1

8 2 0
                                    


Di bawah langit sore yang berubah jingga, aku duduk di pojok halaman tersembunyi, memandangi koi-koi yang berenang malas di kolam batu. Mereka bergerak anggun, seolah tak peduli dengan keramaian dunia di luar sana—persis seperti aku. Dunia diluar rumah ini, buatku, hanyalah sebuah panggung penuh drama yang dipaksakan. Aku? Lebih suka di sini, jauh dari hiruk-pikuk.

Tanganku menggenggam keripik, dan tanpa berpikir dua kali, aku memasukkannya ke mulut. Remah-remahnya jatuh di pangkuanku, menodai gaun putihku yang seharusnya dijaga bersih dan sempurna untuk acara terhormat. Tapi siapa yang peduli? Aku tidak. Di tempat ini, aku bebas. Tak ada yang melihatku, tak ada yang peduli apakah aku anak kepala desa atau bukan.

Di balik pilar besar rumah, ayahku tengah bersenang-senang. Pesta sayembara, begitu mereka menyebutnya. Tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan soal siapa yang akan menang, apalagi tentang siapa yang akan menjadi suamiku. Ayah hanya suka pesta. Ia menikmati gelak tawa, anggur yang mengalir, dan tatapan kagum dari tamu-tamunya. Kemenangan? Ah, itu urusan nanti. Ia tak pernah benar-benar peduli pada hasilnya.

Ayahku selalu menyebut sayembara ini sebagai "perburuan". Ironisnya, akulah yang jadi buruan. Hadiah. Hanya sepotong barang yang diperebutkan oleh pria-pria yang merasa mereka pantas memilikinya. Aku menggeleng, menggigit keripikku lagi. Rasanya asin, seperti ejekan halus terhadap hidupku sendiri.

Namun, sore ini terasa berbeda. Ada sesuatu di udara. Suara riuh dari pesta ayah tiba-tiba mereda, seolah angin yang tadinya bertiup kencang mendadak berhenti. Dari tempatku duduk, aku bisa merasakan perubahan itu. Suara tawa berubah menjadi gumaman gelisah, dan aku tahu sesuatu telah terjadi.

Aku melihat seorang pelayan mendekati ayahku, napasnya tersengal-sengal, seakan baru saja berlari dari ujung dunia. Ia berbisik pelan di telinga ayah, dan aku tidak perlu mendengar kata-katanya untuk tahu bahwa kabar itu bukan yang diharapkan. Wajah ayah yang biasanya selalu tenang tiba-tiba pucat, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Di tengah kerumunan, suara tawa berubah menjadi hening yang aneh, berat. Seolah semua orang di sana baru menyadari bahwa permainan ini sudah berakhir, tapi bukan dengan cara yang mereka bayangkan. Lalu, seolah dari tengah kekosongan itu, terdengar jeritan.

Aku menoleh, dan dari balik pilar besar, aku melihat seorang pria terjatuh. Darah mengalir dari tubuhnya, terkapar dengan luka besar di dada. Sebuah bola besi besar menancap di tubuhnya, seolah dilemparkan dengan kekuatan yang mustahil. Sorak-sorai berhenti seketika, dan kerumunan perlahan mundur, membuka jalan bagi sosok yang berdiri di tengah-tengah mereka.

Pria itu tinggi, sangat tinggi. Tubuhnya besar, mungkin empat kali lipat dari tubuhku. Otot-ototnya tampak kokoh seperti pahatan batu, dan kalung besar yang menggantung di lehernya terbuat dari butiran segel suci yang berat—bukan perhiasan, tapi simbol dari kekuatan yang sudah dilalui. Di kedua tangannya, tergantung sepasang bola besi dengan rantai panjang yang berayun pelan.

Aku menggigit keripikku lagi, memandang pria besar itu. Entah mengapa, aku merasa ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan aku tak bisa tebak.

Dia berjalan tanpa ragu, langkahnya mantap. Kerumunan, yang tadi riuh dengan sorak-sorai, kini bungkam total. Tidak ada yang berani bicara, bahkan tidak ada yang berani menatap langsung ke arahnya. Tapi aku tahu.

Itu dia. Pemenang sayembara.

God Gift's TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang