasuk Meneer Robert.
Mata Meneer Robert menatap kepada Ratri dengan perut membuncit, usia kandungannya mungkin sudah memasuki bulan ke lima.
“Baik, saya akan antara kalian ke pecinan, tunggu sebentar.” Meneer Robert kemudian memberikan surat itu kembali pada Ratri.
“Danke Meneer,” sahut Ratri.
Senyum cerah mulai nampak di wajahnya Ratri, matanya menunjukkan semangat dirinya seakan harapan yang dia inginkan segera terwujud. Perasaan bercampur aduk itu tidak bisa diwujudkannya dengan sebuah kata-kata, dia hanya terus mengelus perutnya, sesekali tersenyum kepada Darso.Pemuda itu dapat melihat wajah ceria nyonya Ratri kembali, “akhirnya Ndoro tidak sedih lagi,” ucap Darso dalam hatinya.
Mereka pun bergegas menuju pecingan yang jaraknya sekitar 45 menit dari tempat Kkntor Pemerintah Hindia Belanda, sama seperti pecinan di kota lainnya di sana mayoritas penduduknya adalah warga Tionghoa yang warganya adalah pedagang, sedikit ragu tapi Meneer Robert mencoba bertanya tentang masalah Ratri yang sebenarnya, “Saya tidak tahu bagaimana menceritakannya tapi, saya tidak yakin akan keputusan mu,” ucap Meneer Robert memasang mimik wajah ragu.
“Bagaimana maksud Meneer?” Tanya Ratri.
“Kita sudah sampai, di ujung jalan itu adalah rumah Han Tjie Sien.” Meneer Robert tidak menjelaskan maksud perkataan dia sebelumnya.
Tidak berpikir panjang karena sudah saking semangatnya Ratri pun turun dengan wajah yang sumringah, dia berjalan pelan menuju arah yang ditunjukkan oleh Meneer Robert diikuti Darso di belakang. Angin berhembus pelan di sekitaran Ratri, oksigen murni yang Ratri hirup seakan membuat jantungnya berdegup kencang, dia tidak sabar akan reaksi tuan Han ketika melihatnya sampai di kota ini.
Sebuah rumah dengan ornamen Tiongkok yang kental dan menyatu dengan sebuah kedai yang menjual berbagai macam rempah dan tembakau, bertulisan “Kedai Koh Tjie Peng” seorang lelaki tegap yang memakai pakaian khas Tiongkok dengan warna biru gelap, baru saja keluar dari kedai itu. Melihatnya dari kejauhan Ratri sangat senang, niatnya hendak berlari menghampiri lelaki yang di cintainya tapi, seorang wanita yang memakai pakaian yang senada menyusul mengikuti tuan Han. Wanita itu juga memberikan tuan Han sebuah bungkusan dan mencium pipi lelaki itu, di balas juga oleh tuan Han dengan mengecup kening wanita yang juga berbadan dia.
Seperti di sambar petir di siang bolong, Ratri terdiam kaku, kakinya tidak bisa melangkah lagi. Melihat apa yang sebenarnya terjadi di depan matanya adalah kenyataan bahwa, tuan Han telah memiliki istri dan bernasib sama dengan Ratri yaitu hamil. Di belakang Ratri Darso juga melihat hal yang sama, emosinya meluap, Ratri telah dianggap kakaknya sendiri tidak rela kalau ada yang menyakiti Ratri. Diletakkannya koper Ratri, Darso berjalan dengan mengepakkan tangannya. Ratri yang melihat menarik tangan Darso, menahan agar pemuda itu tidak menghampiri tuan Han.
“Tidak Darso,” ucap Ratri dengan suara lirih.
“Saya tidak bisa Ndoro, dia kurang ajar!” Seru Darso menahan kesal dan amarahnya.
“Wes to, uwes Dar.” Ratri berjalan menahan sakit di dadanya. Pergi meninggalkan lelaki yang tidak bertanggung jawab akan perbuatannya, Darso berhasil menahan emosinya, dengan mengambil koper itu kembali Darso berjalan mengikuti Ratri.
“Bagaimana? Kamu sudah bertemu dengannya?” Tanya Meneer Robert.
“Sudah, bisa antarkan saja kami ke dermaga Meneer?” pinta Ratri.
“Kapal akan berangkat lusa, sebaiknya kalian bermalam saja.” Ucap Meneer Robert.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam nyi Ratri
Mystery / ThrillerRatri adalah kembang di desanya, bukan hanya cantik tapi juga pewaris perkebunan milik kedua orang tuanya walau, begitu tidak ada yang berani melamarnya sampai seorang pemuda bisa di bilang dia seorang saudagar yang sukses berhasil merebut hati Ratr...