"Wow," Alei bersiul takjub pada bagunan kaca tinggi dengan nuansa gelap yang minimalis, tepat di seberang jalan. "pasanganmu benar-benar kaya." Akunya.
Aku melirik datar ke arahnya.
Dia masih memakai pakaian serba hitam yang kami beli kemarin. Jaket, kaus, celana jeans, dan sepatu bot. Dia tampak nyaman memakainya daripada gaun putih yang membuatnya tampak seperti roh gentayangan.
Berbicara tentang roh. "Berapa lama waktumu?"
Alei menoleh padaku. Dia tampak tidak terkejut. "Entahlah," Jawabnya santai. "jika sudah waktunya. Aku akan merasakannya."
"Alei!" Aku berseru.
"Ya, ampun. Elle." Dia mengeluh. "Aku baik-baik saja, oke."
Lampu hijau untuk para pejalan kaki telah menyala. Alei melingkarkan lengannya pada lenganku. "Sekarang, saatnya kita jalan." Dia mengingatkan. "Aku tidak sabar meninju wajah seseorang dengan tanganku."
Terkadang, aku masih tidak mengerti dengan sifat Alei. Di satu sisi dia adalah seorang impulsif dan berbahaya. Di satu sisi lainnya, dia seorang gadis unik yang menghibur.
Para pejalan kaki disekitar kami mulai menyebrang, aku membiarkan Alei membimbingku. Kami berjalan hingga berada di depan pintu kaca yang menghubungkan kami dengan lobi mewah yang bernuansa emas dan perak.
Tanpa ragu, Alei membuka pintunya untuk kami. Didalam lobi, dipenuhi banyak sekali mahkluk-mahkluk abadi selain Elf yang menyamar—dengan memakai pakaian formal. Suasananya ramai, karena saat ini adalah hari kerja. Aku beralih memimpin kami, berjalan ke arah dua resepsionis wanita Elf yang menyamar dengan bentuk manusia. Salah satu dari mereka mendongak, ketika aku mendekati meja granit mereka. "Aku telah membuat janji, eh." Bagaimana menyebutnya?
Sebelum Roan menurunkan aku dari mobilnya di depan apartemen lamaku. Aku bertanya tentang pekerjaan yang dia berikan pada Alei. Sebagai jawaban, dia hanya memberiku alamat gedung ini dan memintaku menemuinya di kantornya. Tidak ada petunjuk lain.
Aku ragu, kedua resepsionis ini mengetahui hubunganku dengan bos mereka.
Alei melingkarkan satu lengannya pada lenganku dan bersandar pada sisi tubuhku. "Dia adalah istri bos kalian. Aku yakin dia tidak perlu janji temu untuk menemui suaminya."
Kedua wanita Elf itu langsung mengerjap ke arah Alei. Seorang dari mereka yang sebelumnya mendongak padaku memberikan senyuman formal dan mengangguk. "Tentu saja, Nyonya. Mari, ikuti aku."
Alei terlihat terkejut, begitu pula aku.
Dengan patuh, akhirnya kami mengikuti wanita Elf itu dan melangkah ke arah sebuah lift yang bebas antrian, bersebrangan dengan lift ramai yang digunakan oleh para pekerja lainnya. Dia menekan tombol lantai paling atas. Alei mengisi keheningan didalam lift sambil bersiul. Wanita resepsionis itu tampak kaku seperti sepotong kayu.
Begitu lift berhenti dan pintunya berdenting terbuka, dia memimpin perjalanan kami ke sebuah lorong panjang yang disekelilingnya dihiasi kaca yang menampilkan pemandangan kota mendung yang riuh di bawah kami.
Kami tiba di pintu kaca buram yang terletak di ujung lorong. Dengan profesional, wanita itu membukanya untuk kami. Aku melangkah kedalamnya dan diikuti dengan Alei dibelakangku.
Wanita resepsionis itu tidak ikut bersama kami. Dia hanya memberi bungkukan hormat dan undur diri. Saat aku melangkah lebih dalam, aku disambut dengan ruangan interior bernuansa emas dan cokelat yang hangat.
Aku menemukan Orion duduk di balik mejanya dengan banyak sekali dokumen yang berserakan. Dia mendongak dari layar komputernya. "Halo, Elle." Dia menyapa riang. Pandangannya menatap Alei yang ada dibelakangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Moon (Moon Series #3)
FantasíaSemuanya berawal dari keserakahan. Menciptakan sebuah kegelapan yang mencemari apapun yang ditinggalkannya. Bahkan kegelapan itu telah mengerogoti tubuhku secara perlahan-lahan, membusukkan tubuhku dari dalam. Tidak banyak waktu yang terisa untukku...