Haii, sesuai janji ku kemarin aku bakalan double up buat kalian tercintaa 🤍🤍8. Secarik Kertas Petunjuk.
•HAPPY READING•
*****
Meremat kertas hasil check in atau pemeriksaan lalu memasukkannya kedalam saku celana, menetralisir deru nafas serta pacuan jantungnya, perlahan ia melangkahkan kaki jenjangnya keluar toilet RS.
Berjalan tergesa-gesa, pikirannya campur aduk antara gelisah, bingung, panik, dan sedih jadi satu lantaran bingung bagaimana caranya agar kedua orangtuanya mengetahui penyakit yang baru saja ia derita.
Apa dia harus mengatakannya? Atau haruskah ia pendam saja mengingat sang Ayah yang sepertinya tidak akan peduli dengan kondisi tubuhnya?
Semua rasa gelisah terus saja melayang-layang di otaknya.
"Aarghh!"
Bugh
"Awss..."
"Ah, maaf, nak, saya tidak senga–" ucapan pria paruh baya itu terhenti begitu saja setelah menatap netra seorang remaja yang tak sengaja ia tabrak.
Baginya, tatapan matanya mengingatkannya pada seseorang.
"Ah, iya, Om. Tidak apa-apa, saya permisi dulu," jawab Arsen tanpa basa-basi melangkah tergesa-gesa menuju pintu keluar RS.
Pandangan pria paruh baya yang ber-name tag "Anggara Dikta M." itu tak sengaja mengarah ke sebuah kertas kecil yang sudah tak berbentuk terjatuh dari saku celana milik cowok itu. Mengambil lalu mendongak, ternyata keberadaan anak tadi sudah hilang dari pandangannya.
Rasa penasaran yang kian semampai membuatnya untuk memilih memungut secarik kertas bertuliskan nama beserta beberapa resep obat di dalamnya.
***
Samar-samar dari luar rumah Arsen dapat mendengar suara keributan di dalamnya. Menunggu, hanya itu pilihannya sekarang. Tentu dia tidak mau dijadikan pelampiasan Ayahnya lagi. Jadi dia lebih memilih untuk menunggu saja diluar rumah sampai keadaan bisa diatasi dan kembali normal.
Berbeda dengan keadaan luar rumah yang damai dan tentram, di dalam rumah justru malah seperti kapal pecah. ada tiga pria dan satu gadis dengan salah satunya yang sudah berumur empat kepala dengan sorot mata yang tajam bak pisau siap mengiris siapa saja yang ia temui.
Ya, Hendry-lah pelaku dari suara tamparan serta vas bunga yang semula rapih diatas meja kini telah hancur berkeping-keping.
"Kurang ajar, mulai meniru kakak kamu itu, hah?!" sentaknya dengan raut wajah memerah penuh amarah tak tertahan.
Tidak dapat menjawab, apa yang dimaksud Ayahnya ini? Meniru kakaknya? Apa-apaan dia disamakan oleh kakaknya itu? Tidak, dia paling benci jika disamakan dengan kakaknya yang lemah seperti dia.
"Ini yang terakhir, jika kamu ketahuan balapan lagi, Ayah akan sita semua fasilitas kamu," final Ayahnya lalu melenggang meninggalkan Elvano yang masih terpaku di tempat.
"Bang–"
"Diem."
"Tapi bibir kamu berdarah–"
"Gue bilang diem, ya diem! Nggak usah ikut campur lo!" begitulah cacian yang diberikan Elvano–kakak kembar dari putra Hendry untuk Assenna–adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSEN - On Going
Teen FictionKehadirannya yang tak dianggap juga tak diharapkan, di cap sebagai anak haram bukanlah hal yang mudah dilewati bagi Arsen Brahmantara Mahendra. Remaja tak bersalah serta banyak kekurangan ini harus menerima hidup di keluarga dan lingkungan yang bisa...