Bab 22

78 51 22
                                    

"Sumpah, demi apa Syailendra yang kita kira miskin ternyata dia yang punya hotel sebesar ini?! Gila ..., gila. Masih nggak percaya gue rasanya!"

"Sayang.... gimana, dong? Selama ini mulut kita jahat banget sama Syailendra. Gimana kalau ternyata dia dendam dan berujung nekan kita sama kekuasaannya?!"

"Nggak akan sejauh itu dia. Yakin aku. Mungkin dia nyamar jadi gembel di sekolah kita biar nggak jadi pusat perhatian kali ya? Orang kaya mah bebas...."

Telinga Ratu berdenging mendengar percakapan konyol dua sejoli itu. Terlalu malas rasanya ia menanggapi. Justru pikiran Ratu saat ini tidak lepas dari Syailendra. Mungkin tadi semua orang bersuka cita di meja makan, namun Ratu yang paham karakter Syailendra itu sama sekali tidak menemukan kebahagiaan di wajah cowok itu.

Ada banyak hal yang ingin Ratu tanyakan. Terutama tentang; apa yang terjadi pada Syailendra sampai cowok itu ke sekolah naik bis dan menutup diri dari pergaulan selama ini? Padahal orang tuanya sekaya raya itu. Ratu sendiri terkejut mengetahui fakta itu, namun yang lebih membuat Ratu khawatir adalah perasaan Syailendra saat ini. Makin yakin ia ada sesuatu yang terjadi di balik ini semua.

"Ngomong-ngomong Endra ngapain ya sekarang sama keluarganya? Ah, jadi kepo gimana kehidupan orang kaya. Nggak kebayang orang tua dia sebangga apa. Diajakin foto sih, yakin banget aku. Atau paling nggak dikasih hadiah barangkali," celetuk Sasa, membuat Ratu menoleh dengan gurat tidak tenang.

Diberi hadiah? Apa mungkin? Sedang selama ini Syailendra begitu malas membahas orang tuanya... pikiran Ratu berkelana. Serasa ingin ia susul Syailendra ke restoran itu untuk memastikan keadaan cowok itu. Namun Ratu berpikir logis, ia tidak mau mengganggu urusan keluarga Syailendra meski pun ia sama sekali tidak tenang saat ini.

"Lama banget Syailendra. Padahal kita mau bahas soal malam ini. Kalau kemalaman dia baliknya gue tidur duluan aja deh," celetuk Heri, yang mana hal tersebut membuat Ratu makin cemas.

Syai... semoga kamu baik-baik ajaa....

***

Jauh dari yang Ratu harapkan, Syailendra justru sedang tidak baik-baik saja. Sepeninggal teman-temannya, Syailendra merasa ruangan VVIP yang dilengkapi pendingin udara itu terasa panas. Jantungnya mencelus ke usus dua belas jari. Sekujur tubuhnya gemetar, tak berani mengangkat wajah menatap sang ayah dan ibu yang sejak tadi menahan marah terhadapnya.

Alih-alih dipuji karena mengikuti olimpiade nasional, Sekala malah mendapat tekanan batin dari keluarganya sendiri. Saking tertekannya, nasi pun tak sanggup ia menelan.

"Syailendra," panggil Gunawan dengan suara gemetar, membuat bulu kuduk Syailendra berdiri tegak.

"I—iya, Pa."

"Berdiri kamu!"

Syailendra menelan salivanya susah payah, namun akhirnya menuruti perintah sang ayah. Ia pun keluar dari meja makan tersebut, lantas berderap pelan ke samping bangku sang ayah. Detik itu juga Syailendra merasa di ambang hidup atau mati. Ngeri sekali.

"Ke—kenapa, Pa?"

Gunawan mengepalkan tangan erat. Buku-buku tangannya memutih karena aliran darahnya bertumpuk dalam kepalan jari-jarinya yang besar. Rahangnya mengetat memandangi wajah yang mirip dengannya tapi hadirnya tak pernah ia inginkan tersebut.

Begitu juga dengan Amelia. Tak ada tatapan keibuan di matanya. Yang ada hanyalah tatapan benci mendalam, seolah Syailendra sampah menjijikkan yang hadirnya tak ia inginkan sama sekali di sini.

"Kamu masih tanya kenapa? Kamu sudah membuat kesalahan fatal!" geram Gunawan.

Tanpa mengangkat wajahnya, dengan bibir gemetaran, Syailendra menjawab, "apa membanggakan Papa adalah suatu kesalahan? Apa ini dianggap kejahatan?"

Seribu Luka, Seribu Rahasia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang