Paket dari Ibu

4 1 0
                                    

Beberapa kali aku tidak membalas pesan dari ibuku. Sejak aku merantau, hari-hariku lebih dominan diisi dengan kesibukan dunia kerja dan revisi-revisi tidak jelas yang harus kuselesaikan sampai-sampai pesan selain dari klien, rekan kerja, atasan, atau bos, selalu kuhiraukan.

Tidak jarang diri ini memakan makanan dengan porsi lebih sedikit, ataupun tidak mandi seharian penuh. Sudah beberapa tahun aku merantau dan aku hanya bisa merebahkan badanku di kasur apartemenku jika memang waktuku sudah betul-betul luang.

"Iya...paketnya sudah sampai...Tapikan sudah kubilang tidak usah mengirim paket terus-terusan, Ibu..."

Aku terduduk di depan satu kardus penuh barang kiriman Ibu sambil memegang ponsel yang kudekatkan ke telingaku.

"Tidak apa-apa, Ibu tidak ingin kau payah-payah pergi ke toserba untuk belanja bulanan...jaga dirimu baik-baik yaa.."

"Iya iyaa, baik. Ibu dan Ayah juga sehat-sehat di kampung ya" Balasku. Ibu hanya berdeham, lalu aku mematikan telfon.

Beberapa kotak susu, botol-botol sampoo, sabun, cemilan, dan lain-lain. Ibu benar-benar susah payah menyiapkan paket untukku. Semua uang bulanan yang kuberikan padanya, kurasa ia gunakan untuk membelikan kebutuhan-kebutuhanku.

Setiap paket, Ibu selalu akan menyelipkan secarik kertas di dalamnya. Ntah di antara barang-barang, di pinggir kardus, atau bahkan ditimpa di bawah barang-barang. Dan isinya selalu sama, "Jaga dirimu baik-baik ya".

Setiap saat, Ibu selalu mengirim pesan lewat LINE kepadaku. Ntah itu saat lagi berbelanja, sedang lembur, bersantai di cafe, ataupun berjalan pulang kerja.

"Jaga dirimu baik-baik ya"

"Apakah kamu baik-baik saja disana?"

"Sudah makan? Jangan lupa makan"

Setiap pesan yang ia kirim pasti isinya untuk mengingatkanku agar menjaga diriku, atau menanyakan kabar. Tapi aku tidak pernah membalas pesan-pesan LINE dari Ibu.

Bahkan saat sedang rapat online, — beruntungnya waktu itu aku sedang di apartemenku —, ponselku berdering. Kulihat, Ibu menelfonku. Aku menjauhkan diriku dari layar laptop, menangkat telfon dari Ibu.

"Ah...akhirnya kau bisa dihubungi. Kukira kau kenapa-kenapa..."

Dan setiap panggilan telfon dari Ibu, pasti Ibu selalu berkata,

"Jaga dirimu baik-baik, ya"

Dasar Ibu...

Tiba-tiba, bos dengan baiknya — tidak ada yang tau dia dirasuki apa — memberikan kami cuti tahun baru selama dua minggu. Tidak ada revisi, tidak ada pertemuan dengan klien, tidak ada datang ke kantor pagi-pagi buta, tidak ada rapat, tidak ada lembur, betul-betul cuti yang sangat dinanti-nantikan tipikal pekerja kantoran sepertiku.

Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa merebahkan diriku lebih lama di kasur kesayanganku di ruang apartemen kecil milikku.

Aku melihat-lihat chattan lamaku dengan teman-temanku yang mulai sibuk dengan keadaan masing-masing. Kami semua terpisah sejak kuliah, dunia kerja memang sesibuk itu ternyata. Aku akhirnya membuka kontak Ibu dan melihat pesan-pesan yang pernah dikirim oleh Ibu untukku.

Dipikir-pikir...Ibu sangat merindukanku.

Ia selalu mengirim paket tanpa diminta, meminta kabarku setiap hari, mengingatkanku untuk makan, mandi, dan lain-lain. Dan tentu saja... mengingatkanku untuk menjaga diriku baik-baik.

Saat sedang melamun, tiba-tiba Ibu mengirimkan pesan padaku. "Nak, apa kau baik-baik saja disana?". Ia juga mengirimkan foto selfie bersama Ayah yang sedang memegang secangkir teh hijau.

Aku tersenyum tipis membaca pesan yang baru saja diberikan Ibu. Aku membalas, "Ibu, aku dapat cuti. Aku akan balik kampung. Tunggu aku, ya"

Dan hari ini, aku kembali ke kampung halamanku walau hanya untuk dua minggu. Aku duduk bersama Ibu di teras rumah sambil menikmati teh hijau buatanku sendiri. Ayah duduk di kursi goyang seperti biasa, membaca koran mingguan yang selalu diberikan tempo hari. Sudah lama aku tidak menghirup alam sebebas ini, menyaksikan anak-anak nakal yang bermain layangan, mendengar suara ayam berkokok, dan jauh dari udara kota yang menyesakkan.

Aku menoleh ke arah Ibu, Ibu membalas tolehanku. Ia memberikanku senyum tipis yang ia ukir di wajahnya. Senyum yang sama, yang selalu kulihat sejak aku kecil.

Senyum tulus yang tidak tergantikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diari Secangkir Dua CangkirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang